GIANYAR – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis ada 10 desa di pesisir pantai Gianyar masuk kelas bahaya tinggi tsunami.
Bendesa pakraman Ketewel, Kecamatan Sukawati, I Wayan Ari Suthama, yang daerahnya masuk list bahaya mengaku tidak tahu menahu terkait data itu.
“Tidak banyak masyarakat mengetahui itu,” tegas Ari Suthama, Jumat (4/1). Kata dia, apabila daerah Ketewel masuk list bahaya, sebaiknya badan terkait memberikan sosialisasi kepada masyarakat.
“Kalau memang pesisir pantai Ketewel merupakan daerah rawan tsunami harusnya diadakan penyuluhan simulasi tentang itu,” pintanya.
Selama ini, sebagai masyarakat pesisir, pihaknya berusaha tanggap akan keadaan pesisir seperti melihat situasi laut. “Kalau ada tanda-tanda air surut cepat-cepar membil tindakan dan meninggalkan rumah,” jelasnya.
Sebagai daerah di dataran rendah, warga akan berusaha mengamankan diri ke daerah yang lebih tinggi, yakni di daerah utara.
Walau berada di pesisir pantai, pihaknya mengklaim Ketewel “dilindungi” Pulau Nusa Penida. “Bali ada pulau Nusa Penida yang menghalangi terjangan arus dan ombak samudera Hindia itu, namun kita harus tetap antisipasi tanda-tanda alam,” jelasnya.
Hal senada dikatakan Perbekel Desa Keramas, Gusti Putu Sarjana, yang daerahnya juga masuk list bahaya tsunami.
Pihaknya mengaku belum memperoleh informasi menganai potensi bahaya semacam itu. “Kalau seperti itu, sebaiknya diadakan simulasi bencana, supaya masyarakat lebih waspada,” ujarnya.
Sejauh ini, pihaknya mengandalkan media sosial (medsos) maupun informasi dari pusat bencana untuk mengetahui situasi alam.
“Selama ini, kami ikuti saja apa yang ada di medsos. Tapi untuk kebencanaan masyarakat kami dari dulu kan sudah tahu soal tsunami,” jelasnya.
Apabila ada ciri-ciri tsunami, pihaknya akan menjauh dari pantai. “Kami ikuti rambu papan evakuasi. Di daerah kami papan evakuasi masih bagus,” tukasnya.
Sebelumnya, Badan Penangulangan Bencana Daerah Kabupaten Gianyar pernah melangsungkan simulasi bencana tsunami pada 29 Juli 2018 lalu.
Simulasi di Pantai Siyut, Desa Tulikup, itu melibatkan warga setempat, TNI, Polri. Sebagai kabupaten yang memiliki pesisir pantai, Kabupaten Klungkung juga tercatat memiliki belasan desa yang tergolong rawan bencana tsunami.
Oleh karena itu berbagai langkah antisipasi telah dilakukan untuk menekan jatuhnya korban jiwa jika sewaktu-waktu bencana itu terjadi.
Kepala Pelaksana BPBD Klungkung, Putu Widiada mengungkapkan ada sebanyak 18 desa yang termasuk rawan bencana tsunami.
Desa Negari, Takmung, Satra, Jumpai, Tangkas, Gelgel, dan Tojan. Di Kecamatan Dawan, ada Desa Gunaksa, Kusamba, Kampung Kusamba, dan Pesinggahan.
“Untuk Kecamatan Nusa Penida, yang termasuk desa rawan bencana ada Desa Lembongan, Jungutbatu, Kampung Toya Pakeh, Ped, Kutampi Kaler, Batununggul, dan Suana,” bebernya.
Atas kondisi itu, pihaknya mengaku sudah melakukan sosialisasi, membuat peta jalur evakuasi dan memasang rambu evakuasi.
Hanya saja belum semua desa telah dibuatkan peta jalur evakuasi dan rambu evakuasi. Adapun saat ini ada empat desa yang belum dibuatkan peta jalur evakuasinya, yaitu Desa Satra, Kusamba, Kampung Kusamba, dan Pesinggahan.
Sementara desa yang belum dipasang rambu evakuasi adalah Desa Satra, Tojan, Batununggul, Suana, Gunaksa, Kampung Kusamba, Pesinggahan.
“Pembuatan peta jalur evakuasi dan rambu evakuasi ini, kami lakukan secara bertahap sejak tahun 2015. Tahun ini kami telah menganggarkan tiga desa untuk dibuatkan peta jalur evakuasinya,” katanya.
Perbekel Desa Jumpai, I Wayan Sudiarna membenarkan jika warga Desa Jumpai telah mendapat sosialisasi berkaitan dengan status desanya yang termasuk sebagai desa rawan bencana tsunami.
Pihak desa pun telah menindaklanjuti hal tersebut dengan membentuk Kelompok Masyarakat Penanggulangan Bencana (KMPB).
KMPB ini terdiri dari satuan Linmas, kader desa, puskesmas pembantu, PKK, dan klian banjar. “KMPB yang berjumlah 42 orang ini sudah pernah di latih dan sekaligus
simulasi tentang masalah bencana tsunami yang tentunya menjadi hal yang bisa mengancam keselamatan kami di Desa Jumpai,” ujarnya.
Mengenai aturan khusus yang berkaitan dengan pembangunan fisik bangunan, selaku pemerintah desa belum bisa mengambil kebijakan untuk itu.
Di samping karena kendala dana, juga masalah lahan. “Untuk rambu jalur evakuasi hingga saat ini masih berdiri dengan baik,” tandasnya.
Salah seorang warga Desa Jumpai, Wijaya mengaku mengetahui jika desanya termasuk desa yang rawan bencana tsunami. Sosialisasi pernah ia ikuti kala itu.
Namun, menurutnya, sampai saat ini tidak ada persiapan khusus yang ia lakukan sebagai langkah antisipasi jika sewaktu-watu bencana itu datang.
“Warga di sini yakin bahwa Desa Jumpai dilindungi. Sehingga tidak ada persiapan khusus untuk menghadapi bencana itu. Kami berserah saja.
Walau tsunami akhir-akhir ini menjadi perbincangan, kami tidak ada rasa khawatir,” tandas Wijaya.