Hamigua. Seperti melon tapi bukan melon. Seperti blewah tapi bukan juga. Seperti mentimun emas, ah bukan pula. Namanya hamigua. Gabungan tiga jenis buah itu. Ditambah gula. Itulah buah terkenal dari Xinjiang. Warna dalamnya kuning. Teksturnya renyah. Manisnya empat ‘i’. Itulah satu-satunya buah yang saya tahu asal Xinjiang. Perkenalan pertama saya 30 tahun yang lalu. Di Beijing. Begitu banyak hamiqua dijual di Beijing. Di bulan September-Oktober. Puncak musim hamiqua di Xinjiang –provinsi gurun nan Islam di paling barat Tiongkok. Setiap kali ke Beijing saya kangen si empat ‘i’. Terutama bila di bulan seperti itu. Kali ini saya di Xinjiang! Di bulan yang tepat –pertengahan Oktober 2019. Pasti lagi musim buah di Xinjiang. Baru saat itu saya tahu: Xinjiang tidak hanya punya hamiqua. Anggurnya pun ampun-ampun lezatnya. Saya bukan pemakan anggur. Bisa batuk setelahnya. Kalau pun terpaksa saya kupas kulitnya. Baru di Liverpool lalu saya agak banyak makan anggur. Itu pun setelah akan meninggalkan Inggris. Awalnya saya hanya tertarik pada pajangan anggur di dekat apel. Di M&S –Marks & Spencer. Yang di Inggris memiliki supermarket di bagian belakang toko pakaiannya. Anggur di situ ternyata banyak rasa. Tidak hanya yang rasa anggur. Ada anggur rasa candy, rasa strawberry, dan rasa tutti frutti. Saya pun mencoba beli tiga-tiganya. Total tidak sampai seperempat kilogram. Sejak hari itu saya selalu beli anggur rasa candy. Belum pernah saya tahu ada jenis anggur yang seperti itu. Yang saya tahu anggur itu hanya dua jenis: kecut dan agak kecut. Atau yang warna hijau dan warna hitam. Begitu mahal harga anggur di Inggris –dan di mana pun. Di tempat pajangan pun tidak banyak tersedia. Semua dibungkus karton kecil-kecil. Seperti benda permata saja. Di Xinjiang anggur dianggap buah murah biasa. Memajangnya pun sembrono sekali. Dionggokkan begitu saja. Siapa saja boleh memetiknya. Untuk dicoba rasanya. Tidak ada rasa khawatir anggurnya berkurang. Saya pun memetik satu butir dari tangkainya. Ups… Semanis anggur candy. Warna apa saja sama manisnya: hijau, kuning, coklat, hitam dan bersaput pink. Ukuran besar kecil tidak ada bedanya. Bundar atau lonjong sama menariknya. Anggur seperti tidak ada harganya. Kami pun selalu membelinya –berkilo-kilo. Di dalam mobil selalu ada anggur berkresek-kresek. Yang juga banyak adalah buah delima. Yang kalau di Indonesia hanya dapat dibeli di toko buah yang amat khusus. Di Xinjiang buah delima dionggokkan di bawah tiang listrik! Rupanya anggur berlebihan di Xinjiang. Sampai kismis anggur kering ada di mana-mana. Kismisnya besar-besar pula. Kwaci pun kini sudah beraneka rasa. Terutama kwaci yang dari biji bunga matahari. Begitu luas kebun bunga matahari. Di mana-mana. Kami tidak sempat melihat saat bunga itu masih mekar. Kami tinggal melihat batang-batang tersisanya. Kwaci rasa keju, rasa coklat rasa karamel. Semua rasa sudah meluas. Menggeser kwaci rasa original. Saya jatuh cinta pada buah Xinjiang. Di musim terbaiknya.(Dahlan Iskan)
Buah Sembrono
Hamigua. Seperti melon tapi bukan melon. Seperti blewah tapi bukan juga. Seperti mentimun emas, ah bukan pula. Namanya hamigua. Gabungan tiga jenis buah itu. Ditambah gula. Itulah buah terkenal dari Xinjiang. Warna dalamnya kuning. Teksturnya renyah. Manisnya empat ‘i’. Itulah satu-satunya buah yang saya tahu asal Xinjiang. Perkenalan pertama saya 30 tahun yang lalu. Di Beijing. Begitu banyak hamiqua dijual di Beijing. Di bulan September-Oktober. Puncak musim hamiqua di Xinjiang –provinsi gurun nan Islam di paling barat Tiongkok. Setiap kali ke Beijing saya kangen si empat ‘i’. Terutama bila di bulan seperti itu. Kali ini saya di Xinjiang! Di bulan yang tepat –pertengahan Oktober 2019. Pasti lagi musim buah di Xinjiang. Baru saat itu saya tahu: Xinjiang tidak hanya punya hamiqua. Anggurnya pun ampun-ampun lezatnya. Saya bukan pemakan anggur. Bisa batuk setelahnya. Kalau pun terpaksa saya kupas kulitnya. Baru di Liverpool lalu saya agak banyak makan anggur. Itu pun setelah akan meninggalkan Inggris. Awalnya saya hanya tertarik pada pajangan anggur di dekat apel. Di M&S –Marks & Spencer. Yang di Inggris memiliki supermarket di bagian belakang toko pakaiannya. Anggur di situ ternyata banyak rasa. Tidak hanya yang rasa anggur. Ada anggur rasa candy, rasa strawberry, dan rasa tutti frutti. Saya pun mencoba beli tiga-tiganya. Total tidak sampai seperempat kilogram. Sejak hari itu saya selalu beli anggur rasa candy. Belum pernah saya tahu ada jenis anggur yang seperti itu. Yang saya tahu anggur itu hanya dua jenis: kecut dan agak kecut. Atau yang warna hijau dan warna hitam. Begitu mahal harga anggur di Inggris –dan di mana pun. Di tempat pajangan pun tidak banyak tersedia. Semua dibungkus karton kecil-kecil. Seperti benda permata saja. Di Xinjiang anggur dianggap buah murah biasa. Memajangnya pun sembrono sekali. Dionggokkan begitu saja. Siapa saja boleh memetiknya. Untuk dicoba rasanya. Tidak ada rasa khawatir anggurnya berkurang. Saya pun memetik satu butir dari tangkainya. Ups… Semanis anggur candy. Warna apa saja sama manisnya: hijau, kuning, coklat, hitam dan bersaput pink. Ukuran besar kecil tidak ada bedanya. Bundar atau lonjong sama menariknya. Anggur seperti tidak ada harganya. Kami pun selalu membelinya –berkilo-kilo. Di dalam mobil selalu ada anggur berkresek-kresek. Yang juga banyak adalah buah delima. Yang kalau di Indonesia hanya dapat dibeli di toko buah yang amat khusus. Di Xinjiang buah delima dionggokkan di bawah tiang listrik! Rupanya anggur berlebihan di Xinjiang. Sampai kismis anggur kering ada di mana-mana. Kismisnya besar-besar pula. Kwaci pun kini sudah beraneka rasa. Terutama kwaci yang dari biji bunga matahari. Begitu luas kebun bunga matahari. Di mana-mana. Kami tidak sempat melihat saat bunga itu masih mekar. Kami tinggal melihat batang-batang tersisanya. Kwaci rasa keju, rasa coklat rasa karamel. Semua rasa sudah meluas. Menggeser kwaci rasa original. Saya jatuh cinta pada buah Xinjiang. Di musim terbaiknya.(Dahlan Iskan)