31.1 C
Jakarta
30 April 2024, 12:02 PM WIB

Ini Keunikan Megebeg-gebegan dan Meprutput, Tradisi Unik saat Nyepi

SINGARAJA – Ragam tradisi unik saat Nyepi menjadi kekayaan budaya masyarakat Bali. Tak luput dengan masyarakat adat Buleleng.

Tradisi itu biasanya dilakukan pada hari pengrupukan, hingga saat ngembak geni. Saat pengrupukan, Banjar Adat Pakraman Paketan

di Desa Pakraman Buleleng punya tradisi ngoncang, sedangkan Desa Pakraman Bengkala punya tradisi mejuk-jukan.

Desa Pakraman Dharmajati, Desa Tukadmungga juga punya tradisi tersendiri, yakni megebeg-gebegan. Tradisi ini akan dilangsungkan di simpang empat desa, dekat Kantor Perbekel Tukadmungga, setiap pengrupukan.

Biasanya tradisi ini dilangsungkan pada pukul 18.00 sore, seusai persembahyangan di Pura Desa Pakraman Dharmajati.

Tradisi diawali dengan rangkaian ritual. Seekor godel (anak sapi, Red) yang dijadikan sarana caru, dikuliti hingga tersisa bagian kepala, keempat kaki, serta ekornya.

Begitu banten boleh di-lungsur, para truna langsung menerjang merebut godel itu. Akhirnya terjadi peristiwa megebeg-gebegan, atau saling rebut, hingga salah satu kelompok pemuda berhasil mendapatkan kepala sapi.

“Dalam tradisi ini hanya ada kegembiraan, kebersamaan, dan kekompakan warga, terutama kalangan pemuda,” kata Kelian Desa Pakraman Dharmajati, Ketut Wicana.

Tradisi unik juga terjadi di Desa Pakraman Padangbulia. Di sana ada tradisi meprutput yang juga digelar saat pengrupukan.

Para pria, dengan mengenakan kain poleng dan bertelanjang dada, akan berkumpul di jalan. Mereka lantas menyalakan api pada daun kelapa kering.

Api yang telah menyala itu langsung dipukulkan ke pria lainnya. Suasananya pun mirip dengan perang api.

Kelian Desa Pakraman Padangbulia, Gusti Kopang Suparta mengungkapkan, tradisi itu bermakna menghilangkan amarah.

“Kalau orang tua dulu bilang, emosi itu seperti aprakpak danyuh, seperti bara api pada daun kelapa kering,” kata Suparta. Maka api emosi itu pun harus dipadamkan.

Dulunya, tradisi itu dilaksanakan secara spontan usai krama melaksanakan pecaruan di rumah masing-masing.

Usai melakukan pecaruan, daun kelapa kering yang tersisa digunakan sebagai sarana perang api. “Kalau dulu habis mebuu-buu,

sisanya langsung dipakai. Sekarang sudah berkembang jadi tradisi dan belum pernah ada yang terluka,” kata Suparta. 

SINGARAJA – Ragam tradisi unik saat Nyepi menjadi kekayaan budaya masyarakat Bali. Tak luput dengan masyarakat adat Buleleng.

Tradisi itu biasanya dilakukan pada hari pengrupukan, hingga saat ngembak geni. Saat pengrupukan, Banjar Adat Pakraman Paketan

di Desa Pakraman Buleleng punya tradisi ngoncang, sedangkan Desa Pakraman Bengkala punya tradisi mejuk-jukan.

Desa Pakraman Dharmajati, Desa Tukadmungga juga punya tradisi tersendiri, yakni megebeg-gebegan. Tradisi ini akan dilangsungkan di simpang empat desa, dekat Kantor Perbekel Tukadmungga, setiap pengrupukan.

Biasanya tradisi ini dilangsungkan pada pukul 18.00 sore, seusai persembahyangan di Pura Desa Pakraman Dharmajati.

Tradisi diawali dengan rangkaian ritual. Seekor godel (anak sapi, Red) yang dijadikan sarana caru, dikuliti hingga tersisa bagian kepala, keempat kaki, serta ekornya.

Begitu banten boleh di-lungsur, para truna langsung menerjang merebut godel itu. Akhirnya terjadi peristiwa megebeg-gebegan, atau saling rebut, hingga salah satu kelompok pemuda berhasil mendapatkan kepala sapi.

“Dalam tradisi ini hanya ada kegembiraan, kebersamaan, dan kekompakan warga, terutama kalangan pemuda,” kata Kelian Desa Pakraman Dharmajati, Ketut Wicana.

Tradisi unik juga terjadi di Desa Pakraman Padangbulia. Di sana ada tradisi meprutput yang juga digelar saat pengrupukan.

Para pria, dengan mengenakan kain poleng dan bertelanjang dada, akan berkumpul di jalan. Mereka lantas menyalakan api pada daun kelapa kering.

Api yang telah menyala itu langsung dipukulkan ke pria lainnya. Suasananya pun mirip dengan perang api.

Kelian Desa Pakraman Padangbulia, Gusti Kopang Suparta mengungkapkan, tradisi itu bermakna menghilangkan amarah.

“Kalau orang tua dulu bilang, emosi itu seperti aprakpak danyuh, seperti bara api pada daun kelapa kering,” kata Suparta. Maka api emosi itu pun harus dipadamkan.

Dulunya, tradisi itu dilaksanakan secara spontan usai krama melaksanakan pecaruan di rumah masing-masing.

Usai melakukan pecaruan, daun kelapa kering yang tersisa digunakan sebagai sarana perang api. “Kalau dulu habis mebuu-buu,

sisanya langsung dipakai. Sekarang sudah berkembang jadi tradisi dan belum pernah ada yang terluka,” kata Suparta. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/