33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 13:45 PM WIB

Jual Murah Kamar, Pemilik Homestay Terpaksa Jadi Guide Plus Driver

UBUD – Hotel yang murah meriah alias Budget Hotel di wilayah Ubud sehingga membuat homestay milik warga lokal terancam memang benar adanya. Bukan kabar burung.

Wayan Adi Sumiarta selaku pemilik Adiari homestay di Padang Tegal, Ubud ini mengakui memang sudah terjadi pernurunan pendapatkan. Bahkan sejak tahun 2012 lalu.

Bahkan, pemilik homestay kini tak lagi sekedar menyewakan kamar, tapi ada juga yang berusaha menambah pendapatan dengan menjadi driver plus guide.

“Sepengetahuan saya sejak tahun 2012 homestay-homestay sudah mulai turun pendapatnya, salah satu penyebabnya adalah karena saking banyaknya hotel-hotel baru bermunculan di Ubud dan sekitarnya,” ujar Adi kepada radarbali.id, Selasa (3/9) kemarin.

Karena saking banyaknya akomodasi di Ubud termasuk menjamurnya hostel-hostel, lanjut Adi, tentu membuat pengusaha homestay terpaksa membanting harga.

“Bahkan ada pendapat di para pengusaha homestay dari pada kamar tidak isi mending harga diturunkan biar ada saja pemasukan,” sebutnya. 

Sebagai perbandingan, kalau dulu sebelum menjamurnya akomodasi pariwisata di Ubud, saat low season pemilik homestay bisa menjual kamarnya paling murah Rp 300 ribu semalam, sedangkan saat high season bisa menjual 2 kali lipatnya.

“Aku ingat sebelum tahun 2012, pada saat high season (biasanya bulan Juli sampai September) wisatawan bisa-bisa sampai tidur di balai dangin karena saking penuhnya penginapan,” tuturnnya.

“Kalau sekarang boro-boro, high season isi dua kamar sehari aja sudah bersyukur (di rumah punya 5 kamar),” lanjutnya.

Pria yang juga seorang lawyer ini mengatakan kalau sedang masa low season paling laku 1 kamar dan itu pun tidak setiap hari dan harganya juga tidak bisa dijual mahal lagi.

“Kalau pas high season bisa jual Rp 200 ribu dan saat low season bisa jual Rp 150 ribu per malam juga sudah beruntung,” ungkapnya

Disinggung seberapa ketat persaingan yang terjadi kini di Ubud, Adi menyebut persaingannya sangat ketat.

Menurut Adi, pengusaha homestay berada di posisi terjepit karena selain harus bersaing dengan sesama pemilik homestay juga harus bersaing dengan hostel dan budget hotel.

Adi memberi perbandingan, kalau dulu di banjarnya hanya beberapa warga aja yang mengelola homestay, tapi saat ini hampir seluruh warga di Banjar punya homestay dan minimal ada 4 kamar.

“Jadi bisa dibayangkan bagaimana ketatnya persaingannya sekarang,” akunya juga. Meski persaingan begitu ketat, Adi sendiri belum berpikiran untuk beralih usaha.

Yang jelas, sekarang banyak pemilik homestay yang menambah usahanya selain menyewakan kamar mereka juga menyewakan kendaraan dan ada juga sebagai sopir dan guide. 

UBUD – Hotel yang murah meriah alias Budget Hotel di wilayah Ubud sehingga membuat homestay milik warga lokal terancam memang benar adanya. Bukan kabar burung.

Wayan Adi Sumiarta selaku pemilik Adiari homestay di Padang Tegal, Ubud ini mengakui memang sudah terjadi pernurunan pendapatkan. Bahkan sejak tahun 2012 lalu.

Bahkan, pemilik homestay kini tak lagi sekedar menyewakan kamar, tapi ada juga yang berusaha menambah pendapatan dengan menjadi driver plus guide.

“Sepengetahuan saya sejak tahun 2012 homestay-homestay sudah mulai turun pendapatnya, salah satu penyebabnya adalah karena saking banyaknya hotel-hotel baru bermunculan di Ubud dan sekitarnya,” ujar Adi kepada radarbali.id, Selasa (3/9) kemarin.

Karena saking banyaknya akomodasi di Ubud termasuk menjamurnya hostel-hostel, lanjut Adi, tentu membuat pengusaha homestay terpaksa membanting harga.

“Bahkan ada pendapat di para pengusaha homestay dari pada kamar tidak isi mending harga diturunkan biar ada saja pemasukan,” sebutnya. 

Sebagai perbandingan, kalau dulu sebelum menjamurnya akomodasi pariwisata di Ubud, saat low season pemilik homestay bisa menjual kamarnya paling murah Rp 300 ribu semalam, sedangkan saat high season bisa menjual 2 kali lipatnya.

“Aku ingat sebelum tahun 2012, pada saat high season (biasanya bulan Juli sampai September) wisatawan bisa-bisa sampai tidur di balai dangin karena saking penuhnya penginapan,” tuturnnya.

“Kalau sekarang boro-boro, high season isi dua kamar sehari aja sudah bersyukur (di rumah punya 5 kamar),” lanjutnya.

Pria yang juga seorang lawyer ini mengatakan kalau sedang masa low season paling laku 1 kamar dan itu pun tidak setiap hari dan harganya juga tidak bisa dijual mahal lagi.

“Kalau pas high season bisa jual Rp 200 ribu dan saat low season bisa jual Rp 150 ribu per malam juga sudah beruntung,” ungkapnya

Disinggung seberapa ketat persaingan yang terjadi kini di Ubud, Adi menyebut persaingannya sangat ketat.

Menurut Adi, pengusaha homestay berada di posisi terjepit karena selain harus bersaing dengan sesama pemilik homestay juga harus bersaing dengan hostel dan budget hotel.

Adi memberi perbandingan, kalau dulu di banjarnya hanya beberapa warga aja yang mengelola homestay, tapi saat ini hampir seluruh warga di Banjar punya homestay dan minimal ada 4 kamar.

“Jadi bisa dibayangkan bagaimana ketatnya persaingannya sekarang,” akunya juga. Meski persaingan begitu ketat, Adi sendiri belum berpikiran untuk beralih usaha.

Yang jelas, sekarang banyak pemilik homestay yang menambah usahanya selain menyewakan kamar mereka juga menyewakan kendaraan dan ada juga sebagai sopir dan guide. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/