SPEKULASI perombakan (reshuffle) kabinet baru-baru ini hangat dibicarakan semua kalangan. Saking hangatnya, kini setiap kebijakan menteri, bahkan isyarat perilakunya seakan menjadi hal sensitif.
Spekulasi reshuffle ini diperkuat dengan gambaran hasil polling persepsi masyarakat pada pemerintah.
Hasilnya, ada kepuasan relatif tinggi terhadap presiden, tetapi disusul dengan ketidakpuasan terhadap beberapa kebijakan menteri di kabinetnya.
Litbang Kompas menyebut kepuasan terhadap Jokowi 66,5 persen (Juni), dan 87,8 persen responden tidak puas pada menteri (Juli).
Survei Charta Politika menilai 67,2 persen responden puas pada Presiden, namun 73,1 persennya mengharapkan reshuffle kabinet (Juli).
Unik melihat persepsi publik yang ternyata diametral dalam menilai presiden dan kabinetnya. Ada fenomena personifikasi kebijakan yang masih mengakar.
Kebijakan cenderung dipersepsi sebagai langkah personal menteri. Padahal, sejak Presiden melantik kabinetnya, telah ditegaskan desain kebijakan satu visi. Kebijakan menteri adalah paket arahan Presiden.
Dalam perspektif administrasi negara modern, kebijakan yang terus-menerus dikerangkai sebagai langkah politik bisa jadi kontraproduktif.
Political framing berpotensi memuat tekanan publik yang tidak proporsional, dan membuat implementasi kebijakan terdistorsi sebelum mencapai hasilnya.
Para menteri punya “beban” tambahan untuk menjelaskan dan meyakinkan masyarakat tentang maksud dari kebijakan yang diambilnya.
Akan beruntung jika seorang pejabat (dalam konteks ini menteri) punya keterampilan komunikasi politik yang mumpuni.
Tetapi, bagaimana nasib implementasi kebijakan ketika pejabat yang bersangkutan lebih sering “hanya” bekerja?
Masalah komunikasi kebijakan semacam ini tidak hanya berdampak di kualitas implementasi. Di era keterbukaan hari ini, ada kebutuhan tinggi asupan informasi publik.
Beragamnya kanal informasi namun parsial, menyulitkan masyarakat memahami apa maksud, strategi, dan proses implementasi sebuah kebijakan.
Komunikasi Kebijakan
Melihat ke belakang, di era Orde Baru, tugas penyampaian kebijakan pemerintah dilakukan terpusat.
Mungkin masih sangat tertanam di ingatan generasi era Soeharto, ada sosok Harmoko, Menteri Penerangan (1983-1993) yang amat populer.
Setiap kali kemunculannya di televisi sering diawali kalimat “atas petunjuk Bapak Presiden”, dilanjutkan paparan kebijakan penting pemerintah. Kabinet dipersilahkan fokus bekerja di ranah masing-masing.
Departemen Penerangan (Deppen) dibubarkan setahun pasca mundurnya Presiden Soeharto. Efisiensi struktur pemerintahan dan upaya demokratisasi menjadi alasan utama pembubaran lembaga ini.
Memang, Deppen ini selama keberadaannya dikenal banyak mengatur aktivitas pers dan media massa.
Luasnya kendali Deppen—termasuk mengatur Dewan Pers, perusahaan media, hingga lembaga sensor—menjadi momok bagi semua kalangan.
Pembubaran Deppen dirayakan sebagai kemenangan independensi pers dan kebebasan berekspresi.
Tetapi, rupanya pembubaran Deppen tidak hanya menghilangkan kuasa birokrasinya.
Fungsi komunikasi pemerintah (yang kala itu dikenal dalam istilah “penerangan”) ikut lenyap dari tata kelola kebijakan.
Keberhasilan Reformasi, hingga kini belum diikuti penguatan komunikasi yang matang kepada masyarakat; yang sejatinya makin butuh informasi.
Dengan semakin kompleksnya tata kelola kebijakan hari ini, beban komunikasi yang ditaruh di masing-masing kementerian/lembaga (K/L) akan sulit mencapai titik efektifnya.
Publik butuh informasi yang matang dan jelas pertanggungjawabannya; bukan statement masing-masing menteri yang dilandasi argumen data yang berbeda.
Butuh ada yang punya kewenangan “memaksa” konsolidasi data dan informasi di batas tembok lintaskementerian, sehingga ada kematangan informasi ke luar.
Pembubaran Deppen diikuti pendirian Badan Informasi Komunikasi Nasional, yang diubah lagi menjadi Kementerian Komunikasi dan Informasi pada 2001.
Perubahan terakhir pada 2009, ketika ditetapkan sebagai Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Sejak itulah, praktis, kementerian urusan komunikasi diartikan sebagai bidang teknologi informasi, tanpa mencakup fungsi strategis komunikasi publik pemerintah.
Kanal yang secara struktur bisa diharapkan menghidupkan fungsi strategis komunikasi publik adalah kelembagaan Kementerian Koordinator (kemenko).
Namun, dalam Perpres No. 68/2019, tugas kemenko lebih pada koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan pada K/L di bawahnya. Tidak ada kewenangan fungsi informasi.
Dengan pembentukan Kantor Staf Presiden (KSP) sejak 2014, sebenarnya komunikasi publik bisa dimaksimalkan melalui kewenangannya.
KSP dibentuk dalam format lembaga “back-office” yang menyelaraskan pelaksanaan program prioritas presiden di lintas K/L sekaligus pengelolaan isu.
Dalam Perpres No. 83/2019, ada kewenangan KSP mengelola menjalankan strategi komunikasi di lingkungan lembaga kepresidenan.
Dengan landasan ini semestinya KSP bisa menjalankan fungsi “penerangan” kebijakan yang telah hilang pada sekian periode pemerintahan.
Apalagi KSP diperlengkapi kekuatan untuk membentuk tim atau gugus tugas lintas K/L untuk menangani masalah tertentu.
Tetapi, kewenangan besar di KSP agaknya belum kunjung melahirkan platform komunikasi publik pemerintah yang diharapkan.
KSP pada praktiknya lebih menafsir tugasnya seperti “kemenko besar” yang turun ketika ada masalah antar K/L.
Komunikasi publik adalah salah satu pilar yang pengaruhnya determinan dalam kesuksesan kebijakan (policy delivery).
Apalagi di tengah risiko ketidakpastian akibat pandemi ini, masyarakat dan seluruh stakeholders butuh yakin terhadap langkah yang dijalankan pemerintah.
Kematangan informasi diperlukan dalam kepentingan pengawasan. Jika kebijakan memang baik, maka masyarakat akan sepenuhnya ikut melangkah untuk mendukung.
Sedangkan bagi pemerintah, penyampaian yang clean and clear akan menguatkan kualitas kebijakannya.
Jelasnya dan otoritatifnya informasi kebijakan, memudahkan publik turut mengoreksi jika terjadi kesalahan di lapangan.
Upaya “penerangan” ini akan menghasilkan apa yang disebut pertanggungjawaban kebijakan (policy accountability), yang amat dibutuhkan dalam kehidupan demokrasi. (Sayfa Auliya Achidsti/Pengamat Kebijakan Publik)