DENPASAR – Keyakinan Gubernur Wayan Koster, wakil Bali mendapat jatah kursi di Kabinet Kerja Jilid II, tampaknya, masih perlu diuji.
Meski pasangan Jokowi – Ma’ruf Amin mendapat dukungan mayoritas di Bali, kewenangan menempatkan seseorang menjadi pembantu presiden ada di tangan Jokowi sebagai presiden terpilih.
“Menteri itu ranahnya Presiden dan Wakil Presiden karena sifatnya pembantu beliau,” ujar politisi Hanura, Pasek Suardika saat dihubungi Jawa Pos Radar Bali.
Menurutnya, dalam praktek politik, struktur kabinet adalah semi politik. Di mana ada kombinasi kader parpol dan professional. Tapi, ada juga profesional yang ada di parpol.
Urgensinya biasanya terkait posisi politik elemen atau komunitas tersebut. Oleh karenanya, konsekuensi politiknya akan ada kombinasi keahlian, pengalaman, latar belakang parpol, agama, suku dan lainnya.
“Itulah keunikan Nusantara kita,” ujarnya. Soal Bali, kata Pasek Suardika, bisa saja ada wakil Pulau Dewata di kabinet Jokowi – Maf’ruf Amin.
Bisa unsur parpol bisa profesional. “Mau menang telak atau kalah selalu saja ada. Karena dia mewakili etnis Bali dan Hindu didalamnya,” ujarnya.
“Kalau hanya jualan persentase, saya kira tidak juga. Sebab suara total kan sumbangan Bali sedikit dibandingkan yang lain. Sebab pemilih di Bali memang sedikit. Kita tidak menganut sistem distrik,” tegasnya.
Sehingga, katanya, tidak relevan kalau Bali menuntut kursi menteri karena alasan menang besar presentase. Sebab secara jumlah, suara Bali sedikit kalau digabungkan dengan seluruh Indonesia.
“Biarkan saja Beliau berdua memutuskan denan mempertimbangkan semua aspek tersebut. Tidak perlu didesak-desak,” ujarnya.
“Dulu SBY saat Pilpres kalah di Bali tetap saja dapat jatah menteri. Sehingga jangan presentase dipakai acuan. Lebih pada keterwakikan etnis dan agama selain profesionalitas,” tutupnya.