27.2 C
Jakarta
23 November 2024, 2:33 AM WIB

Stop Eksploitasi Hutan, Krama Catur Desa Komit Jaga Hutan Mertha Jati

BANJAR – Tak mau fungsi hutan adat alas Mertha Jati Tamblingan dikomersilkan dan rusak akibat berbagai pembangunan, krama Catur Desa Adat Tamblingan yang terdiri dari Desa Gobleg,

Desa Gesing, Desa Munduk, Kecamatan Banjar dan Desa Umejero Kecamatan Busungbiu sepakat untuk melakukan penyelamatan hutan secara bersama-sama.

Keempat krama catur desa tersebut berkomitmen akan menjaga kawasan hutan seluas 1.312,32 hektare sebagai hutan lindung.

Sekaligus menjaga keberadaan ekosistem yang hidup dikawasan hutan. Deklarasikan komitmen bersama menjaga hutan adat alas Mertha Jati Tamblingan dilakukan Rabu (14/10) lalu di Desa Gobleg, Banjar.

Ketua Tim Sembilan Catur Desa Adat Dalem Tamblingan Jro Putu Ardana mengatakan, pihaknya masih mengajukan permohonan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)

agar bersedia memberikan persetujuan terhadap hutan alas Mertha Jati Tamblingan untuk dapat dikelola dan dijaga kelestariannya oleh krama catur desa.

Karena selama ini kewenangan pengelolaan statusnya berada di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) wilayah Bali.

“Maka (Hari ini red) krama catur desa Gobleg, Gesing, Munduk dan Umejero sepakat menjaga kelestarian hutan alas Mertha Jati Tamblingan,” ujar Putu Ardana.

Dia menyebut ada beberapa hal sebenarnya yang melatarbelakangi mengapa krama catur desa berupaya penuh menjaga kawasan hutan Mertha Jati Tamblingan (hutan suci).

Yakni mempertahankan nilai-nilai luhur yang sudah ada turun temurun (warisan) dari masyarakat adat catur desa.

Termasuk menjaga daerah resapan air. Dimana empat desa sebagai daerah hulu. Kemudian menjaga keberadaan air yang berada di Danau Tamblingan.

Selain itu sebagai upaya pihaknya menjaga nilai harmoni bagaimana krama catur desa agar dapat selalu hidup berdampingan dengan alam.

“Nilai-nilai ini yang ingin selalu kami pertahankan. Dan yang paling mengkhusus tidak adanya alih fungsi lahan hutan dikomersilkan untuk penunjang kegiatan ekonomi wisata dan dilakukan eksploitasi hutan,” tuturnya.

Bahkan, pihaknya yang tergabung dalam tim sembilan sejatinya telah melakukan survei lapangan terhadap kawasan hutan berikut pula dengan dan kajian naskah akademik.

Di kawasan hutan Mertha Jati tak hanya pohon, tapi juga satwa yang hidup didalamnya. Termasuk 17 pura tempat suci juga ada didalamnya yang sejatinya merupakan peninggalan warisan tetua zaman dahulu.

“Inilah yang kami harus pertahankan kelestarian hutan adat alas Mertha Jati Tamblingan. Karena bukan kami yang menerima hasil. Melainkan daerah yang berada hilir yang juga dapat menikmati air,” ungkapnya.

Dari deklarasi yang ditangani oleh empat bendesa adat yang berada dalam krama catur desa dan tim sembilan terus berupaya semaksimal mungkin

agar permohonan pengelolaan hutan alas Mertha Jati Tamblingan menjadi hak pengelolaan Krama Catur Desa yang pengelolaannya berada di BKSDA Bali.

“Kami tak ingin hutan alas Mertha Jati Tamblingan dikomersilkan dan dieksploitasi. Karena hutan tersebut bagi krama catur desa sebagai hutan suci yang harus tetap dijaga keberadaan dan kelestariannya,” pungkasnya. 

BANJAR – Tak mau fungsi hutan adat alas Mertha Jati Tamblingan dikomersilkan dan rusak akibat berbagai pembangunan, krama Catur Desa Adat Tamblingan yang terdiri dari Desa Gobleg,

Desa Gesing, Desa Munduk, Kecamatan Banjar dan Desa Umejero Kecamatan Busungbiu sepakat untuk melakukan penyelamatan hutan secara bersama-sama.

Keempat krama catur desa tersebut berkomitmen akan menjaga kawasan hutan seluas 1.312,32 hektare sebagai hutan lindung.

Sekaligus menjaga keberadaan ekosistem yang hidup dikawasan hutan. Deklarasikan komitmen bersama menjaga hutan adat alas Mertha Jati Tamblingan dilakukan Rabu (14/10) lalu di Desa Gobleg, Banjar.

Ketua Tim Sembilan Catur Desa Adat Dalem Tamblingan Jro Putu Ardana mengatakan, pihaknya masih mengajukan permohonan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)

agar bersedia memberikan persetujuan terhadap hutan alas Mertha Jati Tamblingan untuk dapat dikelola dan dijaga kelestariannya oleh krama catur desa.

Karena selama ini kewenangan pengelolaan statusnya berada di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) wilayah Bali.

“Maka (Hari ini red) krama catur desa Gobleg, Gesing, Munduk dan Umejero sepakat menjaga kelestarian hutan alas Mertha Jati Tamblingan,” ujar Putu Ardana.

Dia menyebut ada beberapa hal sebenarnya yang melatarbelakangi mengapa krama catur desa berupaya penuh menjaga kawasan hutan Mertha Jati Tamblingan (hutan suci).

Yakni mempertahankan nilai-nilai luhur yang sudah ada turun temurun (warisan) dari masyarakat adat catur desa.

Termasuk menjaga daerah resapan air. Dimana empat desa sebagai daerah hulu. Kemudian menjaga keberadaan air yang berada di Danau Tamblingan.

Selain itu sebagai upaya pihaknya menjaga nilai harmoni bagaimana krama catur desa agar dapat selalu hidup berdampingan dengan alam.

“Nilai-nilai ini yang ingin selalu kami pertahankan. Dan yang paling mengkhusus tidak adanya alih fungsi lahan hutan dikomersilkan untuk penunjang kegiatan ekonomi wisata dan dilakukan eksploitasi hutan,” tuturnya.

Bahkan, pihaknya yang tergabung dalam tim sembilan sejatinya telah melakukan survei lapangan terhadap kawasan hutan berikut pula dengan dan kajian naskah akademik.

Di kawasan hutan Mertha Jati tak hanya pohon, tapi juga satwa yang hidup didalamnya. Termasuk 17 pura tempat suci juga ada didalamnya yang sejatinya merupakan peninggalan warisan tetua zaman dahulu.

“Inilah yang kami harus pertahankan kelestarian hutan adat alas Mertha Jati Tamblingan. Karena bukan kami yang menerima hasil. Melainkan daerah yang berada hilir yang juga dapat menikmati air,” ungkapnya.

Dari deklarasi yang ditangani oleh empat bendesa adat yang berada dalam krama catur desa dan tim sembilan terus berupaya semaksimal mungkin

agar permohonan pengelolaan hutan alas Mertha Jati Tamblingan menjadi hak pengelolaan Krama Catur Desa yang pengelolaannya berada di BKSDA Bali.

“Kami tak ingin hutan alas Mertha Jati Tamblingan dikomersilkan dan dieksploitasi. Karena hutan tersebut bagi krama catur desa sebagai hutan suci yang harus tetap dijaga keberadaan dan kelestariannya,” pungkasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/