Begitu banyak yang usul: agar saya mengangkat editor bahasa. Agar naskah yang saya tulis diperiksa dulu oleh editor bahasa. Tujuannya jelas: Agar ketika terbit di DI’s Way tidak ada lagi kesalahan: khususnya dalam penggunaan bahasa Indonesia.
Saya menolak usulan itu. Bukan saya merasa tidak pernah salah. Saya memilih ini: biarlah naskah saya mengandung kesalahan. Lalu ada pembaca yang mengoreksinya.
Koreksi itu dimuat di kolom komentar. Di hari yang sama. Saya tidak malu naskah saya dikoreksi secara terbuka. Kita bisa ‘ngaji’ bersama. Bisa berkaca dari kesalahan itu –saya dan pembaca Disway.
Sama-sama belajar dari kesalahan. Kalau naskah saya dilewatkan editor bahasa DI’s Way terlalu sempurna. Pembaca tidak tahu kata mana yang sebenarnya mengandung kesalahan.
(Bolehkah kata ‘mengandung kesalahan’ itu diganti ‘menghamil’ kesalahan). Contoh yang kita sama-sama tahu adalah kata ‘utang’. Saya masih sering menuliskan kata ‘hutang’. Itu salah. Yang benar adalah ‘utang’.
Saya pun sebenarnya tahu itu. Lalu menyesal. Eh, di kemudian hari saya masih menulis lagi kata ‘hutang’. Lalu dikoreksi lagi. Setelah dua kali pembaca memberikan teguran rasanya saya tidak akan lagi menulis kata ‘hutang’.
Meski tidak berani bersumpah. Memang, saat menulis, konsentrasi saya tertuju pada kelancaran bahasa. Tidak kepada kebenaran bahasa. Saya terlalu konsentrasi pada kualitas isi.
Di kelincahannya kalimatnya. Di diksinya. Soal kata ‘hutang’ sudah lama saya tahu bahwa itu salah. Tapi kebiasaan belum bisa berubah.
Demikian juga ketika menulis ‘membawahi’. Saya sebenarnya tahu bahwa yang benar adalah ‘membawahkan’. Tapi, ya itu tadi, kebiasaan kadang mengalahkan kebenaran.
Saya menyadari itu. Harus ada yang terus memberikan teguran. Sampai yang benar itu menjadi kebiasaan. Lalu biasa benar. Please, jangan bosan menegur.
Memang kesannya saya ini tidak mau belajar dari kesalahan. Lihatlah komentar di DI’s Way ini. Yang ditulis bung Rofiq tanggal 21 Agustus ini. “Ndableg. Soal risiko yang sudah diingatkan almarhum KHUSNUN. SDH DIKOREKSI JUGA OLEH Yusuf Ridlo,” tulis bung Rifiq.
Ampuuuuuun. Inilah resiko, ups, risiko (risiko, risiko, risiko, risiko, risiko) kebiasaan. Saya jadi ingat Zainal Muttaqin. Yang kini jadi Dirut banyak perusahaan.
Yang dulu reporter olahraga. Zainal pernah dihukum redakturnya. Nama redaktur itu Johny Kwee. Zainal dihukum untuk menulis 100 kali kata yang sama. Di satu kertas putih.
Hanya karena pernah salah menulis kata. Dan kesalahan itu berulang-ulang. Saya pun bersedia: kalau sekarang harus dihukum menulis kata ‘risiko’ sampai 1000 kali.
Agar melupakan kebiasaan salah menulis ‘resiko’. Ada juga kesalahan yang saya memang belum tahu. Misalnya saat saya menulis kata ‘was-was’.
Ternyata itu salah. Kata dasarnya bukan ‘was’. Yang benar adalah waswas (tidak pakai penanda sambung). Setelah mas Khusnun Juraid meninggal saya ingin mengirim WA. Bukan ke kuburan beliau.
Tapi ke mas Yusuf Ridlo. Yang anda hafal namanya itu. Yang sering melakukan koreksi bahasa di DI’s Way itu. Saya minta dicarikan nomor HP beliau.
Ternyata saya kenal mas Yusuf Ridlo itu. Mantan anak buah sendiri. Secara khusus saya minta tolong pada beliau: untuk terus melakukan koreksi atas artikel saya di DisWay.
Dan kesalahan saya itu harus diumumkan di kolom komentar disway. Bahkan saya minta agar mas Yusuf Ridlo mengoleksi seluruh koreksiannya itu.
Kapan-kapan ingin saya terbitan dalam bentuk buku. Judulnya: Kesalahan-kesalahan DI’s Way. Ada juga kesalahan yang semata-mata salah ketik.
Kadang begitu buru-buru. Saya tidak sempat membaca apa yang saya tulis. Kadang saya terlalu percaya pada HP. Saya merasa sudah benar ketika memencet kata ‘ketika’.
Tahunya yang muncul di tulisan kata ‘ketiak’. Kadang saya merasa sudah benar saat menulis kata ‘uang’. Tapi yang tertulis kata ‘yang’. Dan banyak lagi kesalahan seperti itu.
Saya begitu terhibur membaca komentar di DI’s Way. Yang soal bahasa maupun yang lain. Apalagi ada komentar Aminullah. Yang ketularan Trump – -menggunakan kata tremendous.
Ada juga yang menulis komentar begini. “Tidak mau komentar. Tidak mau menulis. Tidak mau membaca. Bahkan sejak tahun lalu”. Untuk menyindir tulisan saya yang nadanya mirip itu.
Bulan depan adalah Oktober. Kalau jadi. Saya ingin menjadikan bulan Oktober sebagai bulan bahasa di DI’s Way. Barang siapa bisa menemukan kesalahan bahasa di DI’s Way edisi 1 sampai 15 Oktober akan mendapat hadiah.
Berupa t-shirt DI’s Way. Seperti yang dipakai wanita yang berdiri di tengah itu (Lihat foto). Entah dari mana dia mendapatkan t-shirt itu. Ada 50 t-shirt yang tersedia.
Bagi 50 temuan terbaik. Selama 15 hari itu juga akan ada ‘Bulan Bahasa DI’s Way’. Bentuknya rubrik baru: Untukmu Bahasaku. Tiap hari akan dimuat satu naskah pendek dari pembaca DI’s Way.
Isinya: bahasan bahasa sosmed sosialita. Ikutilah Instagram atau Facebook para artis. Cuplik salah satu postingan mereka. Lalu bahaslah dari aspek penggunaan bahasa Indonesianya.
Panjang satupage. Kirimkan ke redaksi@disway.id Akan kita lihat seberapa hebat kemampuan bahasa para artis kita. Atau seberapa kacaunya.
Naskah-naskah itu juga akan kita jadikan buku. Untuk pelajaran bahasa Indonesia para siswa. Setiap tulisan yang dimuat di DI’s Way juga akan mendapat t-shirt yang sama. Bulan Oktober: Untukmu Bahasaku.(Dahlan Iskan)