33.4 C
Jakarta
20 November 2024, 15:05 PM WIB

Dinilai Kekang Mahasiswa Berpikir Kritis, Rektor Unud Banjir Kecaman

DENPASAR – Tersiarnya kabar pembubaran diskusi mahasiswa Universitas Udayana (Unud) oleh pihak rektorat mendapat sorotan tajam dari aktivis dan praktisi hukum. 

Rektor Unud dinilai telah mengekang mahasiswa berpikir kritis. Melarang diskusi samahalnya mengebiri tradisi kaum intelektual.

“Kami turut berbela sungkawa atas pembubaran diskusi mahasiswa Unud oleh rektornya sendiri,” tandas I Made “Ariel” Suardana, Direktur Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Indonesia (LABHI) Bali.

Ariel menyebut tidak ada yang salah dari kegiatan diskusi kritis yang digelar Serikat Demokratik Mahasiswa Nasional (SDMN), 

organisasi Front Mahasiswa Nasional (FMN), LPM Kanaka, dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) tentang dinamika pemerintahan Jokowi pasca-pelantikan.

Menurut pria yang karib disapa Ariel itu, pihak rektorat harus segera mengklarifikasi apa dibalik pelarangan diskusi mahasiswa. 

Jika tidak ada klarifikasi, maka isu ini akan semakin menjadi bola panas yang mengancam kredebilitas Unud sebagai lembaga pendidikan tinggi tertua di Bali.

“Diskusi adalah mimbar akademik. Sekarang tidak saatnya lagi bertindak seperti zaman orde baru,” sentilnya. 

Menurut Ariel, diskusi apapun yang dilakukan mahasiswa harus diberikan ruang. Diskusi menunjukkan mahasiswa bisa berpikir dan mencerna apa yang di dapat di dalam kelas.

“Jangankan diskusi masalah kondisi pemerintahan, kondisi masalah Marxisme atau bahkan komunisme sekalipun harus diberikan ruang jika itu dalam koridor ilmiah. 

Sebab, pertanggungjawabannya adalah pertanggungjawaban akademis,” tukas pria yang juga Ketua Dewan Kehormatan Peradi Denpasar itu.

Ariel meminta rektor Unud lebih dewasa dalam bersikap. Katanya, rektor mestinya mengayomi mahasiswa. Tidak asal main larang kegiatan tanpa ada dasar jelas. 

“Jika rektor Unud terus mengekang kebebasan berpendapat mahasiswa, maka laporkan ke menteri. Bila perlu ke presiden, biar dicopot,” imbuhnya. 

Sorotan tak kalah tajam datang dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia – Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI – LBH) Bali. 

Melalui siaran persnya,  Direktur YLBH – LBH Bali, Ni Kadk Vany Primaliraning mengecam keras pembubaran diskusi publik di Unud. “Jangan bungkam mahasiswa,” sodok Vany.

Menurut Vany, Kementrian Pendidikan telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 9/2019 tentang Pencegahan Keterlibatan Peserta Didik Dalam 

Aksi Unjuk Rasa Yang Berpotensi Kekerasan pada 27 September 2019, dengan Menghimbau Gubernur, Bupati/Walikota, 

Kepala Dinas Pendidikan provinsi, kabupaten/kota di seluruh Indonesia untuk melakukan pencegahan, pengawasan hingga penanganan. 

Vany menilai hal itu bertentangan dengan Pasal 28 huruf E UUD 1945, Pasal 23 ayat (2) dan 25 Undang-Undang No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, 

Pasal 19 UU 12/2005 tentang UU Nomor 12/2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik).

Dijelaskan, tentang hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, 

tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya termasuk berkumpul secara damai.

Mahasiswa sebagai agen perubahan, ruang-ruang diskusi kritis dan progresif membahas mengenai isu-isu sosial yang terjadi hingga melahirkan suatu gerakan perubahan bukan hal baru. 

“Patut diingat, kemerdekaan Indonesia juga lahir dari gerakan kritis yang bermula diskusi kritis oleh mahasiswa baik dilingkungan perguruan tinggi maupun tidak,” ungkap Vany. 

Pembungkaman mahasiswa untuk melakukan diskusi kritis di lingkungan kampus sangatlah menciderai konstitusi, hak asasi manusia dan tujuan perguruan tinggi yakni Tri Dharma Perguruan Tinggi. 

“Kampus-kampus harusnya tetap pada rohnya, bukan mencetak kaum-kaum kapitalis, pemuja kapitalis dan tidak peduli terhadap isu-isu sosial yang menciderai konstitusi dan HAM,” sentilnya.

YLBHI LBH Bali memandang bahwa Intervensi yang dilakukan Pemerintah dan Rektorat kepada Mahasiswa telah sangat berlebihan,

serta melakukan upaya pembungkaman secara sistematis dan massif, sehinggan YLBHI LBH Bali menyampaikan sebagai berikut:

Pihaknya menuntut seluruh rektorat termasuk Rektorat Universitas Udayana untuk tidak melakukan intimidasi dan pembungkaman  

serta menjamin tersampaikannya aspirasi dan pendapat mahasiswa dalam diskusi dan aksi kritis.

Sayangnya, hingga berita ini selesai ditulis kemarin malam, rektor Unud Prof. Raka Sudewi tidak memberi respons saat dikonfirmasi. 

Telepon Jawa Pos Radar Bali tidak diangkat. Begitu juga saat dikirimi pesan singkat WhatsApp (WA).

DENPASAR – Tersiarnya kabar pembubaran diskusi mahasiswa Universitas Udayana (Unud) oleh pihak rektorat mendapat sorotan tajam dari aktivis dan praktisi hukum. 

Rektor Unud dinilai telah mengekang mahasiswa berpikir kritis. Melarang diskusi samahalnya mengebiri tradisi kaum intelektual.

“Kami turut berbela sungkawa atas pembubaran diskusi mahasiswa Unud oleh rektornya sendiri,” tandas I Made “Ariel” Suardana, Direktur Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Indonesia (LABHI) Bali.

Ariel menyebut tidak ada yang salah dari kegiatan diskusi kritis yang digelar Serikat Demokratik Mahasiswa Nasional (SDMN), 

organisasi Front Mahasiswa Nasional (FMN), LPM Kanaka, dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) tentang dinamika pemerintahan Jokowi pasca-pelantikan.

Menurut pria yang karib disapa Ariel itu, pihak rektorat harus segera mengklarifikasi apa dibalik pelarangan diskusi mahasiswa. 

Jika tidak ada klarifikasi, maka isu ini akan semakin menjadi bola panas yang mengancam kredebilitas Unud sebagai lembaga pendidikan tinggi tertua di Bali.

“Diskusi adalah mimbar akademik. Sekarang tidak saatnya lagi bertindak seperti zaman orde baru,” sentilnya. 

Menurut Ariel, diskusi apapun yang dilakukan mahasiswa harus diberikan ruang. Diskusi menunjukkan mahasiswa bisa berpikir dan mencerna apa yang di dapat di dalam kelas.

“Jangankan diskusi masalah kondisi pemerintahan, kondisi masalah Marxisme atau bahkan komunisme sekalipun harus diberikan ruang jika itu dalam koridor ilmiah. 

Sebab, pertanggungjawabannya adalah pertanggungjawaban akademis,” tukas pria yang juga Ketua Dewan Kehormatan Peradi Denpasar itu.

Ariel meminta rektor Unud lebih dewasa dalam bersikap. Katanya, rektor mestinya mengayomi mahasiswa. Tidak asal main larang kegiatan tanpa ada dasar jelas. 

“Jika rektor Unud terus mengekang kebebasan berpendapat mahasiswa, maka laporkan ke menteri. Bila perlu ke presiden, biar dicopot,” imbuhnya. 

Sorotan tak kalah tajam datang dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia – Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI – LBH) Bali. 

Melalui siaran persnya,  Direktur YLBH – LBH Bali, Ni Kadk Vany Primaliraning mengecam keras pembubaran diskusi publik di Unud. “Jangan bungkam mahasiswa,” sodok Vany.

Menurut Vany, Kementrian Pendidikan telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 9/2019 tentang Pencegahan Keterlibatan Peserta Didik Dalam 

Aksi Unjuk Rasa Yang Berpotensi Kekerasan pada 27 September 2019, dengan Menghimbau Gubernur, Bupati/Walikota, 

Kepala Dinas Pendidikan provinsi, kabupaten/kota di seluruh Indonesia untuk melakukan pencegahan, pengawasan hingga penanganan. 

Vany menilai hal itu bertentangan dengan Pasal 28 huruf E UUD 1945, Pasal 23 ayat (2) dan 25 Undang-Undang No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, 

Pasal 19 UU 12/2005 tentang UU Nomor 12/2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik).

Dijelaskan, tentang hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, 

tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya termasuk berkumpul secara damai.

Mahasiswa sebagai agen perubahan, ruang-ruang diskusi kritis dan progresif membahas mengenai isu-isu sosial yang terjadi hingga melahirkan suatu gerakan perubahan bukan hal baru. 

“Patut diingat, kemerdekaan Indonesia juga lahir dari gerakan kritis yang bermula diskusi kritis oleh mahasiswa baik dilingkungan perguruan tinggi maupun tidak,” ungkap Vany. 

Pembungkaman mahasiswa untuk melakukan diskusi kritis di lingkungan kampus sangatlah menciderai konstitusi, hak asasi manusia dan tujuan perguruan tinggi yakni Tri Dharma Perguruan Tinggi. 

“Kampus-kampus harusnya tetap pada rohnya, bukan mencetak kaum-kaum kapitalis, pemuja kapitalis dan tidak peduli terhadap isu-isu sosial yang menciderai konstitusi dan HAM,” sentilnya.

YLBHI LBH Bali memandang bahwa Intervensi yang dilakukan Pemerintah dan Rektorat kepada Mahasiswa telah sangat berlebihan,

serta melakukan upaya pembungkaman secara sistematis dan massif, sehinggan YLBHI LBH Bali menyampaikan sebagai berikut:

Pihaknya menuntut seluruh rektorat termasuk Rektorat Universitas Udayana untuk tidak melakukan intimidasi dan pembungkaman  

serta menjamin tersampaikannya aspirasi dan pendapat mahasiswa dalam diskusi dan aksi kritis.

Sayangnya, hingga berita ini selesai ditulis kemarin malam, rektor Unud Prof. Raka Sudewi tidak memberi respons saat dikonfirmasi. 

Telepon Jawa Pos Radar Bali tidak diangkat. Begitu juga saat dikirimi pesan singkat WhatsApp (WA).

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/