29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 9:24 AM WIB

Wanita Pejuang di Tengah Covid-19

Saya gagal mendapatkan tukang cukur di Bogor ini. Yang disiarkan Liputan6 itu. Yang di bawah pohon itu. Yang sudah mengenakan APD itu.

Ia sudah mencoba berubah –sudah menyesuaikan diri dengan era Covid-19. Semoga berhasil. Atau jangan-jangan menyerah –semoga tidak. Atau banting stir ke yang lebih baru –lewat eksperimen di bawah pohon tadi. Kan banyak juga orang berhasil lewat percobaan bidang lain yang gagal.

Berani dulu mencoba sesuatu itulah kuncinya –hasilnya bisa jadi di tempat yang lain lagi.

Demikian juga “Wanita DI’s Way” yang satu ini.

Dia saya pilih karena dia wanita biasa. Tidak kaya tapi juga tidak miskin. Tidak tua juga tidak lagi muda. Cerdas, meski tidak jenius.

Dia tidak selalu bahagia tapi juga tidak selalu berduka.

‘Wanita DI’s Way’ hari ini juga sudah mencoba berubah. Sebelum Covid-19 dia jualan jilbab. Di arena seperti bazaar. Di pelataran sebuah mall di Jakarta Selatan.

Setelah PSBB dia sempat pusing harus hidup dari mana. Dia mencoba berubah lagi. Untuk, mungkin, yang kesebelas kali. Dia mulai jualan makanan secara online. Awalnya memberi harapan. Kian ketat PSBB kian merosot jualan online-nya.

Hari itu matanyi terus melihat ke layar ponsel. Ketika sehari penuh layar ponselnyi no order dia mikir lagi. Harus cari uang ke mana.

“Wanita DI’s Way” ini pun naik motor: ke pasar Kramat Jati. Hampir satu jam jauhnya –dengan kecepatan wanita.

Dia melihat-lihat ada peluang apa di situ. Dia lihat harga-harga.

Awalnya dia punya rencana begini: nanti sore harga-harga Kramat Jati itu akan dia sebar ke tetangga. Malamnya barulah dia akan bertanya: apakah ada yang berminat.

Dia punya nomor ponsel seluruh tetangganya itu –berkat kegiatan sosialnyi. Lalu keesokan harinya akan balik ke Kramat Jati untuk belanja –sesuai dengan order.

Saat kembali ke tempat parkir, ia duduk-duduk dulu di parkir sepeda motor itu. Lalu muncullah di pikirannyi: kalau bisa sekarang mengapa harus besok. “Saya ini kan sudah buang bensin ke Kramat Jati. Harus ada hasil,” gumamnyi.

Dia pun kembali ke dalam pasar. Dia potret harga-harga yang di atas bahan makanan di situ. Dia kirim foto-foto harga itu ke para tetangganyi.

“Langsung ibu-ibu tetangga minta dibelikan yang saya potret itu,” katanyi. “Sampai uang saya tidak cukup,” tambahnyi.

Dalam perjalanan pulang ponselnya berdering. Dia berhenti di pinggir jalan TB Simatupang. Ternyata ada tetangga yang pesan tambahan. “Tidak mungkin lagi balik ke Kramat Jati,” ujarnyi.

Sambil siap-siap mau jalan lagi dia lihat ada lelaki membawa dagangan bandeng presto. Masih banyak yang belum laku. Dia pun tanya harganya. Harga itu dia sebar ke ponsel tetangganyi. Dalam 10 menit respon masuk. Sangat deras. “Semua bandeng bapak itu pindah ke sepeda motor saya,” katanyi.

Setiap kali ke Kramat Jati dia mengenakan ‘pakaian dinas’ Covid19-nyi: masker, sarung tangan, penutup kepala, plastik topeng wajah dan baju luaran.

Dia begitu ‘marah dalam hati’: begitu banyak orang yang abai PSBB. Padahal dia sendiri sampai meninggalkan bazaarnyi demi PSBB.

“Wanita DI’s Way” ini punya suami. Tapi dia tidak mau suaminya terlalu banting tulang. Sang suami pernah stroke. Cukuplah kalau sang suami kerja kantoran. Yang bayarannya cukup untuk cicilan rumah. Yakni rumah tipe 50 di Depok. Dengan tanah 90 m2. Sekitar 10 menit dari lapangan golf Matoa.

Sang suami mau diajak berhemat. Ke kantor naik motor. Sampai terminal bus. Motor dititipkan di situ. Pindah naik TransJakarta.

Untuk keperluan lainnya sang istrilah yang ambil tanggungjawab: biaya sekolah anak, makan keluarga, pakaian dan perawatan ibunya yang lagi sakit.

Dia tidak menyangka kegiatan sosialnyi 3 tahun lalu berpengaruh baik di saat sulit seperti ini. Padahal waktu itu tidak ada niat apa pun kecuali membantu orang.

Waktu itu dia bersilaturahmi ke semua tetangga. Yang umumnya rumahnya lebih besar dari rumahnyi. Dia ingin para tetangga itu menyumbang beras satu jumput saja (sekitar setengah gelas). Seminggu sekali. Dia sanggup keliling mengumpulkannya. Setiap hari Jumat pagi.

Meski targetnya satu tetangga hanya satu jumput, praktiknya ada juga yang sampai menyumbang 5 kg.

Beras itu langsung dikirim ke panti asuhan terdekat. Kalau hasilnya lagi banyak dikirim ke dua atau tiga panti asuhan.

“Di kampung itu saya menjadi lebih terkenal dari suami,” ujarnyi sambil tersenyum.

Kini, di saat PSBB, silaturahminyi tiga tahun terakhir memberinyi jalan keluar. Para tetangga pun sudah tahu reputasi “Wanita DI’s Way” penjual jilbab ini. Dia dianggap orang baik.

Sebenarnya dia tetap ingin jualan jilbab di pelataran mall itu. Tapi dia harus menaati aturan PSBB. “Ternyata tidak semua orang patuh.

Saya lihat banyak yang tidak peduli PSBB,” ujarnyi.

“Wanita DI’s Way” ini memang sempat merasa sulit. Tapi dia tidak pernah menyerah. Kesulitan kali ini dia anggap biasa saja. Dia sudah sering berada dalam keadaan yang lebih sulit.

Dia sudah biasa kerja serabutan sejak muda. Waktu menjadi karyawan hotel di Bali dia pun cari uang tambahan: bekerja paruh waktu di travel milik orang Jepang. Yang pekerjaannya dia anggap sepele: memasukkan nama-nama hotel yang ditawarkan ke turis Jepang.

Setamat SMA di Semarang dia memang ‘lari’ menjauh dari kota pacarnyi: patah hati. Dia ke Bali –kuliah perhotelan.

Akhirnya dia menikah. Tapi tetap cari uang. Bisa membeli sawah di Ubud. Juga membeli sebuah rumah.

Tapi perkawinannyi gagal –setelah punya dua putri. Dia merasa tidak kuat jadi sasaran kekerasan fisik terus-menerus. Dia minta cerai.  Sang suami tidak keberatan –asal rumah itu untuk sang suami.

Dia pun pergi bersama dua anaknyi. Begitu saja. Kos di rumah orang. Sambil tetap bekerja di dua tempat tadi.

Sampailah dia bertemu suaminyi yang sekarang. Yang bekerja di anak perusahaan Telkom. Yang memberinyi satu anak lagi. Kali ini laki-laki, sudah kelas 6 SD –sudah hafal 15 juz Alquran.

“Wanita DI’s Way” ini memang bertekad tiga anaknya harus jadi orang. Yang pertama sudah kerja di Yakult. Yang kedua baru lulus sastra Perancis di Unnes Semarang.

Dia menyekolahkan anak ketiganyi di pesantren: agar kelak bisa berbakti pada ibunya –ketika kelak sang ibu sudah tua. Sang anak juga tahu bagaimana sang ibu merawat ibunyi sampai –baru saja– meninggal dunia.

Kegiatannyi ke Kramat Jati kini terancam. Dia lagi mendapat tantangan baru: seorang tokoh di komplek perumahannyi tidak suka padanyi. Tokoh itu akan melarang kedatangan barang belanjaan dari luar. Dianggap bisa membawa virus.

Dia belum tahu akan bagaimana lagi nanti. Tapi dia yakin bisa menemukan jalan baru.

Dia pun minta pendapat saya. Padahal saya tidak tahu persis situasi yang sebenarnya.

Maka saya hanya mengirimkan padanyi satu pertanyaan:

Misalkan kita bisa membuat Bill Gate bangkrut-habis, lalu Bill Gate kita buang ke tengah hutan di Afrika. Apakah Bill Gate akan menjadi orang miskin?

“Wanita DI’s Way” itu ternyata tahu jawabnya. Dia pun tertawa. Anda pun tahu jawaban itu.(Dahlan Iskan)

Saya gagal mendapatkan tukang cukur di Bogor ini. Yang disiarkan Liputan6 itu. Yang di bawah pohon itu. Yang sudah mengenakan APD itu.

Ia sudah mencoba berubah –sudah menyesuaikan diri dengan era Covid-19. Semoga berhasil. Atau jangan-jangan menyerah –semoga tidak. Atau banting stir ke yang lebih baru –lewat eksperimen di bawah pohon tadi. Kan banyak juga orang berhasil lewat percobaan bidang lain yang gagal.

Berani dulu mencoba sesuatu itulah kuncinya –hasilnya bisa jadi di tempat yang lain lagi.

Demikian juga “Wanita DI’s Way” yang satu ini.

Dia saya pilih karena dia wanita biasa. Tidak kaya tapi juga tidak miskin. Tidak tua juga tidak lagi muda. Cerdas, meski tidak jenius.

Dia tidak selalu bahagia tapi juga tidak selalu berduka.

‘Wanita DI’s Way’ hari ini juga sudah mencoba berubah. Sebelum Covid-19 dia jualan jilbab. Di arena seperti bazaar. Di pelataran sebuah mall di Jakarta Selatan.

Setelah PSBB dia sempat pusing harus hidup dari mana. Dia mencoba berubah lagi. Untuk, mungkin, yang kesebelas kali. Dia mulai jualan makanan secara online. Awalnya memberi harapan. Kian ketat PSBB kian merosot jualan online-nya.

Hari itu matanyi terus melihat ke layar ponsel. Ketika sehari penuh layar ponselnyi no order dia mikir lagi. Harus cari uang ke mana.

“Wanita DI’s Way” ini pun naik motor: ke pasar Kramat Jati. Hampir satu jam jauhnya –dengan kecepatan wanita.

Dia melihat-lihat ada peluang apa di situ. Dia lihat harga-harga.

Awalnya dia punya rencana begini: nanti sore harga-harga Kramat Jati itu akan dia sebar ke tetangga. Malamnya barulah dia akan bertanya: apakah ada yang berminat.

Dia punya nomor ponsel seluruh tetangganya itu –berkat kegiatan sosialnyi. Lalu keesokan harinya akan balik ke Kramat Jati untuk belanja –sesuai dengan order.

Saat kembali ke tempat parkir, ia duduk-duduk dulu di parkir sepeda motor itu. Lalu muncullah di pikirannyi: kalau bisa sekarang mengapa harus besok. “Saya ini kan sudah buang bensin ke Kramat Jati. Harus ada hasil,” gumamnyi.

Dia pun kembali ke dalam pasar. Dia potret harga-harga yang di atas bahan makanan di situ. Dia kirim foto-foto harga itu ke para tetangganyi.

“Langsung ibu-ibu tetangga minta dibelikan yang saya potret itu,” katanyi. “Sampai uang saya tidak cukup,” tambahnyi.

Dalam perjalanan pulang ponselnya berdering. Dia berhenti di pinggir jalan TB Simatupang. Ternyata ada tetangga yang pesan tambahan. “Tidak mungkin lagi balik ke Kramat Jati,” ujarnyi.

Sambil siap-siap mau jalan lagi dia lihat ada lelaki membawa dagangan bandeng presto. Masih banyak yang belum laku. Dia pun tanya harganya. Harga itu dia sebar ke ponsel tetangganyi. Dalam 10 menit respon masuk. Sangat deras. “Semua bandeng bapak itu pindah ke sepeda motor saya,” katanyi.

Setiap kali ke Kramat Jati dia mengenakan ‘pakaian dinas’ Covid19-nyi: masker, sarung tangan, penutup kepala, plastik topeng wajah dan baju luaran.

Dia begitu ‘marah dalam hati’: begitu banyak orang yang abai PSBB. Padahal dia sendiri sampai meninggalkan bazaarnyi demi PSBB.

“Wanita DI’s Way” ini punya suami. Tapi dia tidak mau suaminya terlalu banting tulang. Sang suami pernah stroke. Cukuplah kalau sang suami kerja kantoran. Yang bayarannya cukup untuk cicilan rumah. Yakni rumah tipe 50 di Depok. Dengan tanah 90 m2. Sekitar 10 menit dari lapangan golf Matoa.

Sang suami mau diajak berhemat. Ke kantor naik motor. Sampai terminal bus. Motor dititipkan di situ. Pindah naik TransJakarta.

Untuk keperluan lainnya sang istrilah yang ambil tanggungjawab: biaya sekolah anak, makan keluarga, pakaian dan perawatan ibunya yang lagi sakit.

Dia tidak menyangka kegiatan sosialnyi 3 tahun lalu berpengaruh baik di saat sulit seperti ini. Padahal waktu itu tidak ada niat apa pun kecuali membantu orang.

Waktu itu dia bersilaturahmi ke semua tetangga. Yang umumnya rumahnya lebih besar dari rumahnyi. Dia ingin para tetangga itu menyumbang beras satu jumput saja (sekitar setengah gelas). Seminggu sekali. Dia sanggup keliling mengumpulkannya. Setiap hari Jumat pagi.

Meski targetnya satu tetangga hanya satu jumput, praktiknya ada juga yang sampai menyumbang 5 kg.

Beras itu langsung dikirim ke panti asuhan terdekat. Kalau hasilnya lagi banyak dikirim ke dua atau tiga panti asuhan.

“Di kampung itu saya menjadi lebih terkenal dari suami,” ujarnyi sambil tersenyum.

Kini, di saat PSBB, silaturahminyi tiga tahun terakhir memberinyi jalan keluar. Para tetangga pun sudah tahu reputasi “Wanita DI’s Way” penjual jilbab ini. Dia dianggap orang baik.

Sebenarnya dia tetap ingin jualan jilbab di pelataran mall itu. Tapi dia harus menaati aturan PSBB. “Ternyata tidak semua orang patuh.

Saya lihat banyak yang tidak peduli PSBB,” ujarnyi.

“Wanita DI’s Way” ini memang sempat merasa sulit. Tapi dia tidak pernah menyerah. Kesulitan kali ini dia anggap biasa saja. Dia sudah sering berada dalam keadaan yang lebih sulit.

Dia sudah biasa kerja serabutan sejak muda. Waktu menjadi karyawan hotel di Bali dia pun cari uang tambahan: bekerja paruh waktu di travel milik orang Jepang. Yang pekerjaannya dia anggap sepele: memasukkan nama-nama hotel yang ditawarkan ke turis Jepang.

Setamat SMA di Semarang dia memang ‘lari’ menjauh dari kota pacarnyi: patah hati. Dia ke Bali –kuliah perhotelan.

Akhirnya dia menikah. Tapi tetap cari uang. Bisa membeli sawah di Ubud. Juga membeli sebuah rumah.

Tapi perkawinannyi gagal –setelah punya dua putri. Dia merasa tidak kuat jadi sasaran kekerasan fisik terus-menerus. Dia minta cerai.  Sang suami tidak keberatan –asal rumah itu untuk sang suami.

Dia pun pergi bersama dua anaknyi. Begitu saja. Kos di rumah orang. Sambil tetap bekerja di dua tempat tadi.

Sampailah dia bertemu suaminyi yang sekarang. Yang bekerja di anak perusahaan Telkom. Yang memberinyi satu anak lagi. Kali ini laki-laki, sudah kelas 6 SD –sudah hafal 15 juz Alquran.

“Wanita DI’s Way” ini memang bertekad tiga anaknya harus jadi orang. Yang pertama sudah kerja di Yakult. Yang kedua baru lulus sastra Perancis di Unnes Semarang.

Dia menyekolahkan anak ketiganyi di pesantren: agar kelak bisa berbakti pada ibunya –ketika kelak sang ibu sudah tua. Sang anak juga tahu bagaimana sang ibu merawat ibunyi sampai –baru saja– meninggal dunia.

Kegiatannyi ke Kramat Jati kini terancam. Dia lagi mendapat tantangan baru: seorang tokoh di komplek perumahannyi tidak suka padanyi. Tokoh itu akan melarang kedatangan barang belanjaan dari luar. Dianggap bisa membawa virus.

Dia belum tahu akan bagaimana lagi nanti. Tapi dia yakin bisa menemukan jalan baru.

Dia pun minta pendapat saya. Padahal saya tidak tahu persis situasi yang sebenarnya.

Maka saya hanya mengirimkan padanyi satu pertanyaan:

Misalkan kita bisa membuat Bill Gate bangkrut-habis, lalu Bill Gate kita buang ke tengah hutan di Afrika. Apakah Bill Gate akan menjadi orang miskin?

“Wanita DI’s Way” itu ternyata tahu jawabnya. Dia pun tertawa. Anda pun tahu jawaban itu.(Dahlan Iskan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/