KELUAR dari kamar 1113 Swissotel Al Maqam Makkah Al Mukarramah, Arab Saudi, pagi itu, Selasa (14/1), bersamaan jadwal ibadah bebas (tak terikat jadwal rombongan),
saya bersama teman satu kamar, Mohammad Imam Jalmo Panuntun, pergi ke sudut jalan di baradaya Masjidil Haram.
Mencari taksi menuju Jabal (Gunung) Nur, ingin mendaki sampai puncaknya (642 meter), ke Goa Hira’, tempat Rasulullah Muhammad SAW menerima wahyu pertama melalui Malaikat Jibril, Surat Alaq ayat 1-5.
Semula saat tawar menawar dengan sopir taksi Toyota Camry dengan nomor polisi 8530 HDA, harganya Riyal 40 (sekitar Rp 160 ribu).
Namun, sesampai di persimpangan jalan menuju kaki Jabal Nur, sopir taksi menawarkan; kalau mau diantar ke atas,
maksudnya persis di pemberhentian taksi di bawah anak tangga terbawah menuju rute pendakian Jabal Nur, nambah Riyal 10.
Kami setuju menambah Riyal 10. ’’Daripada, Kita ngos-ngosan sebelum naik Jabal Nur,’’ kata Imam. Tambahan ongkos untuk rute naik itu, untuk jarak sekitar 1,5 km.
Sangat curam, dan jalannya tanpa trotoar. Sehingga, bila tak hati-hati, bisa keserempet taksi yang naik merayab, maupun taksi yang mutar untuk turun.
Selain kecuraman sekitar 90 derajat, juga medan sempit. Laju taksi pun, gas rem, gas rem. Bau kampas rem, maupun roda yang bergesekan dengan aspal agak kasar pun menyengat hidung.
Mata penulis, tiba-tiba tertuju pada; ’’Tongkat Riyal 10,’’ demikian tulisan yang dipajang beberapa pedagang tongkat di sisi jalan menuju anak tangga pertama Jabal Nur ini.
Tongkat seharga sekitar Rp 40 ribu itu, panjangnya sekitar 1,25 meter yang bagian atasnya melengkung untuk pegangan tangan.
Begitu turun dari taksi, kami berhenti di areal terbawah anak tangga, titik start menuju Jabal Nur. Kami mengeluarkan perbekalan kami; 1,5 liter air zam zam, sekilo kurma madu, madu sachet, hingga minyak zaitun (olive oil).
Perbekalan makanan-minuman, kami konsumsi untuk menjaga stamina. Sementara, minyak zaitun kami oleskan ke bibir, kelopak mata, leher, pipi, juga kulit tangan.
Kami juga menawarkan kurma kami ke rombongan pendaki lain. Semula, mereka ragu. Lantas, kami berucap; ’’Halal, halal, halal…!.’’ Barulah mereka mau mengambil beberapa butir kurma kami.
Sambil berucap; Bismillah, kami tapaki tangga demi tangga. Saya lupa membawa kacamata dan masker, ketinggalan di hotel.
Sehingga, agak hati-hati, menghindari debu yang tiba-tiba terbang, begitu dasar anak tangga dilalui rombongan pengunjung.
Untuk menghemat energi, karena juga tak membeli tongkat, kami memanfaatkan pagar tembok rendah di tepi tangga sebagai pegangan.
Sekaligus, menjadi tumpuan biar mendapat gaya dorong ke atas. Sehingga, mengurangi gravitasi. Sekitar 200 meter naik, hidung terasa kering. Kami istirahat, duduk di tepi tangga.
Minum air zam zam, makan kurma. Juga mengolesi muka dengan minyak zaitun. Sebelum kembali diolesi, muka dan bibir, terasa kering dan panas.
Sekitar 100 meter menuju puncak, baru ada pagar besi. Lumayan bisa pegangan, plus dapat gaya dorong mencapai puncak.
Sepanjang rute naik, berpapasan dengan pengunjung aneka bangsa. Ada seorang perempuan tua, berkerudung ala perempuan India. Sendirian.
Di tangan kanannya, sebuah tasbih tampak terus diputar. Saat beristirahat, mulutnya terus melafalkan kalimat toyibah (kalimat baik dan pujian kepada Allah SWT).
Di tengah anak tangga, ada perempuan menggendong bayinya, ada pula seorang bapak mengayunkan anaknya.
Tiga bocah tampak kegirangan menapaki anak tangga. Hingga ada yang nyaris jatuh, setelah terpeleset oleh licinnya gundukan pasir di anak tangga.
Yang istimewa, tampak pula pasangan kakek dan nenek mendaki Jabal Nur. Mereka tampak istirahat di tepi tangga. Yang kakek berpayung, sang nenek pakai tongkat.
Menjelang puncak gunung, ada pilar-pilar kayu beratap benda-benda seadanya. Tersedia bak-bak sampah.
Di sini, banyak pengunjung berteduh dari teriknya mentari. Mereka tampak makan dan minum. Di depannya, terhampar areal kurang lebih 4 x 6 meter, lantainya rata.
Berpagar besi segi empat. Ditutupi belasan sajadah. Beberapa pengunjung tampak sholat. Begitu juga penulis. Areal ini dikelilingi pagar besi.
Nan jauh di depannya, tampak Masjidil Haram. ’’Rasulullah Muhammad SAW ber-khalwat atau menyendiri di Goa Hira’, k
arena dari Goa Hira’ masih bisa melihat Ka’bah,’’ jelas Ustadz Malhan Sochib, pembimbing rombongan umroh kami, saat perjalanan dari Madinah ke Makkah.
Usai sholat sunat, guna mencapai Goa Hira’, kami harus turun sedikit memutar ke arah kanan. Melewati jalur yang masuknya harus miring. Setelah keluar, ketemulah pintu masuk Goa Hira’.
Di depan goa tampak tulisan Arab, ayat 1-5 Surat Al Alaq. Pengunjung sudah berjubel. Mereka gantian masuk melalui pintu, yang hanya cukup satu orang saja.
Lolos dari pintu masuk, harus masuk dengan satu kaki, dan miring. Kalau kaki gemuk, tak cukup melewatinya.
Kalau tak mau masuk berdiri, bisa merayab di atas batu yang cukup untuk satu tubuh. Ruang jalan masuknya, ibarat hurup B atau angka 8.
Kalau masuk miring, ibaratnya kepala dan tubuh Kita menempati lingkaran atas, kaki Kita di lingkaran bawah yang sempit. Kalau betis Kita gemuk, tak cukup melewati ruang antarbatunya.
Begitu di dalam, ternyata bukan goa yang luas, tapi hanya ruang yang cukup untuk dua orang dengan posisi duduk, atau satu orang dengan posisi tiduran atau bersandar.
Setelah berdoa beberapa menit, kami keluar Goa Hira’. Perjalanan serasa ringan, karena langkah kaki sudah tak tertahan gravitasi lagi. Malah, diringankan adanya gravitasi bumi.
Kami sempatkan mengambil foto pengunjung, hingga selfie. Juga ngobrol dengan pengunjung lain.
Setelah menuruni puncak gunung sekitar 100 meter, tampak pria menyemen anak tangga. Di sebelahnya, tergeletak kotak kardus, tempat sumbangan pengunjung.
Di bawahnya lagi, pria berdandan ala bangsa Arab tempo dulu, tengah menyapu. Pria ini, juga menerima pemberian, meski tak secara langsung meminta-minta.
Ada sekitar tujuh sampai sembilan orang yang menerima sumbangan pengunjung. Selain memberi sumbangan uang, kami juga menyumbang kurma untuk mereka.
Dalam hati kami, mengingat ini tanah haram, kami pun bertanya; Mereka itu pengemis sungguhan, atau jangan-jangan ada utusan Allah SWT, yang tengah diturunkan untuk menguji iman kami.
Sesampai di anak tangga terakhir, kami sudah disapa beberapa sopir taksi. Kali ini, untuk kembali ke hotel di pinggir Masjidil Haram, kami ditarik ongkos Riyal 40.
Sebelum menuju tangga terakhir, kami menyaksikan rombongan pelajar Indonesia yang asyik memberi makan burung merpati.
Makkah dan Madinah merupakan surganya burung merpati. Di depan pintu 26 Masjid Nabawi (dekat hotel kami, Al Haram), merupakan areal tempat berkumpulnya ribuan merpati, begitu juga di halaman Masjid Bir Ali.
Merpati bersama laba-laba, termasuk dua hewan yang melindungi Rasulullah Muhammad SAW dan Abu Bakar saat bersembunyi di Goa Tsur saat hendak hijrah ke Madinah.
Saat itu, pemuda Quraisy yang mengejarnya hingga depan goa, nyaris mendapati Rasulullah. Untungnya, Allah SWT perintahkan merpati bersarang dan bertelor di depan goa.
Begitu juga dengan laba-laba yang bikin rumah di depan goa. Sehingga, musuh yang mengejar kembali. Karena beranggapan, tak mungkin Rasulullah masuk goa yang di depannya ada sarang burung merpati dan rumah laba-laba.
“Di Ka’bah pun ada burung merpati terbang, tapi tak pernah buang kotoran di Ka’bah,” sambung Ustadz Malhan.
Tak lupa, sebelum meninggalkan Jabal Nur, kami berdoa agar diizinkan Allah SWT untuk bisa kembali ke Jabal Nur dan Goa Hira’. (djoko heru setiyawan)