26.2 C
Jakarta
22 November 2024, 3:55 AM WIB

Lift Gus Dur Untuk Saya

Oleh: Dahlan Iskan

Saya diancam. Di Los Angeles.

”Kalau tetap tidur di hotel putus silaturahmi kita.”

Saya pun tidur di rumahnya. Di kawasan Arcadia. Rumah tujuh kamar itu. Di atas tanah 1.800m2 itu.

Ia memang sudah ke rumah saya. Yang di Jakarta. Yang di Surabaya. Ia ingin saya berlaku adil padanya.

Pemilik rumah di Los Angeles ini adalah juga pemilik majalah: “Media Indonesia”. Berbahasa Indonesia. Terbit dua kali sebulan. Beredar di seluruh Amerika. Untuk masyarakat kita. Apa pun sukunya.

Saya pernah menemukan majalah ini di New York. Di restoran Padang. Saat dulu makan di sana. Bersama imam masjid New York: Ustadz Shamsi Ali. Dan tamunya: Ustadz Yusuf Mansyur al-Kelana.

Nama sahabat saya ini: Ibrahim Irawan. Dokter gigi. Lulusan Trisakti, Jakarta. Tahun 1980.

Istrinya juga dokter gigi. Satu kelas. Saat kuliah dulu.

Anak lakinya hampir lulus dokter gigi: Bryan Irawan. Di kampus papan atas Amerika: Stamford University. Bryan memang tinggal pilih. Enam universitas terkemuka menawarinya. Saat ia masih kelas dua SMA. Di Arcadia. Los Angeles Timur sana.

Berada di rumah Pak Irawan ini juga serasa di kebun fauna. Burung merak terlihat ke sini dan ke sana. Berkeliaran di mana-mana. Di pekarangan-pekarangan siapa saja. Di perumahan yang serba tanpa pagar ini.

Kadang saya harus mengerem mobil. Burung merak itu  lagi menyeberang. Bersama tiga anaknya. Yang masih “piyik-piyik” besarnya.

”Dilarang memberi makan burung merak.”

Begitu pengumuman di pojok perumahan itu. Dekat botanic garden itu.

Masyarakat Amerika memang taat aturan. Termasuk yang asalnya Indonesia. Burung merak itu tetap aman. Sebagai burung liar. Tanpa tergantung makanan dari manusia. Juga tidak perlu sakit ususnya. Semua makanan cari sendiri. Dari alamnya sendiri. Yang terpelihara. Semua jenis pohonnya. Di Arcadia.

Saya ke halaman belakang rumah ini. Ada kolam renang. Ada lapangan tenis. Ada ring basket. Ada pohon pisang. Pohon alpukat. Pohon jambu. Berbagai jenis jambu. Pohon jeruk purut. Dan berbagai jeruk lainnya.

Ada pula peralatan tukang. Serba listrik. Mengingat saya akan ayah. Yang alat tukangnya begitu seadanya.
Saya memotong tongkat panjang. Dengan gergaji listrik. Tidak sampai satu menit. Saya masukkan mobil. Untuk alat olahraga. Sepanjang perjalanan nanti. Entah berapa ribu kilometer lagi. Menuju Missouri.

Gus Dur hampir saja tinggal di rumah ini. Saat ke Los Angeles dulu. Prinsipnya Gus Dur sudah setuju. Menghormati sahabat yang rindu. Sampai-sampai Irawan mengadakan lift baru. Di rumahnya. Untuk naik ke lantai dua.

Saya yang memanfaatkan lift itu. Akhirnya. Sekalian ngalap berkah beliaunya.

Drg Irawan sebenarnya pilih hidup di Jakarta. Meneruskan karirnya di Palang Merah Indonesia. Mengikuti jejak almarhum bapaknya: dokter Putra Satia Irawan. Terlahir: Ie Weng Foek. Direktur divisi 4 PMI Pusat. Pada tahun awal Orde Baru.

Dua malam saya di kamar itu. Yang disiapkan untuk Gus Dur itu.

Hari pertama sudah harus makan bersama. Dengan tokoh-tokoh dari organisasi ini: Indonesian Chinese American Association. Makan besar. Yang disiapkan tuan rumah. Dan yang dibawa para tamu.

Pembicaraan pun seru. Mulai politik Indonesia, ekonomi, Trump, sampai bagaimana kalau kangen durian.

Baru tahu: masing-masing ternyata punya stock durian. Yang sudah dibekukan.

Tapi mereka juga dibenci importir durian. Suka mendatangkan durian sendiri. Lalu membagikannya ke sesama warga ICAA. Dengan harga tanpa laba. Hanya plus biaya.

”Awalnya saya pindah ke Amerika karena ikut istri,” ujar drg Irawan.

Itu tahun 1990. Sudah 10 tahun mereka menikah. Belum dikaruniai anak. Sang istri juga tidak segera mendapat kepastian: akan ditempatkan di mana.

Sang istri mengajaknya ke Amerika. Ikut program bayi tabung. Toh biaya bukan kendala.

Maka lahirlah Bryan. Lalu adik wanitanya: Stacey Irawan. Dengan jalan yang sama. Dengan kepintaran setara kakaknya. Yang juga sudah kuliah di luar kota.

Awalnya suami-istri ini tinggal di Beverly Hill. Di Hollywood itu. Di daerah pefilman itu. Lalu pilih pindah ke tempat yang damai ini.

Tentu saya juga diajak ke kliniknya. Bangunan besar dua lantai. Bekas bank. Yang luas halaman parkirnya. Yang ada aula di lantai duanya. Yang ada kantor majalahnya. Yang lima set kursi pasien giginya.

Dengan mobil Lexusnya kami keliling kota. Ditemani lagu-lagu barat dari CD-nya. Yang cocok di telinga saya.

Saya pun penasaran dibuatnya. Kok ini bukan penyanyi aslinya. Saya nyalakan soundhound di HP saya. Ingin tahu siapa penyanyinya.

Sialan. Tidak terdeteksi.

Saya pun bertanya. Siapa penyanyi lagu ini. Ia pun baru buka rahasia. Ternyata penyanyinya tidak terkira: dia sendiri.

Hari ketiga saya pamit. Menuju timur. Melewati Las Vegas. Utah. Colorado. Kansas. Akan sampai Missouri. Kalau Allah memberkati.

Tinggallah dokter Irawan sendiri. Bersama istri. Di istananya ini. Yang masing-masing juga segera pergi. Ke kliniknya sendiri-sendiri. (dahlan iskan)

Share this:

Oleh: Dahlan Iskan

Saya diancam. Di Los Angeles.

”Kalau tetap tidur di hotel putus silaturahmi kita.”

Saya pun tidur di rumahnya. Di kawasan Arcadia. Rumah tujuh kamar itu. Di atas tanah 1.800m2 itu.

Ia memang sudah ke rumah saya. Yang di Jakarta. Yang di Surabaya. Ia ingin saya berlaku adil padanya.

Pemilik rumah di Los Angeles ini adalah juga pemilik majalah: “Media Indonesia”. Berbahasa Indonesia. Terbit dua kali sebulan. Beredar di seluruh Amerika. Untuk masyarakat kita. Apa pun sukunya.

Saya pernah menemukan majalah ini di New York. Di restoran Padang. Saat dulu makan di sana. Bersama imam masjid New York: Ustadz Shamsi Ali. Dan tamunya: Ustadz Yusuf Mansyur al-Kelana.

Nama sahabat saya ini: Ibrahim Irawan. Dokter gigi. Lulusan Trisakti, Jakarta. Tahun 1980.

Istrinya juga dokter gigi. Satu kelas. Saat kuliah dulu.

Anak lakinya hampir lulus dokter gigi: Bryan Irawan. Di kampus papan atas Amerika: Stamford University. Bryan memang tinggal pilih. Enam universitas terkemuka menawarinya. Saat ia masih kelas dua SMA. Di Arcadia. Los Angeles Timur sana.

Berada di rumah Pak Irawan ini juga serasa di kebun fauna. Burung merak terlihat ke sini dan ke sana. Berkeliaran di mana-mana. Di pekarangan-pekarangan siapa saja. Di perumahan yang serba tanpa pagar ini.

Kadang saya harus mengerem mobil. Burung merak itu  lagi menyeberang. Bersama tiga anaknya. Yang masih “piyik-piyik” besarnya.

”Dilarang memberi makan burung merak.”

Begitu pengumuman di pojok perumahan itu. Dekat botanic garden itu.

Masyarakat Amerika memang taat aturan. Termasuk yang asalnya Indonesia. Burung merak itu tetap aman. Sebagai burung liar. Tanpa tergantung makanan dari manusia. Juga tidak perlu sakit ususnya. Semua makanan cari sendiri. Dari alamnya sendiri. Yang terpelihara. Semua jenis pohonnya. Di Arcadia.

Saya ke halaman belakang rumah ini. Ada kolam renang. Ada lapangan tenis. Ada ring basket. Ada pohon pisang. Pohon alpukat. Pohon jambu. Berbagai jenis jambu. Pohon jeruk purut. Dan berbagai jeruk lainnya.

Ada pula peralatan tukang. Serba listrik. Mengingat saya akan ayah. Yang alat tukangnya begitu seadanya.
Saya memotong tongkat panjang. Dengan gergaji listrik. Tidak sampai satu menit. Saya masukkan mobil. Untuk alat olahraga. Sepanjang perjalanan nanti. Entah berapa ribu kilometer lagi. Menuju Missouri.

Gus Dur hampir saja tinggal di rumah ini. Saat ke Los Angeles dulu. Prinsipnya Gus Dur sudah setuju. Menghormati sahabat yang rindu. Sampai-sampai Irawan mengadakan lift baru. Di rumahnya. Untuk naik ke lantai dua.

Saya yang memanfaatkan lift itu. Akhirnya. Sekalian ngalap berkah beliaunya.

Drg Irawan sebenarnya pilih hidup di Jakarta. Meneruskan karirnya di Palang Merah Indonesia. Mengikuti jejak almarhum bapaknya: dokter Putra Satia Irawan. Terlahir: Ie Weng Foek. Direktur divisi 4 PMI Pusat. Pada tahun awal Orde Baru.

Dua malam saya di kamar itu. Yang disiapkan untuk Gus Dur itu.

Hari pertama sudah harus makan bersama. Dengan tokoh-tokoh dari organisasi ini: Indonesian Chinese American Association. Makan besar. Yang disiapkan tuan rumah. Dan yang dibawa para tamu.

Pembicaraan pun seru. Mulai politik Indonesia, ekonomi, Trump, sampai bagaimana kalau kangen durian.

Baru tahu: masing-masing ternyata punya stock durian. Yang sudah dibekukan.

Tapi mereka juga dibenci importir durian. Suka mendatangkan durian sendiri. Lalu membagikannya ke sesama warga ICAA. Dengan harga tanpa laba. Hanya plus biaya.

”Awalnya saya pindah ke Amerika karena ikut istri,” ujar drg Irawan.

Itu tahun 1990. Sudah 10 tahun mereka menikah. Belum dikaruniai anak. Sang istri juga tidak segera mendapat kepastian: akan ditempatkan di mana.

Sang istri mengajaknya ke Amerika. Ikut program bayi tabung. Toh biaya bukan kendala.

Maka lahirlah Bryan. Lalu adik wanitanya: Stacey Irawan. Dengan jalan yang sama. Dengan kepintaran setara kakaknya. Yang juga sudah kuliah di luar kota.

Awalnya suami-istri ini tinggal di Beverly Hill. Di Hollywood itu. Di daerah pefilman itu. Lalu pilih pindah ke tempat yang damai ini.

Tentu saya juga diajak ke kliniknya. Bangunan besar dua lantai. Bekas bank. Yang luas halaman parkirnya. Yang ada aula di lantai duanya. Yang ada kantor majalahnya. Yang lima set kursi pasien giginya.

Dengan mobil Lexusnya kami keliling kota. Ditemani lagu-lagu barat dari CD-nya. Yang cocok di telinga saya.

Saya pun penasaran dibuatnya. Kok ini bukan penyanyi aslinya. Saya nyalakan soundhound di HP saya. Ingin tahu siapa penyanyinya.

Sialan. Tidak terdeteksi.

Saya pun bertanya. Siapa penyanyi lagu ini. Ia pun baru buka rahasia. Ternyata penyanyinya tidak terkira: dia sendiri.

Hari ketiga saya pamit. Menuju timur. Melewati Las Vegas. Utah. Colorado. Kansas. Akan sampai Missouri. Kalau Allah memberkati.

Tinggallah dokter Irawan sendiri. Bersama istri. Di istananya ini. Yang masing-masing juga segera pergi. Ke kliniknya sendiri-sendiri. (dahlan iskan)

Share this:

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/