29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 8:53 AM WIB

Kini Tangkapan Melimpah, Tolak Perusahaan Singapura demi Nelayan Lokal

Sebelum menggunakan aplikasi Fishgo, I Nyoman Sudiarta sekali melaut mendapat ikan rata-rata 1,5 kuintal.

Sekarang, setelah memakai Fishgo, Sudiarta bisa membawa pulang ikan hingga 1 ton. Bahkan perahunya sampai tidak muat.

 

 

MAULANA SANDIJAYA, Mangupura

TELEPON pintar (smart phone) milik Sudiarta kini benar-benar pintar. Tak lagi sekadar untuk komunikasi dan bermain media sosial, tapi juga membantu menghasilkan pundi-pundi rupiah.

“Saya menggunakan Fishgo mulai 2019, sejak aplikasi ini diujicobakan,” terang Sudiarta kepada Jawa Pos Radar Bali.

Pria 55 tahun itu mengaku sangat terbantu dengan aplikasi buatan I Gede Merta Yoga Pratama. Sejak menggunakan aplikasi tersebut, tangkapan ikan Sudiarta melonjak drastis.

“Sebelumnya paling banyak 1,5 kuintal. Setelah pakai Fishgo dapatnya lumayan, bisa sampai 1 ton. Kadang ikannya saya balikin ke laut karena jukung penuh,” ungkap anggota kelompok nelayan Samanjaya, Tuban, Kuta, itu.

Sudiarta tidak sendiri. Di kelompoknya ada 15 nelayan yang juga menggunakan Fishgo. Berbekal Fishgo itulah Sudiarta dan nelayan lainnya sudah tahu posisi gerombolan ikan sebelum naik perahu.

Ibarat orang bepergian sudah tahu alamat yang dituju. Selain itu, Fishgo juga memberikan prediksi waktu terbaik menangkap ikan, yaitu pukul 06.00 dan pukul 18.00.

Kondisi tersebut sangat menguntungkan bagi Sudiarta. Sebab, ia bisa menghemat biaya operasional seperti bahan bakar.

Selain itu juga bisa menghemat waktu. Diakuinya, sebelum menggunkan aplikasi di laut bisa 15 – 16 jam. Berangkat pukul 16.00 hingga subuh.

 “Kalau tidak dapat ikan pindah tempat, cari terus sampai dapat. Sekarang, sekali saja berangkat sudah langsung pulang,” tuturnya. Dengan memakai Fishgo, waktu melaut hanya delapan jam.

Selain menghemat ongkos dan tenaga, Sudiarta juga bisa mengetahui ikan apa yang akan ditangkap. Misalnya ikan tongkol, maka koordinat di Fishgo akan menuntunnya ke perairan di selatan Pantai Pandawa.

Sedangkan ikan lemuru bisa didapat di perairan Tanah Lot, Tabanan. “Sebelum pakai aplikasi hanya perkiraan dan insting saja. Lamun sing kangin, kauh laku (Kalau tidak ke timur, ya ke barat, Red),” ucapnya lantas terkekeh.

Sudiarta berharap ke depan Yoga bisa terus mengembangkan Fishgo. Titik dan jenis ikan bisa diperbanyak, sehingga ikan yang ditangkap semakin bervariasi.

 “Kalau bisa ditambah fitur untuk menangkap ikan yang harganya lumayan mahal, misalnya ikan layur. Intinya bisa banyak jenis ikan yang bisa ditangkap,” tukasnya.

Yoga sendiri kepada Jawa Pos Radar Bali ini menyatakan tidak akan berhenti mengembangkan aplikasinya.

Ia akan terus melakukan riset untuk menyempurnakan karyanya agar bermanfaat untuk masyarakat, khususnya nelayan tradisional.

“Walaupun saya anak petani, tapi saya punya banyak teman anak nelayan tradisional. Jadi, saya tahu betul kondisinya mereka,” ujarnya.

Dijelaskan Yoga, untuk mengembangkan Fishgo sangat terbuka. Aplikasi yang diilhami game Pokemon GO itu mendapat data dari dua sumber valid. Pertama sumber dari nelayan di lapangan.

Yoga dan nelayan mencatat koordinat tempat ikan didapat. Setelah itu air laut tempat menangkap ikan diambil untuk dijadikan sampel. Air ini kemudian diukur dengan empat variabel. Yaitu suhu, klorofil, saninitas, dan kedalaman.

Sumber kedua dari lembaga yang tidak main-main, National Aeronautics and Space Administration atau NASA, lembaga pemerintah milik Amerika Serikat yang bertanggung jawab atas program luar angkasa.

Data dari NASA itu didapat dengan cara mengunduh setiap hari. “Data lapangan ini dikombinasikan dengan data NASA yang bersifat open source (sumber terbuka).

Data NASA ini meliputi sistem informasi geografis,” tutur pemuda yang pernah memenangi lomba sains nasional itu.

Dari data lapangan dan NASA itulah bisa diketahui fisiologi atau habitat ikan. Misalnya ikan tongkol bisa hidup di perairan kedalaman sekian meter.

“Jadi, setiap ikan ada algoritmanya. Yang diprediksi Fishgo adalah jenis ikan yang bergerombol,” jelas Yoga.  

Yoga tidak berpuas diri dengan Fishgo saat ini. Ia bersama timnya terus melakukan penyempurnaan dengan cara mencatat data harian.

Data itu didapat dari nelayan yang melaut. Nelayan kemudian melaporkan hasil tangkapannya pada Yoga langsung melalu WhatsApp (WA). “Setiap bulan kami juga harus turun melaut untuk evaluasi,” tandasnya.

Tantangan ke depan Yoga ingin Fishgo bisa digunakan untuk para pemancing yang mencari ikan di kedalaman. Seperti ikan kerapu dan tuna. Alat tersebut sedang diproses Yoga.

Cara kerja alat tersebut seperti santer menembakkan cahaya ke dalam air. Alat secara otomatis akan mengirim sinyal ke telepon genggam ketika ada ikan datang.

Selain masalah teknis, pengalaman menarik yang pernah dialami Yoga yaitu berhadapan dengan tengkulak.

Ia diintimidasi. “Kerah baju saya pernah ditarik. Saya diminta agar tidak mengganggu bisnisnya,” kenangnya. Namun, Yoga tidak patah arah.

Setelah bergabung dengan Balitbang Pemkab Badung, Yoga bisa diterima masyarakat pesisir. Tidak ada lagi tengkulak yang berani menarik kerah bajunya. Aplikasi Fishgo saat ini sudah dipatenkan atas nama Yoga.

Ditanya momen paling mengharukan, pada suatu hari Yoga mencoba Fishgo bersama para nelayan ke laut. Ia satu perahu dengan empat nelayan lainnya.

Ketika berangkat, Yoga diremehkan. Aplikasi ciptaannya dicibir. “Saya bersyukur, baru 30 menit menebar jaring, langsung penuh. Di situlah ada momen haru dan bangga,” tandas pemuda yang piawai memainkan saksofon itu.

Ditanya apakah pernah ada tawaran bergabung dengan perusahaan besar yang lebih menarik, Yoga tersenyum.

“Saya sudah ditawari perusahaan dari Singapura, saya diberi dana awal USD 10 ribu. Tapi, saya tolak. Saya ingin membantu semua nelayan tradisional,” pungkasnya. (*)

 

Sebelum menggunakan aplikasi Fishgo, I Nyoman Sudiarta sekali melaut mendapat ikan rata-rata 1,5 kuintal.

Sekarang, setelah memakai Fishgo, Sudiarta bisa membawa pulang ikan hingga 1 ton. Bahkan perahunya sampai tidak muat.

 

 

MAULANA SANDIJAYA, Mangupura

TELEPON pintar (smart phone) milik Sudiarta kini benar-benar pintar. Tak lagi sekadar untuk komunikasi dan bermain media sosial, tapi juga membantu menghasilkan pundi-pundi rupiah.

“Saya menggunakan Fishgo mulai 2019, sejak aplikasi ini diujicobakan,” terang Sudiarta kepada Jawa Pos Radar Bali.

Pria 55 tahun itu mengaku sangat terbantu dengan aplikasi buatan I Gede Merta Yoga Pratama. Sejak menggunakan aplikasi tersebut, tangkapan ikan Sudiarta melonjak drastis.

“Sebelumnya paling banyak 1,5 kuintal. Setelah pakai Fishgo dapatnya lumayan, bisa sampai 1 ton. Kadang ikannya saya balikin ke laut karena jukung penuh,” ungkap anggota kelompok nelayan Samanjaya, Tuban, Kuta, itu.

Sudiarta tidak sendiri. Di kelompoknya ada 15 nelayan yang juga menggunakan Fishgo. Berbekal Fishgo itulah Sudiarta dan nelayan lainnya sudah tahu posisi gerombolan ikan sebelum naik perahu.

Ibarat orang bepergian sudah tahu alamat yang dituju. Selain itu, Fishgo juga memberikan prediksi waktu terbaik menangkap ikan, yaitu pukul 06.00 dan pukul 18.00.

Kondisi tersebut sangat menguntungkan bagi Sudiarta. Sebab, ia bisa menghemat biaya operasional seperti bahan bakar.

Selain itu juga bisa menghemat waktu. Diakuinya, sebelum menggunkan aplikasi di laut bisa 15 – 16 jam. Berangkat pukul 16.00 hingga subuh.

 “Kalau tidak dapat ikan pindah tempat, cari terus sampai dapat. Sekarang, sekali saja berangkat sudah langsung pulang,” tuturnya. Dengan memakai Fishgo, waktu melaut hanya delapan jam.

Selain menghemat ongkos dan tenaga, Sudiarta juga bisa mengetahui ikan apa yang akan ditangkap. Misalnya ikan tongkol, maka koordinat di Fishgo akan menuntunnya ke perairan di selatan Pantai Pandawa.

Sedangkan ikan lemuru bisa didapat di perairan Tanah Lot, Tabanan. “Sebelum pakai aplikasi hanya perkiraan dan insting saja. Lamun sing kangin, kauh laku (Kalau tidak ke timur, ya ke barat, Red),” ucapnya lantas terkekeh.

Sudiarta berharap ke depan Yoga bisa terus mengembangkan Fishgo. Titik dan jenis ikan bisa diperbanyak, sehingga ikan yang ditangkap semakin bervariasi.

 “Kalau bisa ditambah fitur untuk menangkap ikan yang harganya lumayan mahal, misalnya ikan layur. Intinya bisa banyak jenis ikan yang bisa ditangkap,” tukasnya.

Yoga sendiri kepada Jawa Pos Radar Bali ini menyatakan tidak akan berhenti mengembangkan aplikasinya.

Ia akan terus melakukan riset untuk menyempurnakan karyanya agar bermanfaat untuk masyarakat, khususnya nelayan tradisional.

“Walaupun saya anak petani, tapi saya punya banyak teman anak nelayan tradisional. Jadi, saya tahu betul kondisinya mereka,” ujarnya.

Dijelaskan Yoga, untuk mengembangkan Fishgo sangat terbuka. Aplikasi yang diilhami game Pokemon GO itu mendapat data dari dua sumber valid. Pertama sumber dari nelayan di lapangan.

Yoga dan nelayan mencatat koordinat tempat ikan didapat. Setelah itu air laut tempat menangkap ikan diambil untuk dijadikan sampel. Air ini kemudian diukur dengan empat variabel. Yaitu suhu, klorofil, saninitas, dan kedalaman.

Sumber kedua dari lembaga yang tidak main-main, National Aeronautics and Space Administration atau NASA, lembaga pemerintah milik Amerika Serikat yang bertanggung jawab atas program luar angkasa.

Data dari NASA itu didapat dengan cara mengunduh setiap hari. “Data lapangan ini dikombinasikan dengan data NASA yang bersifat open source (sumber terbuka).

Data NASA ini meliputi sistem informasi geografis,” tutur pemuda yang pernah memenangi lomba sains nasional itu.

Dari data lapangan dan NASA itulah bisa diketahui fisiologi atau habitat ikan. Misalnya ikan tongkol bisa hidup di perairan kedalaman sekian meter.

“Jadi, setiap ikan ada algoritmanya. Yang diprediksi Fishgo adalah jenis ikan yang bergerombol,” jelas Yoga.  

Yoga tidak berpuas diri dengan Fishgo saat ini. Ia bersama timnya terus melakukan penyempurnaan dengan cara mencatat data harian.

Data itu didapat dari nelayan yang melaut. Nelayan kemudian melaporkan hasil tangkapannya pada Yoga langsung melalu WhatsApp (WA). “Setiap bulan kami juga harus turun melaut untuk evaluasi,” tandasnya.

Tantangan ke depan Yoga ingin Fishgo bisa digunakan untuk para pemancing yang mencari ikan di kedalaman. Seperti ikan kerapu dan tuna. Alat tersebut sedang diproses Yoga.

Cara kerja alat tersebut seperti santer menembakkan cahaya ke dalam air. Alat secara otomatis akan mengirim sinyal ke telepon genggam ketika ada ikan datang.

Selain masalah teknis, pengalaman menarik yang pernah dialami Yoga yaitu berhadapan dengan tengkulak.

Ia diintimidasi. “Kerah baju saya pernah ditarik. Saya diminta agar tidak mengganggu bisnisnya,” kenangnya. Namun, Yoga tidak patah arah.

Setelah bergabung dengan Balitbang Pemkab Badung, Yoga bisa diterima masyarakat pesisir. Tidak ada lagi tengkulak yang berani menarik kerah bajunya. Aplikasi Fishgo saat ini sudah dipatenkan atas nama Yoga.

Ditanya momen paling mengharukan, pada suatu hari Yoga mencoba Fishgo bersama para nelayan ke laut. Ia satu perahu dengan empat nelayan lainnya.

Ketika berangkat, Yoga diremehkan. Aplikasi ciptaannya dicibir. “Saya bersyukur, baru 30 menit menebar jaring, langsung penuh. Di situlah ada momen haru dan bangga,” tandas pemuda yang piawai memainkan saksofon itu.

Ditanya apakah pernah ada tawaran bergabung dengan perusahaan besar yang lebih menarik, Yoga tersenyum.

“Saya sudah ditawari perusahaan dari Singapura, saya diberi dana awal USD 10 ribu. Tapi, saya tolak. Saya ingin membantu semua nelayan tradisional,” pungkasnya. (*)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/