29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 9:27 AM WIB

Imaji Xinjiang

Ini Las Vegas. Bukan.  Ini Wyoming.  Bukan. Ini Idaho. Bukan. Ini Xinjiang. Betul. Ini Xinjiang bagian utara. Mirip sekali dengan Las Vegas, Wyoming, Idaho, Montana, Nevada dijadikan satu. 

Imajinasi awal saya tentang Xinjiang adalah padang pasir. Terpencil. Kering. Berdebu. Sangat terik di musim panas. Bersalju yang menggigil di musim dingin. 

Imajinasi saya yang lain:  Xinjiang adalah 100 persen suku Uygur. Muslim. Ingin merdeka dari Tiongkok.  Imajinasi lainnya adalah: wanita Xinjiang cantik-cantik. Wajah mereka seperti gabungan antara Tionghoa dan Arab. 

Ternyata Xinjiang tidak identik dengan Urumqi –ibu kotanya. Orang sana menyebut nama kota itu Ulumuqi. Kota ini sudah tidak ada bedanya dengan kota besar lainnya di Tiongkok.

Penuh gedung pencakar langit. Tidak bisa dihitung. Lebih banyak dari Jakarta sekali pun. Kereta bawah tanahnya baru: sepanjang 20 km. Yang beda: papan namanya.

Nama toko, hotel, kantor, resto, nama jalan, dan apa saja didahului huruf Arab.  Baru di bawahnya ditulis dalam huruf Mandarin. Sebagai lulusan pesantren saya coba baca semua kalimat dalam huruf Arab itu.

Saya bisa membacanya. Tapi tidak tahu artinya. Rupanya itu bukan bahasa Arab. Itu bahasa Uygur. Hanya tulisannya huruf Arab. Seperti orang Riau: menggunakan huruf Arab tapi bunyinya Melayu.

Atau seperti kitab-kitab di pondok pesantren: tulisannya Arab, tapi bunyinya bahasa Jawa. Waktu ke salah satu desa di pojok dekat perbatasan Afghanistan saya memperkenalkan diri.

Saya tulis nama saya di tanah. Dengan alat tulis batu kerikil. Saya tuliskan nama saya dengan huruf Arab. Mereka tahu nama saya: Dahlan Iskan. Saya pun minta ia menuliskan namanya. Ia menulis dengan huruf Arab: Umar. 

Di mana-mana tulisan Arab mendahului tulisan Mandarin. Termasuk di toilet-toilet di rest area. Pun di daerah utara. Yang mayoritas bukan muslim. Di Xinjiang utara banyak suku-suku minoritas lainnya.

Yang lebih dekat ke suku Monggolia. Tentu dari Beijing saya mendarat dulu di Urumqi. Bermalam di situ.  Hari kedua saya naik mobil seperti tanpa ujung. Dari Urumqi. Ke arah utara.

Delapan jam. Di atas jalan tol yang sangat mulus. Tidak ada pemandangan lain di kanan-kiri jalan itu. Kecuali tanah kosong gobi. Bukan tanah kosong pasir.  Kadang saya berpikir: untuk apa Tiongkok membangun jalan tol di wilayah padang gobi.

Yang sangat sepi. Saya jadi ingat ketika mengendarai mobil dari Los Angeles ke Arizona. Bermalam di Las Vegas. Seperti itulah suasananya. Hanya gurun sepanjang mata memandang.  

Yang membedakan dari Nevada adalah: tidak ada. Ups, ada.  Di tempat-tempat tertentu saya melihat sumur angguk. Di tengah padang gobi. Itulah sumur minyak.  Sekian jam kemudian saya melihat cerobong asap.

Tanpa asap. Banyak sekali. Itulah pembangkit listrik. Menggunakan batu bara. Di beberapa wilayah Xinjiang kaya akan batu bara. PLTU dibangun di atas tambang. Dengan sistem pendingin udara.

Bukan air. Tidak banyak air di situ. Listrik dari situ mengalir sampai jauh. Sampai Shanghai –hampir 3000 km jauhnya. Apakah listriknya tidak habis menguap dalam perjalanan di SUTET? Mereka menggunakan transmisi yang belum kita kenal: DC.

Kapasitas transmisinya pun belum kita tahu: 1.100 kv. Transmisi terjauh kita: Situbondo-Banten. Kira-kira 600 km. Dengan sistem AC –kapasitas 500 kv. Transmisi DC itulah yang dulu juga kita rencanakan. 

Kita bangun PLTU besar-besaran di atas tambang batu bara di Sumsel. Listriknya kita ubah menjadi DC. Untuk diseberangkan lewat bawah laut –selat Sunda. Sampai di Banten listrik itu diubah lagi ke AC. 

Waktu membicarakan itu saya sendiri belum pernah tahu: seperti apa transmisi DC itu. Yang bisa dipaksi kirim listrik jarak jauh. Aman dan hemat.  Waktu itu saya hanya mendengar: di Tiongkok sudah dipakai.

Sejauh 1000 km. Kapasitas 800 kv.  Kini, di Xinjiang ini, di umur saya yang tidak lagi muda ini, saya baru tahu dengan mata kepala sendiri. Bahkan sudah untuk 3000 km. Sudah 1.100 kv. 

Saya menjadi begitu ingin mengajak Gubernur Sumsel ke Xinjiang. Ialah gubernur yang berani melarang truk batu bara lewat jalan umum. Dari tambang batu bara itu saya terus ke utara. Kian ke utara kian dingin.

Menjelang musim dingin ini. Kian ke utara ternyata kian bergunung-gunung. Setelah enam jam perjalanan barulah bisa ketemu benda yang saya rindukan: pohon.    

Rupanya ada sungai di situ. Mengalir ke arah Rusia. Mulailah ada nuansa hijau. Kekuning-kuningan –menandakan musim gugur segera tiba. Jalan mulai menanjak. Berliku. Ada gunung di kiri. Sungai di kanan.

Saya sudah melewati Nevada-nya Tiongkok. Memasuki Arizona versi Xinjiang. Ngeri tapi indah. Indah tapi ngeri.  Ini bukan Xinjiang yang hidup di imajinasi saya. Ini seperti di Montana! (Dahlan Iskan) 

Ini Las Vegas. Bukan.  Ini Wyoming.  Bukan. Ini Idaho. Bukan. Ini Xinjiang. Betul. Ini Xinjiang bagian utara. Mirip sekali dengan Las Vegas, Wyoming, Idaho, Montana, Nevada dijadikan satu. 

Imajinasi awal saya tentang Xinjiang adalah padang pasir. Terpencil. Kering. Berdebu. Sangat terik di musim panas. Bersalju yang menggigil di musim dingin. 

Imajinasi saya yang lain:  Xinjiang adalah 100 persen suku Uygur. Muslim. Ingin merdeka dari Tiongkok.  Imajinasi lainnya adalah: wanita Xinjiang cantik-cantik. Wajah mereka seperti gabungan antara Tionghoa dan Arab. 

Ternyata Xinjiang tidak identik dengan Urumqi –ibu kotanya. Orang sana menyebut nama kota itu Ulumuqi. Kota ini sudah tidak ada bedanya dengan kota besar lainnya di Tiongkok.

Penuh gedung pencakar langit. Tidak bisa dihitung. Lebih banyak dari Jakarta sekali pun. Kereta bawah tanahnya baru: sepanjang 20 km. Yang beda: papan namanya.

Nama toko, hotel, kantor, resto, nama jalan, dan apa saja didahului huruf Arab.  Baru di bawahnya ditulis dalam huruf Mandarin. Sebagai lulusan pesantren saya coba baca semua kalimat dalam huruf Arab itu.

Saya bisa membacanya. Tapi tidak tahu artinya. Rupanya itu bukan bahasa Arab. Itu bahasa Uygur. Hanya tulisannya huruf Arab. Seperti orang Riau: menggunakan huruf Arab tapi bunyinya Melayu.

Atau seperti kitab-kitab di pondok pesantren: tulisannya Arab, tapi bunyinya bahasa Jawa. Waktu ke salah satu desa di pojok dekat perbatasan Afghanistan saya memperkenalkan diri.

Saya tulis nama saya di tanah. Dengan alat tulis batu kerikil. Saya tuliskan nama saya dengan huruf Arab. Mereka tahu nama saya: Dahlan Iskan. Saya pun minta ia menuliskan namanya. Ia menulis dengan huruf Arab: Umar. 

Di mana-mana tulisan Arab mendahului tulisan Mandarin. Termasuk di toilet-toilet di rest area. Pun di daerah utara. Yang mayoritas bukan muslim. Di Xinjiang utara banyak suku-suku minoritas lainnya.

Yang lebih dekat ke suku Monggolia. Tentu dari Beijing saya mendarat dulu di Urumqi. Bermalam di situ.  Hari kedua saya naik mobil seperti tanpa ujung. Dari Urumqi. Ke arah utara.

Delapan jam. Di atas jalan tol yang sangat mulus. Tidak ada pemandangan lain di kanan-kiri jalan itu. Kecuali tanah kosong gobi. Bukan tanah kosong pasir.  Kadang saya berpikir: untuk apa Tiongkok membangun jalan tol di wilayah padang gobi.

Yang sangat sepi. Saya jadi ingat ketika mengendarai mobil dari Los Angeles ke Arizona. Bermalam di Las Vegas. Seperti itulah suasananya. Hanya gurun sepanjang mata memandang.  

Yang membedakan dari Nevada adalah: tidak ada. Ups, ada.  Di tempat-tempat tertentu saya melihat sumur angguk. Di tengah padang gobi. Itulah sumur minyak.  Sekian jam kemudian saya melihat cerobong asap.

Tanpa asap. Banyak sekali. Itulah pembangkit listrik. Menggunakan batu bara. Di beberapa wilayah Xinjiang kaya akan batu bara. PLTU dibangun di atas tambang. Dengan sistem pendingin udara.

Bukan air. Tidak banyak air di situ. Listrik dari situ mengalir sampai jauh. Sampai Shanghai –hampir 3000 km jauhnya. Apakah listriknya tidak habis menguap dalam perjalanan di SUTET? Mereka menggunakan transmisi yang belum kita kenal: DC.

Kapasitas transmisinya pun belum kita tahu: 1.100 kv. Transmisi terjauh kita: Situbondo-Banten. Kira-kira 600 km. Dengan sistem AC –kapasitas 500 kv. Transmisi DC itulah yang dulu juga kita rencanakan. 

Kita bangun PLTU besar-besaran di atas tambang batu bara di Sumsel. Listriknya kita ubah menjadi DC. Untuk diseberangkan lewat bawah laut –selat Sunda. Sampai di Banten listrik itu diubah lagi ke AC. 

Waktu membicarakan itu saya sendiri belum pernah tahu: seperti apa transmisi DC itu. Yang bisa dipaksi kirim listrik jarak jauh. Aman dan hemat.  Waktu itu saya hanya mendengar: di Tiongkok sudah dipakai.

Sejauh 1000 km. Kapasitas 800 kv.  Kini, di Xinjiang ini, di umur saya yang tidak lagi muda ini, saya baru tahu dengan mata kepala sendiri. Bahkan sudah untuk 3000 km. Sudah 1.100 kv. 

Saya menjadi begitu ingin mengajak Gubernur Sumsel ke Xinjiang. Ialah gubernur yang berani melarang truk batu bara lewat jalan umum. Dari tambang batu bara itu saya terus ke utara. Kian ke utara kian dingin.

Menjelang musim dingin ini. Kian ke utara ternyata kian bergunung-gunung. Setelah enam jam perjalanan barulah bisa ketemu benda yang saya rindukan: pohon.    

Rupanya ada sungai di situ. Mengalir ke arah Rusia. Mulailah ada nuansa hijau. Kekuning-kuningan –menandakan musim gugur segera tiba. Jalan mulai menanjak. Berliku. Ada gunung di kiri. Sungai di kanan.

Saya sudah melewati Nevada-nya Tiongkok. Memasuki Arizona versi Xinjiang. Ngeri tapi indah. Indah tapi ngeri.  Ini bukan Xinjiang yang hidup di imajinasi saya. Ini seperti di Montana! (Dahlan Iskan) 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/