33.3 C
Jakarta
25 November 2024, 12:56 PM WIB

Kebijakan Masa Pandemi yang Hegemonik Membuat Bali Tak ke Mana-Mana

PADA tahun 2020, seluruh negara di dunia memang diuji untuk membawa rakyatnya keluar dari cengkraman pandemi Covid-19, tidak terkecuali Indonesia. Meski berawal dari persoalan kesehatan, pandemi merembet kepada permasalahan multidimensional: ekonomi, politik, sosial, kebudayaan, kelompok minoritas, hingga psikologis. Krisis multidimensional inilah yang menjadi tantangan dari seluruh negara di dunia untuk memecahkannya.

Kebijakan publik menjadi sangat sentral peranannya dalam situasi krisis masyarakat dan negara. Ilmu kebijakan publik selalu ditantang untuk menghadirkan analisis dan tawaran alternatif menyelamatkan masyarakat dari krisis pandemi saat ini. Lewat analisis dan produk kebijakan yang dihasilkannya, nasib warga dan arah negara menjadi pertaruhannya.

Menganalisis situasi krisis seperti saat ini dan perumusan kebijakannya, tentulah tidak mudah. Kontestasi berbagai perspektif dengan paradigma analisis kebijakan yang berbeda-beda, pastinya akan menghasilkan kebijakan dengan karakteristiknya masing-masing. Di sinilah kritik terhadap diktum evidence based policy (kebijakan yang berbasis bukti) yang seolah netral dan apolitis. Cara kita memilah, membaca, dan memperlakukan bukti sudah sangat politis. Perspektif cara kita melihat bukti inilah yang menjadi sumber kompleksitas. Hal yang tidak dapat disangkal adalah kebijakan adalah persoalan politis yang menjadi pertarungan berbagai kepentingan. Pada titik inilah ilmu kebijakan publik bertarung dengan berbagai perspektif yang ditawarkannya dalam situasi krisis.

 

Dua Tegangan

Jika kita mendalami, setidaknya ada dua tegangan dalam perspektif kebijakan publik pada masa krisis seperti pandemi yang kita alami sekarang. Pertama, adalah yang menghendaki adanya sentralisasi kekuasaan sebagai satu komando dalam penanganan krisis. Seluruh kebijakan bersumber dari pusat kekuasaan. Pada situasi krisis, perspektif ini melihat bahwa seluruh energi dan sumber daya seharusnya dikerahkan secara efektif dan di bawah “satu komando”. Hal ini tentu saja dimungkinkan ketika perbedaan kepentingan politik dari masing-masing aktor ditangguhkan demi mencapai kepentingan bersama. Perspektif ini sering disebut dengan teori stabilitas hegemonik yang sangat memerlukan kepemimpinan yang hegemonik untuk benar-benar membawa perubahan pada saat krisis.

Perspektif yang kedua adalah mengedepankan demokrasi dan desentralisasi kekuasaan. Perspektif ini menilai sentralisasi hanya akan mengarah pada kediktatoran yang kecenderungannya menempatkan kepentingan publik di bawah kepentingan individu atau kelompok yang berkuasa. Melalui berjalannya demokrasi dan desentralissi, perspektif ini meyakini bahwa kebijakan yang dijalankan akan dapat mengakomodasi permasalahan dan kebutuhan yang berbeda dari masing-masing daerah.

Demokrasi tentu saja tidak mungkin melarang adanya kritik dan polemik. Justru tantangan terbesarnya adalah meyakinkan publik dengan kebijakan yang ditetapkan. Kritik dan polemik justru ditempatkan sebagai kontrol agar kebijakan yang dibuat menjadi tepat sasaran dan tidak disalahgunakan (Purwanto, 2020: 37; Zizek, 2020; Sachs, 2020).

Pemerintah Provinsi Bali menghasilkan puluhan kebijakan baik berupa SK (Surat Keputusan) Gubernur, Pergub (Peraturan Gubernur), imbuan, instruksi, surat edaran, dan keputusan bersama dengan PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Bali dan MDA (Majelis Desa Adat).

Salah satu kebijakan yang menyolok adalah inisiatif untuk pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Gotong Royong Pencegahan Covid-19 Berbasiskan Desa Adat di Bali. Kebijakan ini dilahirkan melalui kolaborasi dengan Majelis Desa Adat (MDA) melalui Keputusan Bersama Nomor: 472/ 1571/PPDA/DPMA Nomor: 05/SK/MDA-Prov Bali/III/2020. Tugas utamanya adalah memberdayakan krama (warga) desa adat bersama dengan para yowana (anak muda) untuk pencegahan Covid-19 di desa adat secara sekala dan niskala.      

Kebijakan Satgas tersebut hanya salah satu saja di samping kebijakan lainnya yang mewarnai penanganan pandemi di Bali sejak Maret 2020 hingga kini. Soalnya kemudian adalah bagaimana implementasi kebijakan tersebut di tengah masyarakat? Apakah proses pembuatan kebijakan tersebut sudah berdasarkan analisis situasi di tengah masyarakat? Apakah serangkaian kebijakan yang dihasilkan tersebut bisa memberikan bukti keberpihakan negara kepada masyarakat atau hanya sekadar administratif belaka (asal membuat kebijakan) tanpa mendengar kritik dan polemik publik? Sebenarnya yang terjadi hanyalah sekumpulan kebijakan yang (seolah-olah) tanggap terhadap pandemi namun sebenarnya tidak berjalan dengan baik implementasinya di lapangan. Apa sebenarnya karakteristik dari kebijakan publik yang administratif namun nir-implementasi yang kuat di lapangan ini?   

 

Tantangan        

Saya melihat bahwa pandemi Covid-19 justru menjadi tantangan bagi pemimpin Bali untuk menunjukkan kapasitasnya. Tidak ada sama sekali rumus yang bisa diterapkan secara universal bagi negara manapun untuk penanganan pandemi ini. Jika demikian adanya, peluang untuk mengerahkan segala sumber daya yang ada di lingkaran birokrasi pemerintahan dan masyarakat sipil untuk bergerak bersama menjadi sangat terbuka. Melihat situasi yang “tidak baik-baik saja”, menjadi keniscayaan bagi pemerintah untuk bertransformasi dan keluar dari belenggu politik administratif yang birokratis dalam jargon usang bussines as usual (bekerja ala kadarnya). Tantangannya adalah beradaptasi (menyesuaikan diri) dan bertransformasi (berubah).

Pandemi menantang kita semua untuk berubah, tak terkecuali negara dengan kepemimpinan politiknya. Cara kita melihatnya adalah bagaimana kebijakan negara terbukti dinikmati dan meresap hingga di akar rumput, diakui, dan memperoleh kepercayaan dari publik. Pada masa pandemi ini akan terlihat dengan gamblang pemerintah yang betul-betul responsif dan progresif dengan program-programnya di lapangan, dengan pemerintah -yang sekali lagi bukan hanya administratif dengan berbagai surat edaran, himbuan, edaran, yang masyarakat saksikan di iklan advetorial media cetak dan daring tanpa implementasi yang jelas. Pada titik inilah birokrasi sebagai penunjang kinerja pemerintahan semestinya berubah bukan justru menjadi benalu yang membebani pemerintah yang harus bertransformasi.  

Saya berargumen bahwa seluruh kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pada masa pandemi ini sepatutnya didasarkan pada analisis yang utuh terhadap lingkaran kebijakan.  Hal ini sangat penting untuk mengukur implementasi dan evaluasi kebijakan tersebut di tengah masyarakat. Justru di sini problem awal sering muncul. Kebijakan seringkali dibuat hanya sekadar untuk merespons sesuatu tanpa berpikir panjang untuk menganalisisnya secara menyeluruh dan menyiapkan program strategis untuk keberlanjutannya. Hal lainnya adalah kepentingan politik praktis populisme semu untuk meningkatkan elektoral. Kebijakan hanya menjadi dalih semata untuk tujuan yang patut diduga sangat instrumentalis bahkan pragmatis untuk berbagai macam kepentingan politik.

Merujuk pada pemilahan yang didefinisikan oleh Erawan (2020), kebijakan pada masa pandemi ini mengarah kepada dua program penting. Pertama, program responsif yaitu program-program yang membuat daerah bisa merespons dampak dari pandemi. Contoh di antaranya adalah menghadirkan program inovasi daerah untuk sistem kesehatan masyarakat, respons kebencanaan, pengangguran, kemiskinan, dan resiliensi usaha mikro kecil dan menengah. Inilah peluang yang menjadikan pandemi sebagai turning point (titik balik) bagi pemerintah daerah betul-betul berinovasi dalam mengayomi masyarakatnya. Namun sayangnya itu tidak terjadi. Saya melihat rangkaian kebijakan penanganan pandemi Covid-19 di Bali sangat kental spirit birokratis administratif yang top down berupa imbauan, edaran, dan keputusan bersama tanpa implementasi yang mengakar kuat di tengah masyarakat. 

Selain program yang bersifat responsif, yang tidak kalah pentingnya adalah mengagendakan program strategis yang bersifat jangka panjang. Pada program strategis inilah dirancang alternatif pondasi Bali yang tidak hanya bersandar pada pariwisata yang terbukti rapuh. Hal ini sering didengungkan tapi praktis tanpa kesungguhan untuk menjalankannya. Ia lebih tepatnya sebagai pemanis semata. Praktis tidak ada analisis akademik yang bisa didesiminasi secara terbuka ataupun keputusan-keputusan politis yang fundamental untuk memulai alternatif Bali melampaui pariwisata. Pemerintah Bali seolah kehilangan daya untuk keluar dari kungkungan mematikan pariwisata dan tidak mampu berpikir melampauinya.

Program strategis ini adalah merancang masa depan Bali—tentu berdasar dan dipandu oleh ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan—untuk melihat sektor lain yang bisa mensejahterakan Bali di masa depan. Anggap saja pariwisata hanyalah bonus. Oleh sebab itulah perlu dirancang sektor lain yang mampu untuk menjadi pondasi perekonomian Bali di masa depan. Sektor itu bisa jadi adalah pengembangan pengetahuan atau teknologi masa depan yang menjadikan Bali sebagai laboratoriumnya. Mengarahkan Bali sebagai pulau pengetahuan dan teknologi bisa menjadi tantangan di masa depan yang perlu dipikirkan serius.

Setidaknya saya melihat tiga hal penting yang menjadi karakteristik kebijakan publik Bali pada masa pandemi Covid-19 yaitu: pertama, nuansa kebijakan yang hanya administratif, birokratik, dan top down tidak bisa dihindarkan. Padahal, dalam lingkaran kebijakan, yang juga sangat penting adalah pada implementasi dan evaluasi. Totalitas inilah yang sepertinya hilang dalam berbagai kebijakan berbentuk surat edaran, imbauan, seruan, ataupun keputusan bersama yang dikeluarkan oleh pemerintah. Yang terjadi kemudian adalah tumpukan kebijakan yang patut diduga tidak melalui analisis awal yang kuat dan memadai. Karakteristik rezim administratif  birokratik yang paling kental saya kira adalah kinerja semu, yaitu menjadikan rentetan kebijakan sebagai prestasi dari pelayanan publik. Padahal implementasi dan evaluasi di lapangan tidak dilakukan secara sungguh-sungguh untuk mendapatkan masukan dan kritik. Justru yang terjadi adalah memantik permasalahan baru dengan begitu banyaknya tumpukan kebijakan tanpa arah yang jelas dalam penanganan pandemi.

Karakteristik kedua adalah tidak adanya kejelasan dari pemerintah terkait dengan sinergi program responsif dan strategis bagi Bali ke depan. Seluruh sumber daya dari aktor negara dan non-negara sepatutnya diakumulasi untuk berintegrasi dan berkolaborasi. Keterbukaan untuk bekerjasama dan melihat ketersediaan dan mobilisasi sumber daya (resources) berbagai aktor menjadi sangat mutlak. Relasi pemerintah, swasta (investasi), dan masyarakat sipil menjadi aspek penting dalam tata kelola yang bisa memunculkan program responsif dan strategis Bali ke depan. Tata kelola pandemi dalam konteks governance (sinergi aktor negara dan non-negara) ini saya lihat belum maksimal terjadi.

Hal ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah karakteristik kepemimpinan yang kuat pada masa pandemi ini sangatlah dibutuhkan. Kepemimpinan yang kuat dibutuhkan untuk memberikan arah penanganan krisis yang jelas dan menumbuhkan kepercayaan publik terhadap kebijakan dan sistem yang diciptkan untuk membawa masyarakat Bali keluar dari pandemi ini. Karakteristik kepemimpinan yang kuat ditunjukkan dengan keberanian mengambil keputusan di masa darutat yang didadarkan pada analisis yang kuat atas dinamika yang terjadi di lapangan berbasis pengetahuan dan dipandu oleh nilai-nilai kemanusiaan. Indikasi karakteristik kepemimpinan yang kuat pada masa krisis pandemi ini adalah adanya arah dan kejelasan kerangka dalam menangani pandemi dan diikuti oleh tata kelolanya. Muara dari semuanya adalah kepercayaan publik yang tinggi kepada pemerintah dan kepemimpinan yang dikembangkannya (Mas’udi dan Winanti, 2020: 8)           

Pandemi ini membuka peluang inovasi sekaligus menantang kapasitas kepemimpinan Bali ke depan yang mampu beradaptasi dengan situasi pandemi  pada satu sisi, dan sembari pada sisi yang lain memikirkan langkah strategis Bali ke depan. Kepemimpinan yang mengedepankan stabilitas hegemonik tidak akan membawa Bali kepada perubahan jika tidak mendengarkan koreksi dan kritik. Karakteristik kepemimpinan dengan stabilitas hegemonik akan menghasilkan kebijakan yang hegemonik pula. Ini sesuatu yang sangat rasional. Jika masih terpaku pada kondisi seperti sekarang, Bali tidak akan melangkah ke mana-mana.   

  

______________________ 

*) I Ngurah Suryawan, antropolog/ dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan FISIP Universitas Warmadewa, dan peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC).

PADA tahun 2020, seluruh negara di dunia memang diuji untuk membawa rakyatnya keluar dari cengkraman pandemi Covid-19, tidak terkecuali Indonesia. Meski berawal dari persoalan kesehatan, pandemi merembet kepada permasalahan multidimensional: ekonomi, politik, sosial, kebudayaan, kelompok minoritas, hingga psikologis. Krisis multidimensional inilah yang menjadi tantangan dari seluruh negara di dunia untuk memecahkannya.

Kebijakan publik menjadi sangat sentral peranannya dalam situasi krisis masyarakat dan negara. Ilmu kebijakan publik selalu ditantang untuk menghadirkan analisis dan tawaran alternatif menyelamatkan masyarakat dari krisis pandemi saat ini. Lewat analisis dan produk kebijakan yang dihasilkannya, nasib warga dan arah negara menjadi pertaruhannya.

Menganalisis situasi krisis seperti saat ini dan perumusan kebijakannya, tentulah tidak mudah. Kontestasi berbagai perspektif dengan paradigma analisis kebijakan yang berbeda-beda, pastinya akan menghasilkan kebijakan dengan karakteristiknya masing-masing. Di sinilah kritik terhadap diktum evidence based policy (kebijakan yang berbasis bukti) yang seolah netral dan apolitis. Cara kita memilah, membaca, dan memperlakukan bukti sudah sangat politis. Perspektif cara kita melihat bukti inilah yang menjadi sumber kompleksitas. Hal yang tidak dapat disangkal adalah kebijakan adalah persoalan politis yang menjadi pertarungan berbagai kepentingan. Pada titik inilah ilmu kebijakan publik bertarung dengan berbagai perspektif yang ditawarkannya dalam situasi krisis.

 

Dua Tegangan

Jika kita mendalami, setidaknya ada dua tegangan dalam perspektif kebijakan publik pada masa krisis seperti pandemi yang kita alami sekarang. Pertama, adalah yang menghendaki adanya sentralisasi kekuasaan sebagai satu komando dalam penanganan krisis. Seluruh kebijakan bersumber dari pusat kekuasaan. Pada situasi krisis, perspektif ini melihat bahwa seluruh energi dan sumber daya seharusnya dikerahkan secara efektif dan di bawah “satu komando”. Hal ini tentu saja dimungkinkan ketika perbedaan kepentingan politik dari masing-masing aktor ditangguhkan demi mencapai kepentingan bersama. Perspektif ini sering disebut dengan teori stabilitas hegemonik yang sangat memerlukan kepemimpinan yang hegemonik untuk benar-benar membawa perubahan pada saat krisis.

Perspektif yang kedua adalah mengedepankan demokrasi dan desentralisasi kekuasaan. Perspektif ini menilai sentralisasi hanya akan mengarah pada kediktatoran yang kecenderungannya menempatkan kepentingan publik di bawah kepentingan individu atau kelompok yang berkuasa. Melalui berjalannya demokrasi dan desentralissi, perspektif ini meyakini bahwa kebijakan yang dijalankan akan dapat mengakomodasi permasalahan dan kebutuhan yang berbeda dari masing-masing daerah.

Demokrasi tentu saja tidak mungkin melarang adanya kritik dan polemik. Justru tantangan terbesarnya adalah meyakinkan publik dengan kebijakan yang ditetapkan. Kritik dan polemik justru ditempatkan sebagai kontrol agar kebijakan yang dibuat menjadi tepat sasaran dan tidak disalahgunakan (Purwanto, 2020: 37; Zizek, 2020; Sachs, 2020).

Pemerintah Provinsi Bali menghasilkan puluhan kebijakan baik berupa SK (Surat Keputusan) Gubernur, Pergub (Peraturan Gubernur), imbuan, instruksi, surat edaran, dan keputusan bersama dengan PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Bali dan MDA (Majelis Desa Adat).

Salah satu kebijakan yang menyolok adalah inisiatif untuk pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Gotong Royong Pencegahan Covid-19 Berbasiskan Desa Adat di Bali. Kebijakan ini dilahirkan melalui kolaborasi dengan Majelis Desa Adat (MDA) melalui Keputusan Bersama Nomor: 472/ 1571/PPDA/DPMA Nomor: 05/SK/MDA-Prov Bali/III/2020. Tugas utamanya adalah memberdayakan krama (warga) desa adat bersama dengan para yowana (anak muda) untuk pencegahan Covid-19 di desa adat secara sekala dan niskala.      

Kebijakan Satgas tersebut hanya salah satu saja di samping kebijakan lainnya yang mewarnai penanganan pandemi di Bali sejak Maret 2020 hingga kini. Soalnya kemudian adalah bagaimana implementasi kebijakan tersebut di tengah masyarakat? Apakah proses pembuatan kebijakan tersebut sudah berdasarkan analisis situasi di tengah masyarakat? Apakah serangkaian kebijakan yang dihasilkan tersebut bisa memberikan bukti keberpihakan negara kepada masyarakat atau hanya sekadar administratif belaka (asal membuat kebijakan) tanpa mendengar kritik dan polemik publik? Sebenarnya yang terjadi hanyalah sekumpulan kebijakan yang (seolah-olah) tanggap terhadap pandemi namun sebenarnya tidak berjalan dengan baik implementasinya di lapangan. Apa sebenarnya karakteristik dari kebijakan publik yang administratif namun nir-implementasi yang kuat di lapangan ini?   

 

Tantangan        

Saya melihat bahwa pandemi Covid-19 justru menjadi tantangan bagi pemimpin Bali untuk menunjukkan kapasitasnya. Tidak ada sama sekali rumus yang bisa diterapkan secara universal bagi negara manapun untuk penanganan pandemi ini. Jika demikian adanya, peluang untuk mengerahkan segala sumber daya yang ada di lingkaran birokrasi pemerintahan dan masyarakat sipil untuk bergerak bersama menjadi sangat terbuka. Melihat situasi yang “tidak baik-baik saja”, menjadi keniscayaan bagi pemerintah untuk bertransformasi dan keluar dari belenggu politik administratif yang birokratis dalam jargon usang bussines as usual (bekerja ala kadarnya). Tantangannya adalah beradaptasi (menyesuaikan diri) dan bertransformasi (berubah).

Pandemi menantang kita semua untuk berubah, tak terkecuali negara dengan kepemimpinan politiknya. Cara kita melihatnya adalah bagaimana kebijakan negara terbukti dinikmati dan meresap hingga di akar rumput, diakui, dan memperoleh kepercayaan dari publik. Pada masa pandemi ini akan terlihat dengan gamblang pemerintah yang betul-betul responsif dan progresif dengan program-programnya di lapangan, dengan pemerintah -yang sekali lagi bukan hanya administratif dengan berbagai surat edaran, himbuan, edaran, yang masyarakat saksikan di iklan advetorial media cetak dan daring tanpa implementasi yang jelas. Pada titik inilah birokrasi sebagai penunjang kinerja pemerintahan semestinya berubah bukan justru menjadi benalu yang membebani pemerintah yang harus bertransformasi.  

Saya berargumen bahwa seluruh kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pada masa pandemi ini sepatutnya didasarkan pada analisis yang utuh terhadap lingkaran kebijakan.  Hal ini sangat penting untuk mengukur implementasi dan evaluasi kebijakan tersebut di tengah masyarakat. Justru di sini problem awal sering muncul. Kebijakan seringkali dibuat hanya sekadar untuk merespons sesuatu tanpa berpikir panjang untuk menganalisisnya secara menyeluruh dan menyiapkan program strategis untuk keberlanjutannya. Hal lainnya adalah kepentingan politik praktis populisme semu untuk meningkatkan elektoral. Kebijakan hanya menjadi dalih semata untuk tujuan yang patut diduga sangat instrumentalis bahkan pragmatis untuk berbagai macam kepentingan politik.

Merujuk pada pemilahan yang didefinisikan oleh Erawan (2020), kebijakan pada masa pandemi ini mengarah kepada dua program penting. Pertama, program responsif yaitu program-program yang membuat daerah bisa merespons dampak dari pandemi. Contoh di antaranya adalah menghadirkan program inovasi daerah untuk sistem kesehatan masyarakat, respons kebencanaan, pengangguran, kemiskinan, dan resiliensi usaha mikro kecil dan menengah. Inilah peluang yang menjadikan pandemi sebagai turning point (titik balik) bagi pemerintah daerah betul-betul berinovasi dalam mengayomi masyarakatnya. Namun sayangnya itu tidak terjadi. Saya melihat rangkaian kebijakan penanganan pandemi Covid-19 di Bali sangat kental spirit birokratis administratif yang top down berupa imbauan, edaran, dan keputusan bersama tanpa implementasi yang mengakar kuat di tengah masyarakat. 

Selain program yang bersifat responsif, yang tidak kalah pentingnya adalah mengagendakan program strategis yang bersifat jangka panjang. Pada program strategis inilah dirancang alternatif pondasi Bali yang tidak hanya bersandar pada pariwisata yang terbukti rapuh. Hal ini sering didengungkan tapi praktis tanpa kesungguhan untuk menjalankannya. Ia lebih tepatnya sebagai pemanis semata. Praktis tidak ada analisis akademik yang bisa didesiminasi secara terbuka ataupun keputusan-keputusan politis yang fundamental untuk memulai alternatif Bali melampaui pariwisata. Pemerintah Bali seolah kehilangan daya untuk keluar dari kungkungan mematikan pariwisata dan tidak mampu berpikir melampauinya.

Program strategis ini adalah merancang masa depan Bali—tentu berdasar dan dipandu oleh ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan—untuk melihat sektor lain yang bisa mensejahterakan Bali di masa depan. Anggap saja pariwisata hanyalah bonus. Oleh sebab itulah perlu dirancang sektor lain yang mampu untuk menjadi pondasi perekonomian Bali di masa depan. Sektor itu bisa jadi adalah pengembangan pengetahuan atau teknologi masa depan yang menjadikan Bali sebagai laboratoriumnya. Mengarahkan Bali sebagai pulau pengetahuan dan teknologi bisa menjadi tantangan di masa depan yang perlu dipikirkan serius.

Setidaknya saya melihat tiga hal penting yang menjadi karakteristik kebijakan publik Bali pada masa pandemi Covid-19 yaitu: pertama, nuansa kebijakan yang hanya administratif, birokratik, dan top down tidak bisa dihindarkan. Padahal, dalam lingkaran kebijakan, yang juga sangat penting adalah pada implementasi dan evaluasi. Totalitas inilah yang sepertinya hilang dalam berbagai kebijakan berbentuk surat edaran, imbauan, seruan, ataupun keputusan bersama yang dikeluarkan oleh pemerintah. Yang terjadi kemudian adalah tumpukan kebijakan yang patut diduga tidak melalui analisis awal yang kuat dan memadai. Karakteristik rezim administratif  birokratik yang paling kental saya kira adalah kinerja semu, yaitu menjadikan rentetan kebijakan sebagai prestasi dari pelayanan publik. Padahal implementasi dan evaluasi di lapangan tidak dilakukan secara sungguh-sungguh untuk mendapatkan masukan dan kritik. Justru yang terjadi adalah memantik permasalahan baru dengan begitu banyaknya tumpukan kebijakan tanpa arah yang jelas dalam penanganan pandemi.

Karakteristik kedua adalah tidak adanya kejelasan dari pemerintah terkait dengan sinergi program responsif dan strategis bagi Bali ke depan. Seluruh sumber daya dari aktor negara dan non-negara sepatutnya diakumulasi untuk berintegrasi dan berkolaborasi. Keterbukaan untuk bekerjasama dan melihat ketersediaan dan mobilisasi sumber daya (resources) berbagai aktor menjadi sangat mutlak. Relasi pemerintah, swasta (investasi), dan masyarakat sipil menjadi aspek penting dalam tata kelola yang bisa memunculkan program responsif dan strategis Bali ke depan. Tata kelola pandemi dalam konteks governance (sinergi aktor negara dan non-negara) ini saya lihat belum maksimal terjadi.

Hal ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah karakteristik kepemimpinan yang kuat pada masa pandemi ini sangatlah dibutuhkan. Kepemimpinan yang kuat dibutuhkan untuk memberikan arah penanganan krisis yang jelas dan menumbuhkan kepercayaan publik terhadap kebijakan dan sistem yang diciptkan untuk membawa masyarakat Bali keluar dari pandemi ini. Karakteristik kepemimpinan yang kuat ditunjukkan dengan keberanian mengambil keputusan di masa darutat yang didadarkan pada analisis yang kuat atas dinamika yang terjadi di lapangan berbasis pengetahuan dan dipandu oleh nilai-nilai kemanusiaan. Indikasi karakteristik kepemimpinan yang kuat pada masa krisis pandemi ini adalah adanya arah dan kejelasan kerangka dalam menangani pandemi dan diikuti oleh tata kelolanya. Muara dari semuanya adalah kepercayaan publik yang tinggi kepada pemerintah dan kepemimpinan yang dikembangkannya (Mas’udi dan Winanti, 2020: 8)           

Pandemi ini membuka peluang inovasi sekaligus menantang kapasitas kepemimpinan Bali ke depan yang mampu beradaptasi dengan situasi pandemi  pada satu sisi, dan sembari pada sisi yang lain memikirkan langkah strategis Bali ke depan. Kepemimpinan yang mengedepankan stabilitas hegemonik tidak akan membawa Bali kepada perubahan jika tidak mendengarkan koreksi dan kritik. Karakteristik kepemimpinan dengan stabilitas hegemonik akan menghasilkan kebijakan yang hegemonik pula. Ini sesuatu yang sangat rasional. Jika masih terpaku pada kondisi seperti sekarang, Bali tidak akan melangkah ke mana-mana.   

  

______________________ 

*) I Ngurah Suryawan, antropolog/ dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan FISIP Universitas Warmadewa, dan peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC).

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/