25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 8:00 AM WIB

Tega Aniaya Anaknya Hingga Patah Tulang, Si Anak Masih Sayang Mama

Siapa bilang durhaka itu hanya diperuntukkan untuk anak ke orangtua. Orangtua juga bisa durhaka ke anak. Seperti kisah Fani Fatima alias Siti Fatima alias Fani.

Fani tega menyiksa putra pertamanya berinisial YA, yang umurnya belum genap enam tahun. Akibat siksaan itu, YA mengalami luka berat hingga patah tulang hasta kiri. Fani pun terancam dipenjara selama lima tahun.

 

 

MAULANA SANDIJAYA, Denpasar

RUANG Sidang Sari di PN Denpasar, kemarin sore (27/2) begitu sesak. Ruang sidang berukuran sekitar 6×5 meter itu dipenuhi keluarga Fani.

Ada ibu, paman, suami, bibi, hingga petugas dari Dinas Sosial yang khusus mendampingi YA. Kerabat Fani dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan atas kekerasan yang menimpa YA. 

Fani yang duduk di kursi pesakitan berjarak 1 meter dari tempat duduk YA tampak tercenung. Perempuan 28 tahun, itu terus memandangi waja polos anaknya.

Sementara YA asyik memutar kipas mainan yang digenggam. Kakinya yang tak menyentuh lantai diayun-ayunkan.

Memakai kemeja garis-garis kuning biru dipadu celana jins, YA tampak menggemaskan. YA tergolong anak pemberani. Meski mengalami luka berat, YA tidak takut bertemu dengan orang lain, terutama Fani.

“Adik kelas berapa?” tanya Sri Wahyuni Ariningsih, hakim ketua memulai persidangan. “Kelas nol besar (TK),” ujar YA, sambil terus memutar kipas plastiknya.

“Adik yang mukul siapa?” tanya Sri Wahyuni Ariningsih, hakim ketua yang memimpin persidangan kemarin (27/2). “Mama,” jawab YA.

Hakim memancing YA mamanya yang mana, YA menoleh dan menunjuk ke arah Fani. Seketika Fani tersenyum.

Hakim kembali bertanya, bagian tubuh apa saja yang dipukul, YA menunjuk kepala, pipi, bahu, tangan kiri, dan kaki kiri. “Sakit,” ucapnya lirih. 

Hakim kembali mengejar kenapa mamanya bisa tega memukul, dengan polos YA menjawab karena dirinya nakal.

“Nakalnya kenapa?” tanya hakim anggota IGN Ngurah Atmaja, sambil mendekatkan tubuh ke arah YA. “Disuruh ambil bedak, tapi salah,” ucap YA.

YA mengaku dia dan adiknya perempuannya, HA yang baru berumur 2,5 tahun sering menjadi sasaran mamanya ketika marah.

Misalnya, ketika HA ngompol di kasur langsung dipukul. Begitu juga dengan YA, saat melakukan kesalahan langsung dipukuli.

Bahkan, pernah dilempar pakai pisau. Beruntung tidak mengenai tubuh YA. “Jadi, setiap hari dipukul mama?” tanya hakim. YA mengangguk.

Hingga puncaknya 29 Juni 2018 pukul 22.00 bertempat di Jalan Bungin, Gang IX, Desa Pedungan, Denpasar Selatan, Fani gelap mata.

Saat itu Fani sedang hamil delapan bulan dari pernikahan keduanya. Dalam kondisi hamil besar, YA dan HA yang sedang berada di dalam kamar tidur terdakwa ‎bertengkar berebut HP, sehingga membuat HA menangis.

Mendengar tangisan dan pertengkaran kedua anaknya, Fani stres. Apalagi anak-anak tidak mau tidur, sehingga membuat terdakwa semakin marah.

Fani dengan tangan kosong menempeleng pipi kiri YA. Setelah itu menjewer telinga lebih dari tiga kali. Perempuan yang hanya tamatan kelas III SD, itu seperti kesetanan.

Setelah itu dia mengambil sapu lidi dan sapu ijuk (sapu lantai) yang ada di dalam kamar. Dengan gagang sapu terbalik dia memukuli YA mengenai kepala, wajah, dan tangan berkali-kali hingga tubuh korban bengkak dan berdarah.

Penyiksaan selama setengah jam itu berhenti setelah YA teriak kesakitan dan menangis meminta ampun.

“Sudah, Ma. Sakit, Ma. Ampun, Ma,” rengek YA. Mendengar rengekan YA barulah Fani tersadar.

Perempuan yang hanya tamat SD kelas III, itu kemudian masuk kamar mandi mengambil kapas mengolesi obat merah dan mengusap luka YA menggunakan kayu putih.

“Aduh, sakit,” teriak YA. Fani meminta YA tidur. “Hasil visum RS Sanglah, YA mengalami luka pada kepala, dahi sisi kanan, pipi kanan, sudut mata luar, pipi kiri, dan telinga.

Korban dirawat sejak 30 Juni sampai 2 Agustus,” ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Denpasar, Made Ayu Citra Maya Sari. Selain itu, hasil visum ditemukan luka patah tulang akibat kekerasan benda tumpul.

JPU menjerat Fani dengan Pasal 76 C juncto Pasal 80 ayat (2), (4) Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak.

“Ancaman hukumannya bisa lebih berat karena yang melakukan kekerasan adalah orang tua anak sendiri,” tukas Maya.

Sementara itu, ibunya Fani dan kerabat lainnya bersaksi membenarkan adanya kekerasan terhadap YA. Bahkan, ibunya Fani datang langsung dari Jember, Jawa Timur, untuk menyelamatkan YA.

“Saya ditelepon sama saudara, kalau nggak datang YA bisa mati,” ujar ibunya Fani. Benar saja, saat sampai di Denpasar kondisi YA sudah babak belur.

Setelah dirawat di rumah sakit selama sebulan lebih, kini YA diasuh neneknya. Begitu juga dengan HA dan bayi perempuan Fani yang belum genap setahun.

Sementara suami kedua Fani urung bersaksi karena keberatan. Suasana menjadi haru ketika hakim bertanya, apakah YA masih sayang sama mamanya.

Dengan lugu YA menjawab masih sayang mama. Bocah dengan lesung pipi itu mengaku tidak marah dengan mamanya.

Sementara itu, pantauan Jawa Pos Radar Bali, usai sidang, Fani saat dibawa ke dalam sel tahanan tampak tercenung.

Perempuan berkerudung itu tidak membaur dengan tahanan perempuan lainnya yang sedang asyik ngobrol. Tatapan mata Fani tampak kosong.

Terpisah, YA tampak asyik bersama adiknya, HA. YA tergolong anak pintar. Saat salah satu awak media mengetes membaca, YA ternyata bisa.

“Jalur evakuasi,” ujar YA membaca papan petunjuk warna hijau. Saat diajak ke kantin, YA menurut. Namun, adiknya menangis.

Di luar dugaan, YA ternyata sangat dewasa. Dia berusaha menenangkan dan mengajak adiknya ke kantin. Tapi, adiknya tidak mau.

Setelah dari kantin, YA membawa jajan langsung menghampiri adiknya. Saat hendak pulang, YA bersalaman lalu cium tangan pada jaksa, jurnalis, dan pengacara yang sedang menghiburnya. Anak yang baik. (*)

Siapa bilang durhaka itu hanya diperuntukkan untuk anak ke orangtua. Orangtua juga bisa durhaka ke anak. Seperti kisah Fani Fatima alias Siti Fatima alias Fani.

Fani tega menyiksa putra pertamanya berinisial YA, yang umurnya belum genap enam tahun. Akibat siksaan itu, YA mengalami luka berat hingga patah tulang hasta kiri. Fani pun terancam dipenjara selama lima tahun.

 

 

MAULANA SANDIJAYA, Denpasar

RUANG Sidang Sari di PN Denpasar, kemarin sore (27/2) begitu sesak. Ruang sidang berukuran sekitar 6×5 meter itu dipenuhi keluarga Fani.

Ada ibu, paman, suami, bibi, hingga petugas dari Dinas Sosial yang khusus mendampingi YA. Kerabat Fani dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan atas kekerasan yang menimpa YA. 

Fani yang duduk di kursi pesakitan berjarak 1 meter dari tempat duduk YA tampak tercenung. Perempuan 28 tahun, itu terus memandangi waja polos anaknya.

Sementara YA asyik memutar kipas mainan yang digenggam. Kakinya yang tak menyentuh lantai diayun-ayunkan.

Memakai kemeja garis-garis kuning biru dipadu celana jins, YA tampak menggemaskan. YA tergolong anak pemberani. Meski mengalami luka berat, YA tidak takut bertemu dengan orang lain, terutama Fani.

“Adik kelas berapa?” tanya Sri Wahyuni Ariningsih, hakim ketua memulai persidangan. “Kelas nol besar (TK),” ujar YA, sambil terus memutar kipas plastiknya.

“Adik yang mukul siapa?” tanya Sri Wahyuni Ariningsih, hakim ketua yang memimpin persidangan kemarin (27/2). “Mama,” jawab YA.

Hakim memancing YA mamanya yang mana, YA menoleh dan menunjuk ke arah Fani. Seketika Fani tersenyum.

Hakim kembali bertanya, bagian tubuh apa saja yang dipukul, YA menunjuk kepala, pipi, bahu, tangan kiri, dan kaki kiri. “Sakit,” ucapnya lirih. 

Hakim kembali mengejar kenapa mamanya bisa tega memukul, dengan polos YA menjawab karena dirinya nakal.

“Nakalnya kenapa?” tanya hakim anggota IGN Ngurah Atmaja, sambil mendekatkan tubuh ke arah YA. “Disuruh ambil bedak, tapi salah,” ucap YA.

YA mengaku dia dan adiknya perempuannya, HA yang baru berumur 2,5 tahun sering menjadi sasaran mamanya ketika marah.

Misalnya, ketika HA ngompol di kasur langsung dipukul. Begitu juga dengan YA, saat melakukan kesalahan langsung dipukuli.

Bahkan, pernah dilempar pakai pisau. Beruntung tidak mengenai tubuh YA. “Jadi, setiap hari dipukul mama?” tanya hakim. YA mengangguk.

Hingga puncaknya 29 Juni 2018 pukul 22.00 bertempat di Jalan Bungin, Gang IX, Desa Pedungan, Denpasar Selatan, Fani gelap mata.

Saat itu Fani sedang hamil delapan bulan dari pernikahan keduanya. Dalam kondisi hamil besar, YA dan HA yang sedang berada di dalam kamar tidur terdakwa ‎bertengkar berebut HP, sehingga membuat HA menangis.

Mendengar tangisan dan pertengkaran kedua anaknya, Fani stres. Apalagi anak-anak tidak mau tidur, sehingga membuat terdakwa semakin marah.

Fani dengan tangan kosong menempeleng pipi kiri YA. Setelah itu menjewer telinga lebih dari tiga kali. Perempuan yang hanya tamatan kelas III SD, itu seperti kesetanan.

Setelah itu dia mengambil sapu lidi dan sapu ijuk (sapu lantai) yang ada di dalam kamar. Dengan gagang sapu terbalik dia memukuli YA mengenai kepala, wajah, dan tangan berkali-kali hingga tubuh korban bengkak dan berdarah.

Penyiksaan selama setengah jam itu berhenti setelah YA teriak kesakitan dan menangis meminta ampun.

“Sudah, Ma. Sakit, Ma. Ampun, Ma,” rengek YA. Mendengar rengekan YA barulah Fani tersadar.

Perempuan yang hanya tamat SD kelas III, itu kemudian masuk kamar mandi mengambil kapas mengolesi obat merah dan mengusap luka YA menggunakan kayu putih.

“Aduh, sakit,” teriak YA. Fani meminta YA tidur. “Hasil visum RS Sanglah, YA mengalami luka pada kepala, dahi sisi kanan, pipi kanan, sudut mata luar, pipi kiri, dan telinga.

Korban dirawat sejak 30 Juni sampai 2 Agustus,” ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Denpasar, Made Ayu Citra Maya Sari. Selain itu, hasil visum ditemukan luka patah tulang akibat kekerasan benda tumpul.

JPU menjerat Fani dengan Pasal 76 C juncto Pasal 80 ayat (2), (4) Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak.

“Ancaman hukumannya bisa lebih berat karena yang melakukan kekerasan adalah orang tua anak sendiri,” tukas Maya.

Sementara itu, ibunya Fani dan kerabat lainnya bersaksi membenarkan adanya kekerasan terhadap YA. Bahkan, ibunya Fani datang langsung dari Jember, Jawa Timur, untuk menyelamatkan YA.

“Saya ditelepon sama saudara, kalau nggak datang YA bisa mati,” ujar ibunya Fani. Benar saja, saat sampai di Denpasar kondisi YA sudah babak belur.

Setelah dirawat di rumah sakit selama sebulan lebih, kini YA diasuh neneknya. Begitu juga dengan HA dan bayi perempuan Fani yang belum genap setahun.

Sementara suami kedua Fani urung bersaksi karena keberatan. Suasana menjadi haru ketika hakim bertanya, apakah YA masih sayang sama mamanya.

Dengan lugu YA menjawab masih sayang mama. Bocah dengan lesung pipi itu mengaku tidak marah dengan mamanya.

Sementara itu, pantauan Jawa Pos Radar Bali, usai sidang, Fani saat dibawa ke dalam sel tahanan tampak tercenung.

Perempuan berkerudung itu tidak membaur dengan tahanan perempuan lainnya yang sedang asyik ngobrol. Tatapan mata Fani tampak kosong.

Terpisah, YA tampak asyik bersama adiknya, HA. YA tergolong anak pintar. Saat salah satu awak media mengetes membaca, YA ternyata bisa.

“Jalur evakuasi,” ujar YA membaca papan petunjuk warna hijau. Saat diajak ke kantin, YA menurut. Namun, adiknya menangis.

Di luar dugaan, YA ternyata sangat dewasa. Dia berusaha menenangkan dan mengajak adiknya ke kantin. Tapi, adiknya tidak mau.

Setelah dari kantin, YA membawa jajan langsung menghampiri adiknya. Saat hendak pulang, YA bersalaman lalu cium tangan pada jaksa, jurnalis, dan pengacara yang sedang menghiburnya. Anak yang baik. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/