30.2 C
Jakarta
30 April 2024, 22:41 PM WIB

Golkar Bali Tolak LPD Masuk BUPDA

 

DENPASAR, Radar Bali– DPD 1 Golkar Provinsi Bali akan habis-habisan dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Baga Utsaha Padruen Desa Adat di Bali (BUPDA). Partai politik berlambang pohon beringin siap-siap akan walkout jika saran tidak diterima terkait perbaikan di beberapa pasal pada draft raperda tersebut. Partai Golkar mengkritisi draft raperda tersebut jika dibiarkan akan menghilangkan independensi desa adat yang merupakan ujung tombak kebudayaan Bali. 

Ketua DPD I Golkar Provinsi Bali, I Nyoman Sugawa Korry didampingi Ketua Badan Hukum dan Hak Asasi Manusia (Bakum HAM) DPD I Golkar Bali, Dewa Ayu Sri Wigunawati dan Wakil Sekretaris Bidang OKK DPD 1 Golkar Bali, Muamar Khadafi mengatakan hal yang paling krusial harus disikapi. Sugawa Korry menegaskan desa adat yang sudah ada sejak sebelum abad 10 terbentuk secara independen sampai sebelum Kerajaan Majapahit.

Menyikapi Perda Nomor 04 Tahun 2019 tentang Desa Adat, Sugawa Korry menyoroti secara khusus keterkaitan desa adat dalam Raperda BUPDA. Terutama bahwa BUPDA diposisikan membangun usaha bersifat jasa keuangan dan sektor riil. Padahal di sisi lain, desa adat sudah memiliki lembaga jasa keuangan, yaitu Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dan sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 tahun 2017.

Sugawa Korry menegaskan Golkar Bali meminta LPD tidak masuk dalam BUPDA. Menurutnya secara nasional lembaga keuangan diawasi oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan) bukan Menteri Keuangan atau Menteri Perdagangan bahkan Menteri Dalam Negeri. “Kenapa kita di daerah ini justru ingin memasukkan BUPDA itu. Satu ini akan membuat kooptasi terhadap LPD,” jelasnya.

Menurutnya, usaha BUPDA adalah di luar usaha yang sudah ada di desa tersebut. Usaha BUPDA harus melihat potensi desa, tapi tak bisa dijalankan oleh masyarakat setempat. “Saya meminta dalam satu pasal, usaha yang sudah dilakukan oleh masyarakat tidak bisa dilakukan oleh BUPDA. Yang tidak bisa dilakukan oleh masyarakat, tapi ada potensi secara ekonomi boleh dilakukan oleh BUPDA. Usaha yang sudah dlakukan oleh Bumdes tidak boleh diperebutkan oleh BUPDA saya minta satu pasal menyatakan tentang itu. Kalau untuk bekerja sama tidak masalah, ” ucap Sugawa. 

Selain itu, Sugawa mengaku heran menyikapi posisi Majelis Desa Adat (MDA) yang dinilai mengintervensi desa adat. Hal itu ungkapnya bisa menghilangkan independensi desa adat. Salah satu kewenangan yang diberikan dengan membentuk SAKA (Saba Perekonomian Adat Bali. Pada Pasal 45 Raperda BUPDA, SAKA memiliki tugas pokok dan kewenangan untuk mengatur, mengawasi dan membina pelaku ekonomi sektor keuangan di desa adat, pelaku ekonomi sektor riil, dan badan usaha bersama. Sugawa menyatakan kata mengatur itu prinsip harus keluar. Sugawa Korry menegaskan kata itu harus diganti misalnya dengan kata memfasilitasi, pembinaan, dan pemberdayaa.

“Kalau kata mengatur ini, SAKA mengatur ini prinsip kami akan tegas kalau dipaksakan ada kata mengatur kami tidak akan tanda tangan. Karena kata itu sangat membahayakan,” ujarnya. 

 

Dalam kesempatan tersebut, Sugawa Korry bersama anggota Fraksi Golkar berjanji berjuang secara all out untuk mempertahankan usaha jasa keuangan desa adat yakni Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang selama ini sudah eksis. Golkar menolak untuk digabungkan ke dalam BUPDA. SugawA Korry juga meminta pada Pasal 10 ayat 1 agar mencantumkan LPD sebagai pengecualian sehingga ayat ini berbunyi; Badan usaha milik desa adat atau unit-unit usaha milik desa adat yang telah ada harus mendapat persetujuan paruman desa adat untuk menjadi BUPDA, kecuali Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Pasalnya, LPD adalah lembaga keuangan yang harus dikelola secara independen sebagaimana di tingkat nasional lembaga keuangan perbankan diawasi oleh lembaga khusus untuk pembinaan dan pengawasan lembaga keuangan.

Tegas Sugawa Korry, Partai Golkar berkomitmen mempertahankan keberadaan LPD. Tidak saja dilihat dari sejarah pembentukannya, tetapi juga keberadaan LPD yang sudah sangat dirasakan manfaatnya oleh nmsyarakat pedesaan di samping LPD telah dikecualikan dari Undang Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro. “Kami minta LPD tidak masuk dalam BUPDA agar LPD tetap masuk pada Perda 3 tahun 2017,” tegasnya. 

 

DENPASAR, Radar Bali– DPD 1 Golkar Provinsi Bali akan habis-habisan dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Baga Utsaha Padruen Desa Adat di Bali (BUPDA). Partai politik berlambang pohon beringin siap-siap akan walkout jika saran tidak diterima terkait perbaikan di beberapa pasal pada draft raperda tersebut. Partai Golkar mengkritisi draft raperda tersebut jika dibiarkan akan menghilangkan independensi desa adat yang merupakan ujung tombak kebudayaan Bali. 

Ketua DPD I Golkar Provinsi Bali, I Nyoman Sugawa Korry didampingi Ketua Badan Hukum dan Hak Asasi Manusia (Bakum HAM) DPD I Golkar Bali, Dewa Ayu Sri Wigunawati dan Wakil Sekretaris Bidang OKK DPD 1 Golkar Bali, Muamar Khadafi mengatakan hal yang paling krusial harus disikapi. Sugawa Korry menegaskan desa adat yang sudah ada sejak sebelum abad 10 terbentuk secara independen sampai sebelum Kerajaan Majapahit.

Menyikapi Perda Nomor 04 Tahun 2019 tentang Desa Adat, Sugawa Korry menyoroti secara khusus keterkaitan desa adat dalam Raperda BUPDA. Terutama bahwa BUPDA diposisikan membangun usaha bersifat jasa keuangan dan sektor riil. Padahal di sisi lain, desa adat sudah memiliki lembaga jasa keuangan, yaitu Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dan sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 tahun 2017.

Sugawa Korry menegaskan Golkar Bali meminta LPD tidak masuk dalam BUPDA. Menurutnya secara nasional lembaga keuangan diawasi oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan) bukan Menteri Keuangan atau Menteri Perdagangan bahkan Menteri Dalam Negeri. “Kenapa kita di daerah ini justru ingin memasukkan BUPDA itu. Satu ini akan membuat kooptasi terhadap LPD,” jelasnya.

Menurutnya, usaha BUPDA adalah di luar usaha yang sudah ada di desa tersebut. Usaha BUPDA harus melihat potensi desa, tapi tak bisa dijalankan oleh masyarakat setempat. “Saya meminta dalam satu pasal, usaha yang sudah dilakukan oleh masyarakat tidak bisa dilakukan oleh BUPDA. Yang tidak bisa dilakukan oleh masyarakat, tapi ada potensi secara ekonomi boleh dilakukan oleh BUPDA. Usaha yang sudah dlakukan oleh Bumdes tidak boleh diperebutkan oleh BUPDA saya minta satu pasal menyatakan tentang itu. Kalau untuk bekerja sama tidak masalah, ” ucap Sugawa. 

Selain itu, Sugawa mengaku heran menyikapi posisi Majelis Desa Adat (MDA) yang dinilai mengintervensi desa adat. Hal itu ungkapnya bisa menghilangkan independensi desa adat. Salah satu kewenangan yang diberikan dengan membentuk SAKA (Saba Perekonomian Adat Bali. Pada Pasal 45 Raperda BUPDA, SAKA memiliki tugas pokok dan kewenangan untuk mengatur, mengawasi dan membina pelaku ekonomi sektor keuangan di desa adat, pelaku ekonomi sektor riil, dan badan usaha bersama. Sugawa menyatakan kata mengatur itu prinsip harus keluar. Sugawa Korry menegaskan kata itu harus diganti misalnya dengan kata memfasilitasi, pembinaan, dan pemberdayaa.

“Kalau kata mengatur ini, SAKA mengatur ini prinsip kami akan tegas kalau dipaksakan ada kata mengatur kami tidak akan tanda tangan. Karena kata itu sangat membahayakan,” ujarnya. 

 

Dalam kesempatan tersebut, Sugawa Korry bersama anggota Fraksi Golkar berjanji berjuang secara all out untuk mempertahankan usaha jasa keuangan desa adat yakni Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang selama ini sudah eksis. Golkar menolak untuk digabungkan ke dalam BUPDA. SugawA Korry juga meminta pada Pasal 10 ayat 1 agar mencantumkan LPD sebagai pengecualian sehingga ayat ini berbunyi; Badan usaha milik desa adat atau unit-unit usaha milik desa adat yang telah ada harus mendapat persetujuan paruman desa adat untuk menjadi BUPDA, kecuali Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Pasalnya, LPD adalah lembaga keuangan yang harus dikelola secara independen sebagaimana di tingkat nasional lembaga keuangan perbankan diawasi oleh lembaga khusus untuk pembinaan dan pengawasan lembaga keuangan.

Tegas Sugawa Korry, Partai Golkar berkomitmen mempertahankan keberadaan LPD. Tidak saja dilihat dari sejarah pembentukannya, tetapi juga keberadaan LPD yang sudah sangat dirasakan manfaatnya oleh nmsyarakat pedesaan di samping LPD telah dikecualikan dari Undang Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro. “Kami minta LPD tidak masuk dalam BUPDA agar LPD tetap masuk pada Perda 3 tahun 2017,” tegasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/