DENPASAR– Di masa pandemi ini, pemerintah memberikan hibah bagi sektor pariwisata. Sayangnya, kondisi serupa tidak berlaku pada sektor pertanian.
Versi pengamat pertanian Prof Wayan Windia, memang demikianlah nasib orang-orang yang miskin dan terpinggirkan.
Tidak ada yang hirau, kalau mereka mengalami musibah. Tapi, kalau orang kaya dan mewah yang mengalami musibah, dengan cepat orang-orang memberikan perhatian.
“Ketika sektor pariwisata mulai dikembangkan, sektor perbankan gentayangan ingin memberikan kredit. Pemerintah pun memberikan berbagai fasilitas
(bebas pajak import kebutuhan hotel, dibangunkan bandara, jalan by pass , dan lain-lain). Kemudian ketika sektor pariwisata terpuruk, diberikan hibah.
Mungkin dengan berbagai alasan. Tetapi justru sejatinya, tidak ada alasan untuk tidak memberikan hibah bagi sektor pertanian.
Karena sektor pertanian-pun terpuruk. Tapi untunglah sektor pertanian masih terus bisa menjaga stabilitas ketahanan pangan Indonesia. Lalu, di mana disimpan keuntungan sektor pariwisata ketika ia sedang jaya-jayanya,” kata Prof Windia.
Akademisi Unud ini mengatakan bahwa keputusan memberikan hibah bagi sektor pariwisata diputuskan dalam sebuah sidang (kabinet).
Seharusnya Menteri Pertanian bisa berargumentasi dan meyakinkan sidang, bahwa sektor pertanian-pun memerlukan hibah, agar ia semakin berdaya.
Sementara itu, organisasi yang berkait dengan pertanian (HKTI, HNSI, dan lainnya) seharusnya berbicara keras.
“Tetapi suara seperti itu, nyaris tak terdengar. Mungkin karena pimpinannya masuk dalam jajaran birokrasi,” kesalnya.
Menurutnya, kasus seperti ini, layaknya sebuah komedi bagi sektor pariwisata, dan tragedi bagi kalangan sektor pertanian.
“Kok juwari (tidak tahu malu) ya, sektor pariwisata memperjuangkan hibah seperti itu, dalam suasana negara yang prihatin seperti ini.
Dahulu sektor ini diagung-agungkan sebagai lokomotif ekonomi, lalu semua orang mendewa-dewakan sebagai sektor harapan. Lalu, apa yang terjadi sekarang? Harapannya justru ada pada sektor pertanian,” bebernya.
Gubernur Bali sampai-sampai mengeluarkan Pergub No. 99 Tahun 2018 untuk menolong petani (Bali) yang berada dalam kondisi sangat prihatin tersebut.
“Tetapi nyatanya tetap tidak bisa membantu petani kita. Memang tidak gampang melawan kapitalis. Sektor pariwisata semakin menjulang, dan sektor pertanian semakin mengecil.
Bahkan saat ini sumbangan sektor pertanian terhadap ekonomi Bali masih hanya 13 persen . Sedangkan yang bekerja di sektor ini 35 persen. Juga NTP sektor pertanian di Bali di bawah 100%,” bebernya.
Apakah ini artinya? Artinya adalah pertumbuhan sektor pariwisata di Bali, adalah lokomotif bagi sektor pertanian di luar Bali bahkan di luar negeri.
“Bukan lokomotif bagi pertumbuhan sektor pertanian di Bali. Jadi, ada yang salah dalam pengelolaan sektor pariwisata di Bali,” pungkasnya.