26.8 C
Jakarta
12 September 2024, 23:22 PM WIB

Tolong Dengar Pak Menteri Wisnu, Ini Saran Mbok Djelantik untuk Anda

DENPASAR – Rencana Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Wisnutama Kusbandio dan Wakil Menparekraf Angela Tanoesudibyo bakal menyulap Bali dan Toba lebih ramah wisman muslim memicu reaksi luas masyarakat Bali.

Sejumlah tokoh baik tokoh adat maupun politisi ramai-ramai menolak rencana Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif itu. Tak terkecuali dengan aktivis perempuan Bali Ni Luh Djelantik.

Di akun fanspagenya, Ni Luh Djelantik menyentil rencana Menpar Wisnutama yang berniat menyulap Bali agar ramah wisman muslim.

Sesuatu yang sejak awal menjadi hal yang sensitif di Bali. Bahkan, sejak era Menpar Arief Yahya yang berniat memasarkan wisata halal di Bali.

“Di mana bumi dipijak disana langit kita junjung. Masih banyak hal yang bisa dibenahi oleh Kementrian Pariwisata agar setiap

daerah bisa memaksimalkan potensi daerahnya tanpa mengubah budaya dan adat istiadat mereka,” kata Ni Luh Djelantik mengawali.

Dia pun memberi solusi untuk mantan bos NET TV itu. “Salah satunya dengan cara membuat coffe table book tentang Indonesia.

Keistimewaannya, hasil buminya, kerajinannya, seni budaya, masakan, dan banyak lagi karakteristik khas yang bisa diangkat

termasuk THE DO and THE DONT’S (apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan selama berkunjung didaerah tersebut),” paparnya.

Bahkan, dia tak segan menyebut nama orang yang bisa diajak diskusi Menpar Wisnutama sebelum mengeluarkan wacana wisata ramah muslim di Bali.

“Saya mengenal dengan sangat baik sosok yang bisa mewujudkan hal itu dengan pemaparan yang detail dan berkelas. Mereka adalah Gede Kresna dan Sugi Lanus,” paparnya.

Menurut Djelantik, Bali meraih berbagai penghargaan kelas dunia dan menjadi penyumbang devisa terbanyak dari sektor Pariwisata Indonesia, namun Bali juga tak sempurna.

Banyak hal-hal yang bisa diperbaiki di Bali untuk mempertegas bahwa Bali adalah destinasi yang mengutamakan kualitas bukan kuantitas.

Perang harga tidak bisa dihindari dikarenakan jumlah kamar hotel yang ada didaerah tertentu telah melampaui kapasitas,

dan di beberapa daerah yang potensial justru sangat kekurangan kamar dan dukungan infrastruktur yang berkualitas.

“Berdayakan rumah warga di desa yang memiliki kamar extra, bantu dari segi pemasaran, dan promosikan keunggulan desa tersebut, misalnya sebagai desa penghasil anyaman,

sekalian sang pemilik rumah bikin acara menganyam bersama wisatawan dengan mengenakan biaya dan hasil belajar anyaman tersebut bisa dibawa pulang,” saran Djelantik.

“Bisa berlaku untuk kerajinan, kuliner bahkan perkebunan. Misal? Wisata belajar memanjat pohon kelapa dan kelapa yang dipetik si turis bisa dinikmati.

Udah manjat disuruh bayar lagi. Keren kan? Pasang pengaman. Anggap aja seperti panjat tebing yang membangkitkan adrenalin ????,” paparnya.

Intinya, kata Djelantik, banyak hal yang bisa dikembangkan Kementerian Pariwisata untuk mengembangkan pariwisata Indonesia, tapi bukan dengan memancing problem baru seperti yang terjadi sekarang. 

DENPASAR – Rencana Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Wisnutama Kusbandio dan Wakil Menparekraf Angela Tanoesudibyo bakal menyulap Bali dan Toba lebih ramah wisman muslim memicu reaksi luas masyarakat Bali.

Sejumlah tokoh baik tokoh adat maupun politisi ramai-ramai menolak rencana Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif itu. Tak terkecuali dengan aktivis perempuan Bali Ni Luh Djelantik.

Di akun fanspagenya, Ni Luh Djelantik menyentil rencana Menpar Wisnutama yang berniat menyulap Bali agar ramah wisman muslim.

Sesuatu yang sejak awal menjadi hal yang sensitif di Bali. Bahkan, sejak era Menpar Arief Yahya yang berniat memasarkan wisata halal di Bali.

“Di mana bumi dipijak disana langit kita junjung. Masih banyak hal yang bisa dibenahi oleh Kementrian Pariwisata agar setiap

daerah bisa memaksimalkan potensi daerahnya tanpa mengubah budaya dan adat istiadat mereka,” kata Ni Luh Djelantik mengawali.

Dia pun memberi solusi untuk mantan bos NET TV itu. “Salah satunya dengan cara membuat coffe table book tentang Indonesia.

Keistimewaannya, hasil buminya, kerajinannya, seni budaya, masakan, dan banyak lagi karakteristik khas yang bisa diangkat

termasuk THE DO and THE DONT’S (apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan selama berkunjung didaerah tersebut),” paparnya.

Bahkan, dia tak segan menyebut nama orang yang bisa diajak diskusi Menpar Wisnutama sebelum mengeluarkan wacana wisata ramah muslim di Bali.

“Saya mengenal dengan sangat baik sosok yang bisa mewujudkan hal itu dengan pemaparan yang detail dan berkelas. Mereka adalah Gede Kresna dan Sugi Lanus,” paparnya.

Menurut Djelantik, Bali meraih berbagai penghargaan kelas dunia dan menjadi penyumbang devisa terbanyak dari sektor Pariwisata Indonesia, namun Bali juga tak sempurna.

Banyak hal-hal yang bisa diperbaiki di Bali untuk mempertegas bahwa Bali adalah destinasi yang mengutamakan kualitas bukan kuantitas.

Perang harga tidak bisa dihindari dikarenakan jumlah kamar hotel yang ada didaerah tertentu telah melampaui kapasitas,

dan di beberapa daerah yang potensial justru sangat kekurangan kamar dan dukungan infrastruktur yang berkualitas.

“Berdayakan rumah warga di desa yang memiliki kamar extra, bantu dari segi pemasaran, dan promosikan keunggulan desa tersebut, misalnya sebagai desa penghasil anyaman,

sekalian sang pemilik rumah bikin acara menganyam bersama wisatawan dengan mengenakan biaya dan hasil belajar anyaman tersebut bisa dibawa pulang,” saran Djelantik.

“Bisa berlaku untuk kerajinan, kuliner bahkan perkebunan. Misal? Wisata belajar memanjat pohon kelapa dan kelapa yang dipetik si turis bisa dinikmati.

Udah manjat disuruh bayar lagi. Keren kan? Pasang pengaman. Anggap aja seperti panjat tebing yang membangkitkan adrenalin ????,” paparnya.

Intinya, kata Djelantik, banyak hal yang bisa dikembangkan Kementerian Pariwisata untuk mengembangkan pariwisata Indonesia, tapi bukan dengan memancing problem baru seperti yang terjadi sekarang. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/