27.3 C
Jakarta
9 April 2024, 1:09 AM WIB

Redam Aksi Warga Tolak Pabrik B3, Bupati Tamba: Stop Dulu Sementara!

NEGARA – Pembangunan pabrik pengolahan bahan bahaya dan beracun (B3) di Desa Pengambengan, membuat Bupati Jembrana I Nengah Tamba dalam posisi dilematis.

Karena proses pembangunan dan izin sudah keluar pada pemerintahan bupati sebelumnya. Namun disisi lain,

bupati harus mendengar aspirasi dari masyarakat yang sudah bertahun-tahun menolak pembangunan pabrik pengolahan B3.

Ditemui di sela-sela kunjungan pemantauan vaksinasi pada pekerja pabrik pengalengan ikan di Desa Pengambengan, Bupati Jembrana I Nengah Tamba mengatakan,

pembangunan pabrik pengolahan B3 secara normatif sudah mengantongi syarat-syarat untuk pembangunan.

Karena izin amdal hingga izin mendirikan bangunan sudah dikeluarkan. “Secara normatif memang sudah ada izin,” ujar Bupati Tamba.

Pemerintah kabupaten Jembrana tidak bisa serta merta mencabut izin. Misalnya, izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan pemerintah kabupaten.

Karena dalam membuat keputusan untuk mencabut harus dikaji lebih mendalam lagi agar tidak menimbulkan masalah lain.

“Saya harus menghargai juga keputusan bupati sebelumnya. Karena mengenai pabrik limbah B3 ini semua proses perizinan selesai pemerintahan sebelumnya,” terangnya.

Pada saat bersamaan, sebagai bupati Jembrana, harus mendengar dan menghargai masyarakat Desa Pengambengan yang menyampaikan aspirasi penolakan pembangunan pabrik pengolahan B3.

“Makanya susah ini, ibarat makan nangka. Ngak makan tapi dapat getahnya saja. Izin sudah keluar, satu sisi masyarakat menuntut,” terangnya.

Karena itu, satu-satunya jalan adalah agar dipermaklumkan pada perusahaan yang akan membangun untuk tidak melakukan aktivitas pembangunan biar situasi Jembrana kondusif, khususnya di Desa Pengambengan. 

“Jangan melakukan aktivitas, biar suasana kondusif. Apalagi hari raya. Hargai hari raya agar situasi kondusif,” terangnya.

Dalam proses pembangunan pabrik pengolahan B3, izin amdal dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Namun, proses mendapat izin tersebut berproses dari bawah,

mulai dari persetujuan dari pendamping dan rekomendasi lahan yang dikeluarkan I Putu Artha selaku Bupati Jembrana sebelumnya.

Sedangkan izin yang dikeluarkan pemerintah Kabupaten Jembrana hanya izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan 8 Desember 2020 atau sehari sebelum pencoblosan Pilkada Jembrana.

Sejak pergantian Bupati Jembrana dari I Putu Artha kepada I Nengah Tamba sebagai bupati terpilih yang dilantik 26 Februari lalu,

hingga saat ini pihak PT. Klin sebagai perusahaan yang akan membangun belum pernah bertemu bupati baru, namun tiba-tiba bersurat kepada desa bahwa pembangunan akan dimulai.

Seperti diketahui, puluhan orang warga Desa Pengambengan, mendatangi kantor DPRD Jembrana dan kantor Bupati Jembrana, Senin (3/5) lalu.

Kedatangan warga untuk menyampaikan aspirasi penolakan pembangunan pabrik pengolahan bahan bahaya dan beracun (B3) di Desa Pengambengan.

Meski seluruh izin sudah dikeluarkan pemerintah pusat dan izin mendirikan bangunan oleh pemerintah kabupaten,

warga tetap menolak pembangunan pabrik karena proses perizinan dinilai penuh rekayasa dan tidak transparan.

Menurut Hadi, salah satu perwakilan warga, penolakan warga terhadap pabrik pengolahan B3 sudah dilakukan sejak 2017.

Sebanyak tiga perusahaan yang rencananya membangun, namun satu perusahaan yang sampai saat ini sudah mendapat izin.

Namun prosesnya, mulai dari amdal yang digelar di Jakarta hingga IMB dinilai tidak ada keterbukaan dari pihak pemerintah.

“Proses amdal, tidak melibatkan masyarakat pendamping dan terdampak, tetapi justru lima orang perangkat desa yang dianggap mewakili warga Desa Pengambengan,” terangnya.

Warga menduga proses persetujuan hingga terbit amdal dan IMB direkayasa. Karena masyarakat penyanding tidak mengetahui secara mengenai perusahaan yang akan membangun pabrik B3 tersebut.

Kemudian dari sisi dokumen, bahwa kawasan Desa Pengambengan dari tata ruang merupakan kawasan industri.

Dalam persetujuan pada pabrik B3, kejanggalanya dimasukkan dalam kategori industri khusus. Sedangkan pembangunan pabrik limbah B3 tidak termasuk dalam industri khusus.

Kemudian persetujuan lain yang menyebut  bahwa limbah B3 sebagai pabrik limbah terpadu. Sedangkan Desa Pegambengan merupakan pabrik pengolahan hasil tangkapan ikan. 

Kemudian rekomendasi alih fungsi lahan yang dikeluarkan bupati Jembrana sebelumnya I Putu Artha yang merekomendasikan alih fungsi lahan dari pertanian untuk lahan industri pabrik limbah medis seluas 16 are.

Padahal dalam peraturan bupati merupakan lahan pertanian minimal 1 hektar. Serta dalam PP 11 tahun 2012 RTRW, untuk industri khusus minimal 5 hektar.

Tetapi kenyataanya, untuk pabrik limbah B3 hanya 16 are. Kenapa disetujui? Padahal sudah jelas tidak memenuhi aturan. 

Karena itu, warga meminta pada Bupati Jembrana untuk meninjau ulang atau mengkaji ulang izin yang dikeluarkan pada PT. Klin sebagai pabrik pengolahan pabrik limbah B3.

Warga juga meminta untuk menindaklanjuti, karena ada sanksi administrasi hingga pidana dari proses perizinan ini. 

Hadi menegaskan, warga tidak menyetujui pabrik limbah B3 sejak 2017 lalu. Namun, proses perizinan ini tiba-tiba, termasuk IMB yang keluar sehari sebelum hari pemungutan suara, yakni 8 Desember 2020.

Karena itu, warga meminta pada pemerintah untuk duduk bersama dengan warga dan PT. Klin. Tujuannya agar dinas terkait dan perusahaan menjelaskan mengenai proses sosialisasi hingga perizinan yang dikeluarkan. 

NEGARA – Pembangunan pabrik pengolahan bahan bahaya dan beracun (B3) di Desa Pengambengan, membuat Bupati Jembrana I Nengah Tamba dalam posisi dilematis.

Karena proses pembangunan dan izin sudah keluar pada pemerintahan bupati sebelumnya. Namun disisi lain,

bupati harus mendengar aspirasi dari masyarakat yang sudah bertahun-tahun menolak pembangunan pabrik pengolahan B3.

Ditemui di sela-sela kunjungan pemantauan vaksinasi pada pekerja pabrik pengalengan ikan di Desa Pengambengan, Bupati Jembrana I Nengah Tamba mengatakan,

pembangunan pabrik pengolahan B3 secara normatif sudah mengantongi syarat-syarat untuk pembangunan.

Karena izin amdal hingga izin mendirikan bangunan sudah dikeluarkan. “Secara normatif memang sudah ada izin,” ujar Bupati Tamba.

Pemerintah kabupaten Jembrana tidak bisa serta merta mencabut izin. Misalnya, izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan pemerintah kabupaten.

Karena dalam membuat keputusan untuk mencabut harus dikaji lebih mendalam lagi agar tidak menimbulkan masalah lain.

“Saya harus menghargai juga keputusan bupati sebelumnya. Karena mengenai pabrik limbah B3 ini semua proses perizinan selesai pemerintahan sebelumnya,” terangnya.

Pada saat bersamaan, sebagai bupati Jembrana, harus mendengar dan menghargai masyarakat Desa Pengambengan yang menyampaikan aspirasi penolakan pembangunan pabrik pengolahan B3.

“Makanya susah ini, ibarat makan nangka. Ngak makan tapi dapat getahnya saja. Izin sudah keluar, satu sisi masyarakat menuntut,” terangnya.

Karena itu, satu-satunya jalan adalah agar dipermaklumkan pada perusahaan yang akan membangun untuk tidak melakukan aktivitas pembangunan biar situasi Jembrana kondusif, khususnya di Desa Pengambengan. 

“Jangan melakukan aktivitas, biar suasana kondusif. Apalagi hari raya. Hargai hari raya agar situasi kondusif,” terangnya.

Dalam proses pembangunan pabrik pengolahan B3, izin amdal dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Namun, proses mendapat izin tersebut berproses dari bawah,

mulai dari persetujuan dari pendamping dan rekomendasi lahan yang dikeluarkan I Putu Artha selaku Bupati Jembrana sebelumnya.

Sedangkan izin yang dikeluarkan pemerintah Kabupaten Jembrana hanya izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan 8 Desember 2020 atau sehari sebelum pencoblosan Pilkada Jembrana.

Sejak pergantian Bupati Jembrana dari I Putu Artha kepada I Nengah Tamba sebagai bupati terpilih yang dilantik 26 Februari lalu,

hingga saat ini pihak PT. Klin sebagai perusahaan yang akan membangun belum pernah bertemu bupati baru, namun tiba-tiba bersurat kepada desa bahwa pembangunan akan dimulai.

Seperti diketahui, puluhan orang warga Desa Pengambengan, mendatangi kantor DPRD Jembrana dan kantor Bupati Jembrana, Senin (3/5) lalu.

Kedatangan warga untuk menyampaikan aspirasi penolakan pembangunan pabrik pengolahan bahan bahaya dan beracun (B3) di Desa Pengambengan.

Meski seluruh izin sudah dikeluarkan pemerintah pusat dan izin mendirikan bangunan oleh pemerintah kabupaten,

warga tetap menolak pembangunan pabrik karena proses perizinan dinilai penuh rekayasa dan tidak transparan.

Menurut Hadi, salah satu perwakilan warga, penolakan warga terhadap pabrik pengolahan B3 sudah dilakukan sejak 2017.

Sebanyak tiga perusahaan yang rencananya membangun, namun satu perusahaan yang sampai saat ini sudah mendapat izin.

Namun prosesnya, mulai dari amdal yang digelar di Jakarta hingga IMB dinilai tidak ada keterbukaan dari pihak pemerintah.

“Proses amdal, tidak melibatkan masyarakat pendamping dan terdampak, tetapi justru lima orang perangkat desa yang dianggap mewakili warga Desa Pengambengan,” terangnya.

Warga menduga proses persetujuan hingga terbit amdal dan IMB direkayasa. Karena masyarakat penyanding tidak mengetahui secara mengenai perusahaan yang akan membangun pabrik B3 tersebut.

Kemudian dari sisi dokumen, bahwa kawasan Desa Pengambengan dari tata ruang merupakan kawasan industri.

Dalam persetujuan pada pabrik B3, kejanggalanya dimasukkan dalam kategori industri khusus. Sedangkan pembangunan pabrik limbah B3 tidak termasuk dalam industri khusus.

Kemudian persetujuan lain yang menyebut  bahwa limbah B3 sebagai pabrik limbah terpadu. Sedangkan Desa Pegambengan merupakan pabrik pengolahan hasil tangkapan ikan. 

Kemudian rekomendasi alih fungsi lahan yang dikeluarkan bupati Jembrana sebelumnya I Putu Artha yang merekomendasikan alih fungsi lahan dari pertanian untuk lahan industri pabrik limbah medis seluas 16 are.

Padahal dalam peraturan bupati merupakan lahan pertanian minimal 1 hektar. Serta dalam PP 11 tahun 2012 RTRW, untuk industri khusus minimal 5 hektar.

Tetapi kenyataanya, untuk pabrik limbah B3 hanya 16 are. Kenapa disetujui? Padahal sudah jelas tidak memenuhi aturan. 

Karena itu, warga meminta pada Bupati Jembrana untuk meninjau ulang atau mengkaji ulang izin yang dikeluarkan pada PT. Klin sebagai pabrik pengolahan pabrik limbah B3.

Warga juga meminta untuk menindaklanjuti, karena ada sanksi administrasi hingga pidana dari proses perizinan ini. 

Hadi menegaskan, warga tidak menyetujui pabrik limbah B3 sejak 2017 lalu. Namun, proses perizinan ini tiba-tiba, termasuk IMB yang keluar sehari sebelum hari pemungutan suara, yakni 8 Desember 2020.

Karena itu, warga meminta pada pemerintah untuk duduk bersama dengan warga dan PT. Klin. Tujuannya agar dinas terkait dan perusahaan menjelaskan mengenai proses sosialisasi hingga perizinan yang dikeluarkan. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/