Betapa vitalnya nilai ganti rugi yang adil, atas lahan cengkeh warga Pegayaman yang terkena proyek shorchut.
Puluhan tahun, mereka gantungkan hidup dari hasil cengkeh. Juga untuk biaya pendidikan anak-anak mereka. Seperti apa?
JULIADI, Singaraja
MALAM kian larut. Namun, diskusi sekaligus mendengar keluh kesah petani cengkeh Pegayaman, Sukasada, Buleleng, kian menarik dan hangat.
Terlebih, audiens disuguhi tontotan Film Dokumenter Luka-Liku Shortcut di Kedai Kopi Ko-Vaitnam, Singaraja, Kamis malam (24/9) karya sutradara muda Jaswanto.
Diskusi dirangkai pementasan puisi dari Komunitas Sashiry (Sastra History) Bali. Pementasan puisi anak muda ini, juga mengangkat isu kisah sengketa lahan di Indonesia, dan Bali pada khususnya, yang tak pernah ada titik temu.
Dari diskusi tersebut, beberapa masalah terkuak. Termasuk, kisah dari petani cengkeh mampu menyekolahkan anak mereka, hingga ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
’’Dari hasil tani cengkeh, bisa hidupi keluarga dan mampu sekolahkan anak ke pondok pesantren,” ungkap Fatahillah, salah seorang petani cengkeh yang lahan cengkehnya tergusur shortcut.
Diuraikan, peletakan patok-patok batas jalur shortcut oleh pemerintah, tanpa sepengetahuannya. Padahal, soal uang ganti rugi belum ia terima.
’’Semua terjadi secara tiba-tiba. Tak ada sosialisasi dari pemerintah daerah maupun pemerintah desa. Sungguh tak adil, cara pemerintah melakukan pembebasan lahan terhadap projek shortcut,’’ sesalnya.
Begitu juga Ilmul Yaqin, lahannya terkena shortcut Singaraja-Mengwitani. Tanahnya 28 x 2 meter persegi, di atasnya terdapat lima pohon cengkeh. Hanya diberi ganti rugi Rp 600 ribu.
’’Kalau saya, satu pohon cengkeh dengan usia di atas 20 tahun, biasanya akan mampu menghasilkan uang sebesar Rp 2 juta lebih, setiap kali panen.
Hasil cengkih setiap tahun ini, yang saya pakai hidupi keluarga. Bahkan, sekolahkan anak hingga masuk ke tingkat yang lebih tinggi,” bebernya.
Setelah ganti rugi tak beres, apa yang akan dilakukan 32 petani cengkih Desa Pegayaman? Ilmul Yaqin bersama tiga orang temannya menegaskan, tetap akan bertahan menuntut hak atas ganti rugi tanah mereka.
’’Dan mau tidak mau, jika jalan pintasnya harus proses hukum, keadaan terpaksa harus kami jalani juga,” tegasnya.
Sementara itu, seorang dosen Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja yang mengajar Jurusan Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Made Sugi Hartono mengatakan,
pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.
Itu termasuk soal ganti rugi kegiatan projek apapun sifatnya. Hal itu jelas tertuang dalam Undang-Undang (UU) 2/ 2012 tentang Pengadaan Tanah.
Untuk shortcut di Pegayaman, ada beberapa hal yang dapat ditempuh petani cengkeh. Yakni, mendesak dan meminta kepada pemerintah melakukan peninjauan ulang soal ganti rugi.
Dengan catatan, melakukan penilaian ulang terhadap harga tanah dan segala tanaman yang terkena jalur shortcut. Khususnya, kepada 32 warga yang masih keberatan.
’’Selain itu, warga harus berani memberikan data soal bagaimana proses shortcut mengalami kejanggalan mulai proses awal, tidak ada sosialisasi, pengukuran lahan,
dan harga yang awal ditandatangani sudah sepakat. Namun, belakangan muncul harga yang tak sebanding,” paparnya.
Tentunya, sambungnya, menyertakan bukti data-data soal perbandingan harga lahan antara jalan shortcut yang sudah terbangun dengan belum terbangun.
Kemudian, mencari tim advokasi dari lembaga bantuan hukum (LBH) yang siap mendampingi warga.
Upaya lainnya, melakukan pertemuan dengan pemerintah daerah kabupaten dan provinsi. Kemudian dengan Walhi Bali. Sehingga, keluhan didengar dan diperjuangkan bersama. (*)