28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 3:33 AM WIB

MENYENTUH! Ternyata Ini Alasan Korban Gempa Palu Mengungsi ke Bali…

NEGARA – Heriyadi, 43, bersama keluarganya sementara ini cukup tenang dirumah keluarganya di Gilimanuk.

Pengungsi korban bencana gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi tengah itu memilih mengungsi ke Gilimanuk karena khawatir dengan kesehatan kedua anaknya yang masih kecil-kecil.

Ditemui di rumah Jirah Sujati di Gang IV Lingkungan Asih, Gilimanuk, Heriyadi menuturkan, saat gempat terjadi dirinya yang sedang mengikuti diklat.

Sementara istrinya Hartati Tanaiyo, 40, dan dua anaknya Jarwali,10, dan Aufar,3, berada di rumahnya griya Petobo.

“Gempa pertama sangat terasa dan plapon gedung tempat saya diklat berjatuhan,” ujar Heriyadi.

Karena khawatir dengan keluarganya, Heriyadi nekat meninggalkan diklat untuk pulang kerumahnya dengan mengendarai sepeda motor.

Untuk menuju rumahnya sekitar limakilometer dari tempatnya Diklat, tidak mudah karena jalan rusak berat akibat gempa.

“Jalan seperti kertas yang dilipat-lipat, jadi sepeda motor harus diangkat saat melewati gundukan yang tinggai lebih dari setengah meter. Namun demikian saya tetap nekat pulang,” ungkapnya.

Setibanya dirumah, Heriyadi mendapati rumahnya sudah berantakan dan temboknya pecah-pecah. Dia awalnya sempat khawatir dengan istri dan kedua anaknya, karena diduga ikut acara festival perayaan HUT kota Palu di pantai.

Namun setelah dicari, ternyata istri dan anak-anaknya selamat berada di tanah lapang bersama warga lainya.

“Dari cerita istri saya saat gempa pertama dia dan anak-anak sedang didalam rumah. Istri saya mau sholat Maghrib.

Namun, belum sempat sholat gempa terjadi dan dia bertahan didalam rumah. Baru setelah getaran berhenti dia bersama anak-anak keluar menuju ke lapangan. Lalu dia balik untuk mengunci rumah,” jelasnya.

Tidak lama kemudian gempa susulan terjadi yang getaranya sangat keras. Akibatnya waduk yang berada di dekat perumahan Petobo pecah lalu air bercampur lumpur naik ke perumahan sehingga membuat perumahan itu luluh lantak.

“Waduk Petobo itu ada dibawah perumahan yang saya tempati. Beruntung perumahan yang saya tempati itu tidak terkena lumpur itu,” terangnya.

Setelah gempa berhenti, Heryadi bersama keluarganya dan warga lainya yang selamat tinggal di pengungsian yang cukup aman.

Namun, mereka hanya tiga hari tinggal di pengungsian lantaran bahan makanan dan air bersih mulai menipis sementara bantuan belum datang.

Selain itu bau busuk dari mayat yang tertimbun reruntuhan dan belum dievakuasij uga  semakin menyengat.

“Saya melihat kesehatan anak-anak saya mulai menurun. Selain itu tanah disana masih sering bergetar dan kami khawatir akan amblas karena dibawahnya masih banyak berisi lumpur. Selain itu saat malam hari gelap gulita,” ujarnya.

Melihat kondisi kesehatan anaknya yang semakin menurun, Heriyadi yang khawatir lalu memutuskan untuk mengungsi pulang ke GIlimanuk bersama keluarganya.

Dia berangkat dengan menumpang mobil Logistik yang balik setelah membawa bantuan untuk menuju Mamuju.

Setelah semalam menginap di Mamuju kemudian menuju Makasar lalu menumpang pesawat untuk menuju ke Bali.

“Saya sampai di Gilimanuk Jumat sekitar jam satu malam,”jelasnya. Sementara ini bersama keluarganya cukup aman di Gilimanuk.

Namun, demikian Heryadi mengaku tetap ingin cepat untuk kembali ke Palu agar bisa bekerja dan sekolah anak pertamanya yang masih duduk di kelas IV SD bisa berlanjut.

“Memang kantor UPT tempat saya kerja hancur dan tidak ada kejelasan apakah kita libur atau tidak. Tetapi saya ingin cepat kembali ke Palu agar bisa

berkumpul dengan teman-teman kerja dan keluarga yang ada disana,” ujar PNS Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah itu.

Heryadi menambahkan bencana gempa dan tsunami itu memang sangat mengerikan karena selain memakan korban jiwa yang banyak serta kerusakan parah juga menimbulkan trauma.

“Satu keluarga istri saya sampai sekarang hilang. Teman-teman satu tempat kerja saya juga banyak yang hilang. Kejadian itu sangat mengerikan,” terang Heryiadi yang baru lima tahun tinggal di Palu itu.

NEGARA – Heriyadi, 43, bersama keluarganya sementara ini cukup tenang dirumah keluarganya di Gilimanuk.

Pengungsi korban bencana gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi tengah itu memilih mengungsi ke Gilimanuk karena khawatir dengan kesehatan kedua anaknya yang masih kecil-kecil.

Ditemui di rumah Jirah Sujati di Gang IV Lingkungan Asih, Gilimanuk, Heriyadi menuturkan, saat gempat terjadi dirinya yang sedang mengikuti diklat.

Sementara istrinya Hartati Tanaiyo, 40, dan dua anaknya Jarwali,10, dan Aufar,3, berada di rumahnya griya Petobo.

“Gempa pertama sangat terasa dan plapon gedung tempat saya diklat berjatuhan,” ujar Heriyadi.

Karena khawatir dengan keluarganya, Heriyadi nekat meninggalkan diklat untuk pulang kerumahnya dengan mengendarai sepeda motor.

Untuk menuju rumahnya sekitar limakilometer dari tempatnya Diklat, tidak mudah karena jalan rusak berat akibat gempa.

“Jalan seperti kertas yang dilipat-lipat, jadi sepeda motor harus diangkat saat melewati gundukan yang tinggai lebih dari setengah meter. Namun demikian saya tetap nekat pulang,” ungkapnya.

Setibanya dirumah, Heriyadi mendapati rumahnya sudah berantakan dan temboknya pecah-pecah. Dia awalnya sempat khawatir dengan istri dan kedua anaknya, karena diduga ikut acara festival perayaan HUT kota Palu di pantai.

Namun setelah dicari, ternyata istri dan anak-anaknya selamat berada di tanah lapang bersama warga lainya.

“Dari cerita istri saya saat gempa pertama dia dan anak-anak sedang didalam rumah. Istri saya mau sholat Maghrib.

Namun, belum sempat sholat gempa terjadi dan dia bertahan didalam rumah. Baru setelah getaran berhenti dia bersama anak-anak keluar menuju ke lapangan. Lalu dia balik untuk mengunci rumah,” jelasnya.

Tidak lama kemudian gempa susulan terjadi yang getaranya sangat keras. Akibatnya waduk yang berada di dekat perumahan Petobo pecah lalu air bercampur lumpur naik ke perumahan sehingga membuat perumahan itu luluh lantak.

“Waduk Petobo itu ada dibawah perumahan yang saya tempati. Beruntung perumahan yang saya tempati itu tidak terkena lumpur itu,” terangnya.

Setelah gempa berhenti, Heryadi bersama keluarganya dan warga lainya yang selamat tinggal di pengungsian yang cukup aman.

Namun, mereka hanya tiga hari tinggal di pengungsian lantaran bahan makanan dan air bersih mulai menipis sementara bantuan belum datang.

Selain itu bau busuk dari mayat yang tertimbun reruntuhan dan belum dievakuasij uga  semakin menyengat.

“Saya melihat kesehatan anak-anak saya mulai menurun. Selain itu tanah disana masih sering bergetar dan kami khawatir akan amblas karena dibawahnya masih banyak berisi lumpur. Selain itu saat malam hari gelap gulita,” ujarnya.

Melihat kondisi kesehatan anaknya yang semakin menurun, Heriyadi yang khawatir lalu memutuskan untuk mengungsi pulang ke GIlimanuk bersama keluarganya.

Dia berangkat dengan menumpang mobil Logistik yang balik setelah membawa bantuan untuk menuju Mamuju.

Setelah semalam menginap di Mamuju kemudian menuju Makasar lalu menumpang pesawat untuk menuju ke Bali.

“Saya sampai di Gilimanuk Jumat sekitar jam satu malam,”jelasnya. Sementara ini bersama keluarganya cukup aman di Gilimanuk.

Namun, demikian Heryadi mengaku tetap ingin cepat untuk kembali ke Palu agar bisa bekerja dan sekolah anak pertamanya yang masih duduk di kelas IV SD bisa berlanjut.

“Memang kantor UPT tempat saya kerja hancur dan tidak ada kejelasan apakah kita libur atau tidak. Tetapi saya ingin cepat kembali ke Palu agar bisa

berkumpul dengan teman-teman kerja dan keluarga yang ada disana,” ujar PNS Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah itu.

Heryadi menambahkan bencana gempa dan tsunami itu memang sangat mengerikan karena selain memakan korban jiwa yang banyak serta kerusakan parah juga menimbulkan trauma.

“Satu keluarga istri saya sampai sekarang hilang. Teman-teman satu tempat kerja saya juga banyak yang hilang. Kejadian itu sangat mengerikan,” terang Heryiadi yang baru lima tahun tinggal di Palu itu.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/