Oleh: Dahlan Iskan
Saya merasa beruntung. Pulang dari makan bersama mahasiswa Lebanon itu. Sopir Ubernya keren. Cerdas. Kritis.
Rupanya ia begitu jengkel dengan keadaan ekonomi negara. Sangat tidak suka pemerintahnya.
Ia juga Sunni. Tapi sangat tidak suka perdana menterinya: Saad Hariri.
“Tapi kan ia terpilih lagi. Meski perolehan kursi partainya merosot drastis” kata saya.
“Uang, uang, uang,” katanya.
Saad Hariri memang didukung orang-orang kaya. Ia sendiri masih sangat kaya. Meski tidak sekaya bapaknya. Harta bapaknya sudah dibagi pula ke adik-adiknya. Yang tidak ada satu pun yang mau terjun ke politik.
Malam itu saya dilewatkan jalan tepi pantai. “Lihat itu,” katanya. Sambil menunjuk gedung tinggi yang belum jadi.
Bukan bangunannya yang menarik. Tapi spanduk besar yang di beber di dinding gedung itu. Dengan tulisan: STOP Solidare.
Kata ‘stop’ berupa lambang merah. Seperti yang biasa dipasang di jalan wajib berhenti.
‘Solidare’ adalah badan usaha gabungan: swasta dan pemerintah. Perusahaan real estate yang besar sekali. Seperti awal Pembangunan Jaya di Jakarta dulu.
Yang membentuk Solidare adalah Rafic Hariri, perdana menteri saat itu. Ayah Saad Hariri. Perdana menteri saat ini.
Tugas perusahaan itu satu: memodernisasi pusat kota Beirut. Bangunan-bangunan lama dihancurkan. Seluas 20 ha. Ditata ulang. Kebetulan bangunan di situ yang hancur. Kena bom bertubi-tubi. Dalam perang yang lalu.
Kawasan itulah yang sekarang jadi Souk Beirut. Dengan mall dan pertokoannya. Hotel-hotel. Bioskop. Galeri seni. Blok-blok baru.
Belum lagi modernisasi itu terwujud Rafic Hariri tewas. Dibom. Di dekat kantornya. Tewas pula 28 anak buahnya. Atau lebih.
Jenazahnya dimakamkan di sebelah masjid Hariri. Bersama korban lainnya. Masjid baru yang besar sekali.
Saya pernah ke masjid itu. Untuk salat zuhur. Dari teras masjid terlihat laut. Dan kapal-kapal pesiarnya.
Di teras masjid tergantung banyak abaya hitam. Atau mirip abaya. Yang ada penutup kepalanya. Seperti jas hujan.
Turis asing boleh masuk ke masjid itu. Asal mengenakan abaya tersebut. Melihat keindahan dalamnya.
Habis salat saya heran: kok ada empat wanita berabaya hitam ngobrol sambil berdiri. Di dalam masjid. Saya hampiri. Ternyata mereka wanita Italia. Turis.
Di pintu keluar pun ketemu: banyak wanita yang ingin masuk. Seperti agak ragu-ragu. Saya ajak bicara mereka. Ternyata dari Perancis. Saya bantu tunjukkan bagaimana prosedur masuk masjid itu. Harus melapisi pakaian turis mereka dengan abaya. Yang tergantung di dinding itu. Lalu copot sepatu. “Ada tempat sepatu yang rapi di dalam masjid,” kata saya.
Sebagian wanita itu tidak jadi masuk. “Kalau harus pakai itu saya tidak mau,” katanya. “Saya duduk di sini saja sambil tunggu teman-teman saya” tambahnya.
Saya jadi teringat Masjid Akbar Surabaya. Begitu banyak orang asing yang terkagum arsitekturnya. Suatu kali tamu-tamu dari Tiongkok saya tawari ke masjid Akbar. Melihat dalamnya. Sebagian mereka wanita.
Ternyata tamu-tamu saya itu ditolak. Mungkin karena ada yang hanya pakai rok. Atau karena mereka tidak beragama.
Fasilitas abaya di masjid Hariri Beirut itu jalan keluarnya.
Bukan hanya masjid yang untuk mengenang Rafic Hariri. Ada juga patungnya. Dibangun di suatu taman. Dekat pantai. Persis di depan gedung yang belum jadi itu. Yang ada spanduk besarnya itu.
Keesokan harinya saya ke taman itu. Ingin memotret patung itu. Dengan latar belakang gedung berspanduk STOP itu.
“Aktivis menetang berdirinya gedung itu,” ujar sopir Uber saya. “Itu lambang kerakusan Solidare,” tambahnya.
Pantai, kata mereka, adalah tanah publik. Tidak boleh dikuasai oleh perusahaan seperti itu.
Ternyata ada juga cerita pribadi. Di balik ketidaksukaannya pada Hariri. “Ayah saya dulu rumahnya di pusat kota ini. Digusur Solidare,” katanya. “Sampai sekarang ganti ruginya belum beres.”
Sebenarnya saham keluarga Hariri tidak besar di Solidare. Hanya sekitar 6 persen. Dalam akta pendirian memang ditegaskan: tidak boleh ada yang punya saham di atas 6 persen. Saham Solidare diperdagangan di pasar modal.
Di balik kemewahan memang sering tersimpan kegelisahan, kecemberutan, rasa ketidakadilan dan kemarahan.
Tapi hidup harus terus berjalan.
Pun Lebanon sendiri. Sebagai negara.
Padahal semua tetangga Lebanon telah bikin repot. Tetangga terdekatnya. Yang di Utara. Di Timur. Maupun yang di Selatan. Hanya satu tetangganya yang baik. Yang di Barat itu: laut.(dahlan iskan)