SINGARAJA – Majelis Desa Adat (MDA) Buleleng berjanji akan mengawasi secara ketat aktivitas sampradaya non-dresta yang ada di Buleleng.
Pengawasan itu dilakukan menyikapi terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara MDA Bali dengan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali.
Bendesa Madya MDA Buleleng Dewa Putu Budarsa mengatakan, SKB antara MDA Bali dan PHDI Bali sudah jelas.
Yakni melakukan pembatasan terhadap kegiatan sampradaya non-dresta yang ada di Bali. Termasuk yang ada di Buleleng.
Khusus di Buleleng, Budarsa mengaku ada beberapa lokasi yang diduga menjadi pusat penyebaran ajaran sampradaya non-dresta.
“Pantauan kami, hampir di tiap kecamatan ada. Selama ini kami memang hanya memantau saja dulu pergerakannya. Belum sampai melakukan tindakan lebih jauh,” kata Budarsa.
Lebih lanjut Budarsa mengatakan pihak MDA berencana duduk bersama dengan pengelola sampradaya non-dresta, sebagai bentuk langkah persuasif.
“Memang kami tidak meminta agar ditutup. Tapi dilakukan pembatasan. Karena di SKB itu jelas, ada larangan menggunakan
pura dan wewidangan-nya untuk kegiatan sampradaya non-dresta. Mereka juga dilarang menggunakan fasilitas publik,” ujarnya.
Bagaimana dengan penutupan ashram di Desa Adat Baleagung Tenaon, Desa Alasangker? Budarsa menyebut penutupan itu dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama. Bukan dilakukan atas keputusan sepihak.
Menurutnya pihak desa adat dan desa dinas, sudah mengundang pengelola ashram. Proses itu juga disaksikan secara luas oleh para tokoh masyarakat dan adat di wewidangan desa Adat Baleagung Tenaon.
“Itu sudah kesepakatan bersama, bukan sepihak. Kalau di wewidangan desa adat lain, kami akan lakukan pendekatan persuasif dan sosialisasi lagi terkait SKB dari MDA dan PHDI ini,” tegasnya.
Budarsa juga mengingatkan bahwa sampradaya non-dresta dilarang melakukan kegiatan ritual di wewidangan desa adat,
apabila ritual itu bertentangan dengan sukreta parahyangan, awig-awig, perarem, maupun dresta dari desa adat masing-masing.
Sekadar diketahui pada Rabu (28/4), Ashram Radha Maha Candra yang terletak di Banjar Dinas Bengkel, Desa Alasangker, ditutup.
Ashram itu diduga melakukan praktik kegiatan sampradaya non-dresta. Perbekel Alasangker Wayan Sitama mengklaim penutupan itu dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama.
Menurutnya, pada Rabu pagi telah dilangsungkan pertemuan antara desa dinas, desa adat, tokoh agama, tokoh adat, dan pengelola ashram. Dalam pertemuan itu disepakati bahwa kegiatan di ashram akan dihentikan.