Saya tahu lokasi itu. Yang direncanakan jadi ibu kota baru Republik Indonesia itu. Yang kemarin diumumkan sendiri oleh Bapak Presiden Jokowi itu.
Di Kaltim ada kota besar bernama Balikpapan. Dua jam penerbangan dari Jakarta. Balikpapan disebut juga kota minyak. Sejak zaman Belanda. Ada kilang minyak di sana.
Seperti juga Dumai di Riau dan Pangkalan Brandan di Sumut. Yang terpenting di Balikpapan ada Teluk Balikpapan. Teluk itu sangat panjang. Menjorok masuk ke dalam daratan Kalimantan.
Kota Balikpapan berlokasi di mulut kanan Teluk itu. Lokasi ibu kota baru nanti di kiri Teluk tersebut. Di tengah teluk itu ada pulau kecil. Saya pernah ingin membelinya.
Saya anggap ideal untuk lokasi pembangkit listrik tenaga nuklir Thorium. Tentu saya urungkan saja niat itu. Pulau itu akan berada persis di depan ibu kota.
Posisinya lebih dekat dari Pulau Seribu yang di depan pantai Jakarta. Pulau ini hanya 1 km dari pantai ibu kota baru itu. Kalau jadi. Teluk itu begitu panjangnya.
Pantai di kiri teluk itu sebagian masuk wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara. Sebagian lagi masuk Kabupaten Kutai Kartanegara. Yakni yang posisinya melengkung di ujung teluk.
Melengkung sampai sisi kanan teluk. Sampai dengan wilayah kota Balikpapan. Dari ibu kota baru itu nanti orang bisa memandang gemerlapannya Kota Balikpapan.
Yang konturnya berbukit-bukit. Lampu di atas bukit-bukit itu pun akan terlihat indah. Bercampur dengan lampu di pinggir pantai. Yang pantulan cahayanya berkilauan di atas air laut.
Itu kalau ibu kotanya dibangun di dekat pantai. Air di teluk ini dalam. Tapi tenang. Tidak pernah terjadi pendangkalan. Tidak ada sungai besar yang bermuara di teluk itu.
Ketika kawasan itu masih hutan pernah disebut sebagai kawasan emas hijau. Kayunya menghasilkan dolar tidak henti-hentinya. Kayu-kayu besar ditebang.
Diekspor dalam bentuk gelondongan. Lewat teluk itu. Hak penebangan hutan itu diberikan ke perusahaan asing. Dari Amerika. Namanya: ITCI (International Timber Corporation Indonesia).
Yang berpusat di Oregon itu. Sebut saja nama ITCI. Di tahun 1970-an. Semua orang Kaltim tahu. Dekade itu saya hidup di Kaltim. Menjadi aktivis mahasiswa di sana.
Juga memulai karir wartawan dari sana. Tentu sudah tidak ada lagi hutan itu di sana. Juga tidak ada lagi ITCI. Pemilik perusahaan itu sudah bukan orang Amerika lagi.
Sudah berganti orang Indonesia. Namanya Prabowo Subianto. Tapi masih ada tambang-tambang batu bara di sekitarnya. Untuk menuju lokasi itu tentu harus melalui mulut Teluk Balikpapan.
Mulut teluk ini ramai sekali. Banyak lalu-lintas speed boat. Atau kapal rakyat. Orang Balikpapan banyak yang menyeberang ke Panajam, satu kecamatan di Paser.
Orang Panajam banyak menyeberang ke Balikpapan. Hanya 15 menit. Dari Panajam itu orang bisa naik mobil sampai jauh sekali. Melintasi trans Kalimantan.
Sampai ke Banjarmasin. Orang Kalsel yang mau ke Samarinda juga bisa ke Panajam dulu. Lalu menyeberang ke Balikpapan. Untuk meneruskan perjalanan dengan mobil sampai Samarinda.
Saya pernah memutuskan untuk menyetujui dibangunnya jembatan tol. Yang membentang panjang di atas mulut teluk itu. Tahun 1980-an sudah ada jembatan yang menghubungkan dua sisi teluk itu.
Letaknya tidak di mulut teluk. Melainkan jauh di dalam teluk. Untuk mendapatkan bentangan jembatan yang lebih pendek. Tapi karena posisi jembatan ini tidak di mulut teluk, tetap saja banyak yang memilih menyeberang dengan speed boat.
Kini sudah jelas. Lokasi yang disebutkan Bapak Presiden meliputi dua kabupaten: Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Berarti lokasi itu tepat di lengkung terdalam teluk tersebut.
Persis di bekas Hak Pengusahaan Hutan ITCI. Berarti ibu kota baru nanti tidak perlu membangun bandara baru. Cukup menggunakan bandara Balikpapan yang sekarang.
Toh dari bandara ini sudah dibangun jalan tol ke Samarinda. Sedang dikerjakan. Kelak bisa saja ada exit di jalan tol ini. Exit ke ibu kota –yang entah apa nama kota itu nanti.
Lokasi ini letaknya juga hanya sekitar 40 km dari Bukit Soeharto –yang pernah disebut-sebut sebagai lokasi ibu kota.Berarti tidak akan ada persoalan tanah.
Cukup menggunakan tanah ITCI itu –berapa ribu hektar pun. Dan Jakarta tidak perlu galau. Tidak jadi ibu kota kan tidak apa-apa. Masih bisa jadi Bapak Kota.(Dahlan Iskan)