28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 4:39 AM WIB

Udara Gunung Agung Beracun, Ahli Vulkanologi : Perlu Cek Sumbernya

RadarBali.com – Narasumber Kebencanaan dan Mitigasi Bencana Kementerian Pekerjaan Umum Lesto Prabahncana menegaskan, penyebab kematian binatang dan tumbuhan di lereng Gunung Agung perlu dicek sumbernya.

Menurut Lesto, penyebab kematian binatang dan tumbuhan lebih tepat disebut karena hawa atau udara beracun, bukan gas beracun.

Sebab, jika gas beracun maka harus dipastikan sumbernya terlebih dahulu. Bisa saja berasal dari sumber lain selain dari aktivitas vulkanik Gunung Agung.  

Kalau hawa beracun, lanjut Lesto, bisa jadi akibat reaksi kimia material vulkanik Gunung Agung seperti abu vulkanik bereaksi

dengan air sehingga menimbulkan senyawa gas beracun H2S (Hidorgen Sulfida) dan senyawa cair berbahaya seperti HSO3 fan H2SO4.

“Senyawa gas beracun H2S itu perih di hidung dan mata. Tenggorkan rasanya tercekik dan kering, kalau masuk paru-paru, lama-lama paru-paru kering,” jelas ahli vulkanologi dan geologi ini.

Sementara tanda-tanda bintang yang mati akibat udara beracun yakni mulut terbuka, badan kaku dan keras.

Ini karena H2S menyerang sistem saraf dan kerja motorik otot, serta mengganggu fungsi pernapasan. Binatang yang banyak mati adalah binatang yang ada di darat, seperti ayam, anjing dan kucing.

Sementara binatang seperti monyet tidak mudah mati karena berada di atas pepohonan yang tingginya lebih dari 1 meter.

Pasalnya, setelah terkena hujan abu vulkanik di tanah melepaskan senyawa gas beracun. Senyawa gas beracun itu mengambang di atas tanah setinggi 1 meter.

Karena itu, banyak tanaman yang mati memiliki ketinggian di antara 1 meter. Seperti cabai dan rumput. Hal ini dapat dilihat dari foto yang dikirim oleh relawan.

Lesto mengingatkan, udara beracun berbahaya bagi manusia jika manusia tidur, jongkok atau duduk di tanah atau lantai di daerah tersebut.

Senyawa gas dan cairan berbahaya dan beracun bersifat korosif sehingga dapat mengiritasi kulit dan mata. 

Awan-awan hujan yang bercampur dengan asap vulkanik akan dapat menimbulkan hujan asam. Saat hujan disarankan menggunakan jas hujan dan kacamata sebagai pencegahan efek negatif hujan asam.

Setelah itu, jas hujan, kacamata dan badan harus dibilas dengan air bersih. “Saran saya dari dinas kesehatan atau lingkungan hidup  melakukan pengecekan ke lokasi.

Apakah daerah tersebut terdapat senyawa gas atau cairan yang berbahaya, apakah sumber air minum masih layak konsumsi atau tidak akibat tercemar senyawa berbahaya?

Apakah udara di sekitar itu mengandung senyawa gas beracun? Semuanya harus dipastikan dan dicek,” saran pria asal Jogjakarta itu.

Senyawa beracun dan berbahaya dapat juga terbentuk dan terbawa pada aliran lahar. Karena itu apabila terjadi aliran lahar sebaiknya menjauh dan segera menghindar bila mencium bau menyengat dan mata terasa perih.

Berapa jarak aman menghindari udara beracun? “Kalau semakin jauh kadarnya semakin turun. Kalau mencium bau belerang menyengat, ya segera menjauh,” tukasnya.

RadarBali.com – Narasumber Kebencanaan dan Mitigasi Bencana Kementerian Pekerjaan Umum Lesto Prabahncana menegaskan, penyebab kematian binatang dan tumbuhan di lereng Gunung Agung perlu dicek sumbernya.

Menurut Lesto, penyebab kematian binatang dan tumbuhan lebih tepat disebut karena hawa atau udara beracun, bukan gas beracun.

Sebab, jika gas beracun maka harus dipastikan sumbernya terlebih dahulu. Bisa saja berasal dari sumber lain selain dari aktivitas vulkanik Gunung Agung.  

Kalau hawa beracun, lanjut Lesto, bisa jadi akibat reaksi kimia material vulkanik Gunung Agung seperti abu vulkanik bereaksi

dengan air sehingga menimbulkan senyawa gas beracun H2S (Hidorgen Sulfida) dan senyawa cair berbahaya seperti HSO3 fan H2SO4.

“Senyawa gas beracun H2S itu perih di hidung dan mata. Tenggorkan rasanya tercekik dan kering, kalau masuk paru-paru, lama-lama paru-paru kering,” jelas ahli vulkanologi dan geologi ini.

Sementara tanda-tanda bintang yang mati akibat udara beracun yakni mulut terbuka, badan kaku dan keras.

Ini karena H2S menyerang sistem saraf dan kerja motorik otot, serta mengganggu fungsi pernapasan. Binatang yang banyak mati adalah binatang yang ada di darat, seperti ayam, anjing dan kucing.

Sementara binatang seperti monyet tidak mudah mati karena berada di atas pepohonan yang tingginya lebih dari 1 meter.

Pasalnya, setelah terkena hujan abu vulkanik di tanah melepaskan senyawa gas beracun. Senyawa gas beracun itu mengambang di atas tanah setinggi 1 meter.

Karena itu, banyak tanaman yang mati memiliki ketinggian di antara 1 meter. Seperti cabai dan rumput. Hal ini dapat dilihat dari foto yang dikirim oleh relawan.

Lesto mengingatkan, udara beracun berbahaya bagi manusia jika manusia tidur, jongkok atau duduk di tanah atau lantai di daerah tersebut.

Senyawa gas dan cairan berbahaya dan beracun bersifat korosif sehingga dapat mengiritasi kulit dan mata. 

Awan-awan hujan yang bercampur dengan asap vulkanik akan dapat menimbulkan hujan asam. Saat hujan disarankan menggunakan jas hujan dan kacamata sebagai pencegahan efek negatif hujan asam.

Setelah itu, jas hujan, kacamata dan badan harus dibilas dengan air bersih. “Saran saya dari dinas kesehatan atau lingkungan hidup  melakukan pengecekan ke lokasi.

Apakah daerah tersebut terdapat senyawa gas atau cairan yang berbahaya, apakah sumber air minum masih layak konsumsi atau tidak akibat tercemar senyawa berbahaya?

Apakah udara di sekitar itu mengandung senyawa gas beracun? Semuanya harus dipastikan dan dicek,” saran pria asal Jogjakarta itu.

Senyawa beracun dan berbahaya dapat juga terbentuk dan terbawa pada aliran lahar. Karena itu apabila terjadi aliran lahar sebaiknya menjauh dan segera menghindar bila mencium bau menyengat dan mata terasa perih.

Berapa jarak aman menghindari udara beracun? “Kalau semakin jauh kadarnya semakin turun. Kalau mencium bau belerang menyengat, ya segera menjauh,” tukasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/