33.3 C
Jakarta
25 November 2024, 13:01 PM WIB

Suluk Pencuci Hati

Tulisan hari ini tidak usah Anda baca. Tidak ada gunanya.

Ini bukan soal kondom. Juga bukan soal bulog desa.

Ini ‘hanya’ soal pedalaman. Pedalamannya seorang manusia. Mungkin jauh dari yang Anda perlukan.

Ratusan orang, minggu lalu menjalani suluk. Semacam retreat. Sepuluh hari. Tidak pulang. Puasa. Ibadah. Dzikir. Sholat. Hampir sepanjang hari dan malam.

Begitulah penganut tarekat sering melakukan. Setahun satu atau dua kali.

Seseorang, sebelum menganut tarekat, biasanya belajar dulu tasawuf. Untuk mengetahui makna hidup yang sebenarnya: hakekat hidup.

Untuk apa makan. Untuk apa minum. Untuk apa tidur. Untuk apa hidup. Untuk apa berdoa. Untuk apa sembahyang. Untuk apa perlu dekat dengan Tuhan.

Setelah tahu semua itu barulah: bagaimana caranya bisa dekat dengan Tuhan, di manakah jalan itu, dan lewat jalan yang mana.

Kalau sudah tertarik dengan semua itu barulah menjalaninya. Lewat jalan yang ditunjukkan si penunjuk jalan: sang mursyid. Beliau itulah yang menjadi panutan.

Tiap satu aliran tarikat selalu ada satu mursyid.

‘Tarekat’ artinya ‘jalan’. Jalan menuju Tuhan. Jalan yang mereka anggap benar. Yang pasti sampai tujuan. Bukan jalan yang kelihatannya lurus dan lapang, tapi jalan itu ternyata menuju pabrik kondom.

Selama 10 hari, penganut tarekat yang lagi menjalani suluk itu terputus dari dunia. Tidak ingat sawah, ladang, toko, kantor dan apalagi utang.

Tidak boleh ingat pesaing, musuh, juragan yang kejam, tetangga yang bawel dan apalagi ketua partai. Sepi. Lapar. Menerima apa adanya yang ada.

Dan hilanglah rasa kemrungsung dari dalam hati. Kemrungsung adalah rasa selalu ingin ini dan ingin itu dan keinginan itu harus dicapai secepatnya.

Godaan suluk tentu banyak. Itulah cara Tuhan menyeleksi umatnya. Apalagi di zaman ini. Ketika hp tetap di saku. Ketika semuanya dibeli dengan cara kredit. Semuanya.

Akibat rasa kemrungsung yang tak terkendali. Semua ingin cari uang. Untuk membayar cicilan.

Tekanan pekerjaan luar biasa. Untuk dapat uang bayar cicilan itu. Lalu berkembang ke rasa takut. Siang malam dirundung rasa takut. Cemas.

Takut tidak bisa bayar cicilan. Takut barangnya disita. Malu dengan tetangga. Dan kerabat.

Rasa takut dan cemas itu kadang ditutupi dengan ini: pergi ke karaoke. Teks lagu yang keluar di layar karaoke bisa terbaca lain: akeh utange…. angel bayare….

Dengan suluk setidaknya ada jeda. Ternyata tetap hidup. Baik-baik saja.

Pulang ke rumah, rumahnya masih ada. Semuanya masih ada. Hidup itu ternyata sederhana. Simple.
Tapi hutang juga tetap tidak hilang. Cicilan tetap harus dibayar…

Saat saya diminta mengisi salah satu acara di suluk itu saya ingat saat suluk dulu. Itulah cara untuk mencuci hati.

Kita tahu kalau baju kita kotor kita cuci dengan diterjen. Kalau badan kita kotor kita cuci dengan sabun.

Tapi bagaimana cara mencuci hati yang kotor? Pasti tidak dengan diterjen atau sabun. Padahal hati kita bisa jadi lebih kotor dari baju kita.

Tapi pertanyaan bertubi-tubi dari peserta suluk yang harus saya jawab hari itu bukan soal tehnik cuci hati. Melainkan bagaimana agar penganut tarekat tetap bisa kaya. Satu sifat yang kelihatannya bertentangan.

Maka forum tarekat Naqsabandiyah Mujaddadiyah Khalidiyah pimpinan KH Mohammad Nizam As-Shofa di pelosok Sidoarjo itu ramai dengan pertentangan antara zuhud dan duit. KH Nizam yang menjadi moderatornya. Beliau adalah alumni Al Azhar Mesir.

Dia inilah yang menciptakan nada sholawat ‘astaghfirullah…’ yang terkenal itu. Yang menjadi lebih terkenal karena banyak orang mengira itu suaranya Gus Dur.

Ah, sudahlah. Sampai di sini saja dulu. Kalau tulisan ini diteruskan bisa jadi orang akan takut mencari uang.(dis)

Tulisan hari ini tidak usah Anda baca. Tidak ada gunanya.

Ini bukan soal kondom. Juga bukan soal bulog desa.

Ini ‘hanya’ soal pedalaman. Pedalamannya seorang manusia. Mungkin jauh dari yang Anda perlukan.

Ratusan orang, minggu lalu menjalani suluk. Semacam retreat. Sepuluh hari. Tidak pulang. Puasa. Ibadah. Dzikir. Sholat. Hampir sepanjang hari dan malam.

Begitulah penganut tarekat sering melakukan. Setahun satu atau dua kali.

Seseorang, sebelum menganut tarekat, biasanya belajar dulu tasawuf. Untuk mengetahui makna hidup yang sebenarnya: hakekat hidup.

Untuk apa makan. Untuk apa minum. Untuk apa tidur. Untuk apa hidup. Untuk apa berdoa. Untuk apa sembahyang. Untuk apa perlu dekat dengan Tuhan.

Setelah tahu semua itu barulah: bagaimana caranya bisa dekat dengan Tuhan, di manakah jalan itu, dan lewat jalan yang mana.

Kalau sudah tertarik dengan semua itu barulah menjalaninya. Lewat jalan yang ditunjukkan si penunjuk jalan: sang mursyid. Beliau itulah yang menjadi panutan.

Tiap satu aliran tarikat selalu ada satu mursyid.

‘Tarekat’ artinya ‘jalan’. Jalan menuju Tuhan. Jalan yang mereka anggap benar. Yang pasti sampai tujuan. Bukan jalan yang kelihatannya lurus dan lapang, tapi jalan itu ternyata menuju pabrik kondom.

Selama 10 hari, penganut tarekat yang lagi menjalani suluk itu terputus dari dunia. Tidak ingat sawah, ladang, toko, kantor dan apalagi utang.

Tidak boleh ingat pesaing, musuh, juragan yang kejam, tetangga yang bawel dan apalagi ketua partai. Sepi. Lapar. Menerima apa adanya yang ada.

Dan hilanglah rasa kemrungsung dari dalam hati. Kemrungsung adalah rasa selalu ingin ini dan ingin itu dan keinginan itu harus dicapai secepatnya.

Godaan suluk tentu banyak. Itulah cara Tuhan menyeleksi umatnya. Apalagi di zaman ini. Ketika hp tetap di saku. Ketika semuanya dibeli dengan cara kredit. Semuanya.

Akibat rasa kemrungsung yang tak terkendali. Semua ingin cari uang. Untuk membayar cicilan.

Tekanan pekerjaan luar biasa. Untuk dapat uang bayar cicilan itu. Lalu berkembang ke rasa takut. Siang malam dirundung rasa takut. Cemas.

Takut tidak bisa bayar cicilan. Takut barangnya disita. Malu dengan tetangga. Dan kerabat.

Rasa takut dan cemas itu kadang ditutupi dengan ini: pergi ke karaoke. Teks lagu yang keluar di layar karaoke bisa terbaca lain: akeh utange…. angel bayare….

Dengan suluk setidaknya ada jeda. Ternyata tetap hidup. Baik-baik saja.

Pulang ke rumah, rumahnya masih ada. Semuanya masih ada. Hidup itu ternyata sederhana. Simple.
Tapi hutang juga tetap tidak hilang. Cicilan tetap harus dibayar…

Saat saya diminta mengisi salah satu acara di suluk itu saya ingat saat suluk dulu. Itulah cara untuk mencuci hati.

Kita tahu kalau baju kita kotor kita cuci dengan diterjen. Kalau badan kita kotor kita cuci dengan sabun.

Tapi bagaimana cara mencuci hati yang kotor? Pasti tidak dengan diterjen atau sabun. Padahal hati kita bisa jadi lebih kotor dari baju kita.

Tapi pertanyaan bertubi-tubi dari peserta suluk yang harus saya jawab hari itu bukan soal tehnik cuci hati. Melainkan bagaimana agar penganut tarekat tetap bisa kaya. Satu sifat yang kelihatannya bertentangan.

Maka forum tarekat Naqsabandiyah Mujaddadiyah Khalidiyah pimpinan KH Mohammad Nizam As-Shofa di pelosok Sidoarjo itu ramai dengan pertentangan antara zuhud dan duit. KH Nizam yang menjadi moderatornya. Beliau adalah alumni Al Azhar Mesir.

Dia inilah yang menciptakan nada sholawat ‘astaghfirullah…’ yang terkenal itu. Yang menjadi lebih terkenal karena banyak orang mengira itu suaranya Gus Dur.

Ah, sudahlah. Sampai di sini saja dulu. Kalau tulisan ini diteruskan bisa jadi orang akan takut mencari uang.(dis)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/