25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 8:51 AM WIB

Sinetron Rusak Tata Bahasa, Sebut Lagu Indonesia Raya Karya Plagiat

Bahasa sebagai pemersatu bangsa. Begitulah kalimat yang sering kita dengar. Lalu bagaimana bahasa Indonesia ini lahir?

 

I WAYAN WIDYANTARA, Denpasar

PRIA berjenggot putih itu terlihat tertatih-tatih untuk mencari posisi duduk di kursi depan. Sebuah kursi panjang yang memang sudah disiapkan Jango Paramarta, kartunis Bali sebagai panitia di sebuah acara bincang seni.

Sebentar. Sepertinya sebutan panitia tak tepat untuknya. Sebab, Jango sendiri merupakan tuan rumah di acara yang digelar di rumahnya sendiri dengan mengundang teman-teman dekatnya.

Kebetulan radarbali.id ikut diundang ke acara yang memang digelar dengan sederhana itu. Dalam undangannya, berisi foto seorang pria tua dengan nama Remy Syaldo.

Wajah di undangan itu mirip seperti pria berjenggot dan tertatih-tatih tersebut. Ternyata benar, pria itu memang Remy Syaldo, salah satu sastrawan terkenal di Indonesia.

Dari kejauhan wajahnya memang tak terlalu jelas. Sebab lampu penerangan di acara yang digelar di halaman rumahnya tak seterang supermarket. Agak gelap.

Terlebih acara bincang seni ini baru di mulai pada pukul 20.20 malam. Bincang seni berjalan sangat santai. Ada yang duduk lesehan di karpet terpal.

Ada yang duduk di kursi, bahkan ada yang duduk di balebengong. Ditemani pisang goreng dan kopi, Remy dengan gaya tuturnya membuat pernyataan yang cukup mengejutkan.

Jauh sebelum itu, mari kita kenal Remy Syaldo lebih dekat. Pria bernama asli Yapi Panda Abdiel Tambayong ini lahir di Makasar pada 12 Juli 1945.

Saat ini ia ber-KTP Kota Bandung. Sebagai sastrawan, soal karya tentu berjubel.  Novelnya juga laris dan dicari banyak sastrawan muda lainnya.

Sebut saja berjudul Kerudung Merah Kirmizi, Ca Bau Kan Hanya Sebuah Dosa, dan masih banyak lagi lainnya.

Tak hanya sebagai penulis novel, Remy yang juga mantan wartawan ini adalah seorang pengamat musik, penulis naskah teater, pengajar seni, dan ahli dalam bidang bahasa.

Nah, bincang seni kali ini lebih banyak berbicara tentang bahasa Indonesia. Bahasa yang sering kita gunakan sehari-hari ini.

Kata Remy, Bahasa Indonesia memang berasal dari bahasa Melayu. Namun sangat banyak dipengaruhi dari Portugis dan Belanda.

“Setelah Belanda berhasil mengalahkan Portugis, Belanda melanjutkan itu (bahasa) melalui sekolah resmi. Sejak itu, kita sudah terbiasa menggunakan bahasa asing dan diserap dalam bahasa Indonesia,” ujar Remy Sylado.

Remy kemudian meninggikan suaranya. “Saya kecewa sama Malaysia. Kita tidak mencuri bahasa Melayu dan Melayu itu ada di Indonesia di kepulauan Riau. Dan, yang menyempernurnakan bahasa Melayu adalah orang Belanda,” tegasnya.

Bahasa Indonesia dalam sejarah yang tercatat memang dipopulerkan sejak zaman Sumpah Pemuda 1928. Di mana para pemuda ingin melepaskan diri dari penjajahan Belanda dengan memiliki bahasa persatuan.

Dalam catatan yang dihimpun Radarbali.id, menyebut hingga saat ini Indonesia memiliki 170 ribu kosa kata.

Berbeda dengan bahasa Inggris yang mencapai 1,2 juta kosa kata. Remy juga kecewa, bahasa persatuan bahasa Indonesia kini sudah mulai kehilangan arah.

“Kalian tahu? Yang merusak adalah sinetron. Sinetron banyak merusak bahasa Indonesia sebagai bahasa seni. Lu gue bro, itu merusak bahasa kita. Bagi saya, bahasa baik dan benar itu nggak ada. Yang ada itu indah, tepat dan wajar,” sebutnya.

Lanjut Remy, bahasa baik dan benar itu hanya dipakai presiden ke bawahnya dengan bahasa tertib. Tetapi dulu Bung Karno juga menggunakan kosa kata plintat plintut dan Gus Dur gunakan kosa kata mencla mencle.

Remy berharap bahasa Indonesia ini dapat dipelihara dengan baik, sebagai sebuah bahasa kebangsaan. Kata-kata seperti Oh my God, so far, by the way sebaiknya penggunaannya tidak dipaksakan. 

“Kita hebat, kita tak sama dengan di Philipina yang masih berkelahi dengan bahasa. Kita hebat, kita punya bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang benar adalah menerima lintasan bahasa di daerah,” tuturnya.

Namun, bukan Remy Syaldo namanya jika tidak mengungkap hal yang mencengangkan telinga. Mulai dari membahas teks proklamasi hingga lagu Indonesia Raya.

“Teks proklamasi itu semua bahasa asing. Tak ada asli bahasa Melayu,” katanya. Remy memaparkan satu persatu.

Dalam teks proklamasi, kata ‘kami’ berasal dari bahasa Champ dari kata gami. Kata ‘bangsa’ dari bahasa Sansekerta dari kata wangsa.

Kata ‘Indonesia’ bahkan diberikan oleh seorang etnolog dari Inggris, James Richardson Logan pada 1848.

Begitu juga dengan Kata ‘hal-hal’ berasal dari bahasa Arab.

Kata ‘tempo’ dari bahasa Italia. Kata ‘sesingkat-singkatnja’ dari bahasa China. Bahkan nama yang menandatangani ‘Soekarno’ dari Bahasa Sansekerta dan Hatta dari Bahasa Arab dan sebagainya

Tak cukup disitu. Remy juga menyebut lagu Indonesia Raya karangan WR Supratman juga merupakan sebuah lagu jiplakan dari lagu Belanda berjudul Lekka Lekka Pinda Pinda.

“Melodinya dari Belanda yang dibawakan dengan musik jazz. Diplagiatkan sama WR Supratman jadi lagu Indonesia Raya.

Judul lagu Lekka Lekka Pinda-Pinda juga bukan bahasa tertib Belanda. Itu artinya enak makan kacang,” sebutnya.

Tak hanya itu, Remy juga menyebut lagu Ibu Kartini karangan WR Supratman lainnya juga disebut plagiat dari lagu berjudul Onanikeke yang juga diambil dari bahasa Portugis.

Apa iya? Bagi yang penasaran silahkan dicari sendiri ya. (*)


Bahasa sebagai pemersatu bangsa. Begitulah kalimat yang sering kita dengar. Lalu bagaimana bahasa Indonesia ini lahir?

 

I WAYAN WIDYANTARA, Denpasar

PRIA berjenggot putih itu terlihat tertatih-tatih untuk mencari posisi duduk di kursi depan. Sebuah kursi panjang yang memang sudah disiapkan Jango Paramarta, kartunis Bali sebagai panitia di sebuah acara bincang seni.

Sebentar. Sepertinya sebutan panitia tak tepat untuknya. Sebab, Jango sendiri merupakan tuan rumah di acara yang digelar di rumahnya sendiri dengan mengundang teman-teman dekatnya.

Kebetulan radarbali.id ikut diundang ke acara yang memang digelar dengan sederhana itu. Dalam undangannya, berisi foto seorang pria tua dengan nama Remy Syaldo.

Wajah di undangan itu mirip seperti pria berjenggot dan tertatih-tatih tersebut. Ternyata benar, pria itu memang Remy Syaldo, salah satu sastrawan terkenal di Indonesia.

Dari kejauhan wajahnya memang tak terlalu jelas. Sebab lampu penerangan di acara yang digelar di halaman rumahnya tak seterang supermarket. Agak gelap.

Terlebih acara bincang seni ini baru di mulai pada pukul 20.20 malam. Bincang seni berjalan sangat santai. Ada yang duduk lesehan di karpet terpal.

Ada yang duduk di kursi, bahkan ada yang duduk di balebengong. Ditemani pisang goreng dan kopi, Remy dengan gaya tuturnya membuat pernyataan yang cukup mengejutkan.

Jauh sebelum itu, mari kita kenal Remy Syaldo lebih dekat. Pria bernama asli Yapi Panda Abdiel Tambayong ini lahir di Makasar pada 12 Juli 1945.

Saat ini ia ber-KTP Kota Bandung. Sebagai sastrawan, soal karya tentu berjubel.  Novelnya juga laris dan dicari banyak sastrawan muda lainnya.

Sebut saja berjudul Kerudung Merah Kirmizi, Ca Bau Kan Hanya Sebuah Dosa, dan masih banyak lagi lainnya.

Tak hanya sebagai penulis novel, Remy yang juga mantan wartawan ini adalah seorang pengamat musik, penulis naskah teater, pengajar seni, dan ahli dalam bidang bahasa.

Nah, bincang seni kali ini lebih banyak berbicara tentang bahasa Indonesia. Bahasa yang sering kita gunakan sehari-hari ini.

Kata Remy, Bahasa Indonesia memang berasal dari bahasa Melayu. Namun sangat banyak dipengaruhi dari Portugis dan Belanda.

“Setelah Belanda berhasil mengalahkan Portugis, Belanda melanjutkan itu (bahasa) melalui sekolah resmi. Sejak itu, kita sudah terbiasa menggunakan bahasa asing dan diserap dalam bahasa Indonesia,” ujar Remy Sylado.

Remy kemudian meninggikan suaranya. “Saya kecewa sama Malaysia. Kita tidak mencuri bahasa Melayu dan Melayu itu ada di Indonesia di kepulauan Riau. Dan, yang menyempernurnakan bahasa Melayu adalah orang Belanda,” tegasnya.

Bahasa Indonesia dalam sejarah yang tercatat memang dipopulerkan sejak zaman Sumpah Pemuda 1928. Di mana para pemuda ingin melepaskan diri dari penjajahan Belanda dengan memiliki bahasa persatuan.

Dalam catatan yang dihimpun Radarbali.id, menyebut hingga saat ini Indonesia memiliki 170 ribu kosa kata.

Berbeda dengan bahasa Inggris yang mencapai 1,2 juta kosa kata. Remy juga kecewa, bahasa persatuan bahasa Indonesia kini sudah mulai kehilangan arah.

“Kalian tahu? Yang merusak adalah sinetron. Sinetron banyak merusak bahasa Indonesia sebagai bahasa seni. Lu gue bro, itu merusak bahasa kita. Bagi saya, bahasa baik dan benar itu nggak ada. Yang ada itu indah, tepat dan wajar,” sebutnya.

Lanjut Remy, bahasa baik dan benar itu hanya dipakai presiden ke bawahnya dengan bahasa tertib. Tetapi dulu Bung Karno juga menggunakan kosa kata plintat plintut dan Gus Dur gunakan kosa kata mencla mencle.

Remy berharap bahasa Indonesia ini dapat dipelihara dengan baik, sebagai sebuah bahasa kebangsaan. Kata-kata seperti Oh my God, so far, by the way sebaiknya penggunaannya tidak dipaksakan. 

“Kita hebat, kita tak sama dengan di Philipina yang masih berkelahi dengan bahasa. Kita hebat, kita punya bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang benar adalah menerima lintasan bahasa di daerah,” tuturnya.

Namun, bukan Remy Syaldo namanya jika tidak mengungkap hal yang mencengangkan telinga. Mulai dari membahas teks proklamasi hingga lagu Indonesia Raya.

“Teks proklamasi itu semua bahasa asing. Tak ada asli bahasa Melayu,” katanya. Remy memaparkan satu persatu.

Dalam teks proklamasi, kata ‘kami’ berasal dari bahasa Champ dari kata gami. Kata ‘bangsa’ dari bahasa Sansekerta dari kata wangsa.

Kata ‘Indonesia’ bahkan diberikan oleh seorang etnolog dari Inggris, James Richardson Logan pada 1848.

Begitu juga dengan Kata ‘hal-hal’ berasal dari bahasa Arab.

Kata ‘tempo’ dari bahasa Italia. Kata ‘sesingkat-singkatnja’ dari bahasa China. Bahkan nama yang menandatangani ‘Soekarno’ dari Bahasa Sansekerta dan Hatta dari Bahasa Arab dan sebagainya

Tak cukup disitu. Remy juga menyebut lagu Indonesia Raya karangan WR Supratman juga merupakan sebuah lagu jiplakan dari lagu Belanda berjudul Lekka Lekka Pinda Pinda.

“Melodinya dari Belanda yang dibawakan dengan musik jazz. Diplagiatkan sama WR Supratman jadi lagu Indonesia Raya.

Judul lagu Lekka Lekka Pinda-Pinda juga bukan bahasa tertib Belanda. Itu artinya enak makan kacang,” sebutnya.

Tak hanya itu, Remy juga menyebut lagu Ibu Kartini karangan WR Supratman lainnya juga disebut plagiat dari lagu berjudul Onanikeke yang juga diambil dari bahasa Portugis.

Apa iya? Bagi yang penasaran silahkan dicari sendiri ya. (*)


Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/