29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 8:54 AM WIB

Nyaagang, Ritual Penghormatan Roh Tetap Ajeg di Gelgel Klungkung

SEMARAPURA – Perayaan Hari Raya Kuningan di Klungkung kali ini sedikit beda dari sebelumnya. Pandemi Covid 19 merubah beberapa tatanan termasuk sembahyang saat Kuningan.

Kalau sebelumnya sembahyang bersama juga dengan bersilaturahmi dengan keluarga dan kerabat, namun perayaan kali ini lebih banyak dilakukan sendiri bersama keluarga.

Persembahyangan juga dilakukan dengan melaksanakan protokol kesehatan yang ketat. Di antaranya adalah melaksanakan sosial distancing dengan menghindari kerumunan.

Namun, satu yang tidak banyak berubah yakni tradisi Nyaagang. Tradisi ini tetap dilaksanakan di Klungkung. Bahkan pelaksanya menjadi lebih khusyuk karena dilakukan secara pribadi di masing masing keluarga.

Sehingga tidak ada hambatan untuk melaksanakan. Cukup  dengan protokol kesehatan seperti menggunakan masker.

Karena untuk sosial distancing sendiri sudah secara otomatis dilakukan karena tidak harus berkumpul banyak orang.

Tradisi Nyaagang sendiri di Klungkung masih ajeg dilaksanakan utamanya di Desa adat Gelgel dan sekitarnya. Ritual ini sendiri merupakan penghormatan kepada sang Pitara atau roh leluhur.

Ritual Nyaagang ini adalah mengantar pulang sang roh ke alam keabadian. Di mana roh leluhur tersebut diyakini datang mengunjungi kerabatnya saat Galungan dan Kuningan.

Bahkan, sang roh bersama sama merayakan hari besar tersebut. Saat selesai upacara besar Galungan dan Kuningan sang Pitara pun diantar untuk menuju Sorga.

Tradisi mengantar sang Roh tersebut lebih dikenal dengan Nyaagang yang dilakukan saat hari raya Kuningan. Pelaksaan ini dilakukan tidak boleh lewat siang hari atau menjelang siang hari.

Sarana Nyaagang berupa sesajen dari jajanan matang dan juga mentah lengkap dengan sesajen. Ini juga sebagai wujud perpisahan sang roh dengan kerabatnya yang masih ada di alam fana.

Tradisi ini sudah dilakukan secara turun temurun dan masih dilaksanakan sampai saat ini. “Ritual ini sebagai bentuk penghormatan kepada roh leluhur,” ujar warga Klungkung, I Ketut Sugiana.

 Diyakini kalau sang roh tersebut sudah datang dari alam Nirwana sejak Sugian Jawa dan Bali. Puncak para roh tersebut berada di alam ini saat Hari Raya Galungan lalu.

Setelah selama 16 hari mengunjungi keluarganya saat Kuningan adalah saat mereka berpisah. Kerabat yang ada di alam dunia ini kembali fokus untuk melanjutkan kehidupan, begitu juga sang roh kembali ke alamnya.

Tradisi ini, menurut pemerhati lontar asal Klungkung Ketut Soma Budayawan, sudah mendarah daging di Klungkung. Utamanya adalah di Desa Pakraman Klungkung, Gelgel dan sekitarnya.

Perayaan ini juga sekaligus sebagai akhir perayaan Galungan dan Kuningan. Doa serta harapan masyarakat saat ini dalam kondisi Covid agar dianugerahkan kekuatan dan kesembuhan serta alam semesta terhindar dari virus corona.

Perayaan kemanangan dharma melawan adharma ini diawali dengan penyekeban kemudian Sugian Jawa dan Bali, penampahan Galungan, Puncak Galungan, Manis Galungan.

Kemudian Penampahan Kuningan, hari raya Kuningan sebagai akhir dari perayaan Galungan. Di mana sebagai wujud persembahyan dan bakti kepada leluhur selama Galungan dan Kuningan

warga Bali di masing masing sanggah atau merajan atau Bale Bali mereka menggelar sodaan (sesaji khusus dari buah buahan dan jajanan, red).

Sesaji ini juga sebagai persembahan buat roh leluhur yang datang mengunjungi kerabatnya saat hari raya Galungan dan Kuningan.

Sementara Nyaagang sendiri dilakukan di pemesu atau depan rumah. Ini juga sebagai wujud kalau keluarga mereka mengantar sampai di pintu rumah.

Selain sebagai perpisahan sodaan saat Nyaagang juga untuk bekal sang Pitara pulang ke alam sana.

Sementara itu, pemangku Pura Pejenengan Banjar Jelantik Kuribatu, Desa Tojan, Jro Mangku Andi,  mengatakan, tradisi ini memang tidak tersurat dalam lontar.

Namun, sudah dilaksanakan secara turun temurun utamanya di Desa adat Gelgel dan sekitarnya yang juga sebagai salah satu desa tua di Bali.

Sejak kapan ritual ini dikenal juga tidak diketahui pasti. Namun demikian diyakini kalau ritual tersebut sudah ada sejak ratusan tahun lalu.

Dengan kembalinya sang Roh  ke alam Nirwana juga kembali merasakan kedamaian disana begitu juga dengan kerabatnya yang masih hidup.

Keluarga yang masih hidup juga bisa hidup rukun dan damai serta bahagia dengan dianugrahkan kesehatan dan kebahagian.

SEMARAPURA – Perayaan Hari Raya Kuningan di Klungkung kali ini sedikit beda dari sebelumnya. Pandemi Covid 19 merubah beberapa tatanan termasuk sembahyang saat Kuningan.

Kalau sebelumnya sembahyang bersama juga dengan bersilaturahmi dengan keluarga dan kerabat, namun perayaan kali ini lebih banyak dilakukan sendiri bersama keluarga.

Persembahyangan juga dilakukan dengan melaksanakan protokol kesehatan yang ketat. Di antaranya adalah melaksanakan sosial distancing dengan menghindari kerumunan.

Namun, satu yang tidak banyak berubah yakni tradisi Nyaagang. Tradisi ini tetap dilaksanakan di Klungkung. Bahkan pelaksanya menjadi lebih khusyuk karena dilakukan secara pribadi di masing masing keluarga.

Sehingga tidak ada hambatan untuk melaksanakan. Cukup  dengan protokol kesehatan seperti menggunakan masker.

Karena untuk sosial distancing sendiri sudah secara otomatis dilakukan karena tidak harus berkumpul banyak orang.

Tradisi Nyaagang sendiri di Klungkung masih ajeg dilaksanakan utamanya di Desa adat Gelgel dan sekitarnya. Ritual ini sendiri merupakan penghormatan kepada sang Pitara atau roh leluhur.

Ritual Nyaagang ini adalah mengantar pulang sang roh ke alam keabadian. Di mana roh leluhur tersebut diyakini datang mengunjungi kerabatnya saat Galungan dan Kuningan.

Bahkan, sang roh bersama sama merayakan hari besar tersebut. Saat selesai upacara besar Galungan dan Kuningan sang Pitara pun diantar untuk menuju Sorga.

Tradisi mengantar sang Roh tersebut lebih dikenal dengan Nyaagang yang dilakukan saat hari raya Kuningan. Pelaksaan ini dilakukan tidak boleh lewat siang hari atau menjelang siang hari.

Sarana Nyaagang berupa sesajen dari jajanan matang dan juga mentah lengkap dengan sesajen. Ini juga sebagai wujud perpisahan sang roh dengan kerabatnya yang masih ada di alam fana.

Tradisi ini sudah dilakukan secara turun temurun dan masih dilaksanakan sampai saat ini. “Ritual ini sebagai bentuk penghormatan kepada roh leluhur,” ujar warga Klungkung, I Ketut Sugiana.

 Diyakini kalau sang roh tersebut sudah datang dari alam Nirwana sejak Sugian Jawa dan Bali. Puncak para roh tersebut berada di alam ini saat Hari Raya Galungan lalu.

Setelah selama 16 hari mengunjungi keluarganya saat Kuningan adalah saat mereka berpisah. Kerabat yang ada di alam dunia ini kembali fokus untuk melanjutkan kehidupan, begitu juga sang roh kembali ke alamnya.

Tradisi ini, menurut pemerhati lontar asal Klungkung Ketut Soma Budayawan, sudah mendarah daging di Klungkung. Utamanya adalah di Desa Pakraman Klungkung, Gelgel dan sekitarnya.

Perayaan ini juga sekaligus sebagai akhir perayaan Galungan dan Kuningan. Doa serta harapan masyarakat saat ini dalam kondisi Covid agar dianugerahkan kekuatan dan kesembuhan serta alam semesta terhindar dari virus corona.

Perayaan kemanangan dharma melawan adharma ini diawali dengan penyekeban kemudian Sugian Jawa dan Bali, penampahan Galungan, Puncak Galungan, Manis Galungan.

Kemudian Penampahan Kuningan, hari raya Kuningan sebagai akhir dari perayaan Galungan. Di mana sebagai wujud persembahyan dan bakti kepada leluhur selama Galungan dan Kuningan

warga Bali di masing masing sanggah atau merajan atau Bale Bali mereka menggelar sodaan (sesaji khusus dari buah buahan dan jajanan, red).

Sesaji ini juga sebagai persembahan buat roh leluhur yang datang mengunjungi kerabatnya saat hari raya Galungan dan Kuningan.

Sementara Nyaagang sendiri dilakukan di pemesu atau depan rumah. Ini juga sebagai wujud kalau keluarga mereka mengantar sampai di pintu rumah.

Selain sebagai perpisahan sodaan saat Nyaagang juga untuk bekal sang Pitara pulang ke alam sana.

Sementara itu, pemangku Pura Pejenengan Banjar Jelantik Kuribatu, Desa Tojan, Jro Mangku Andi,  mengatakan, tradisi ini memang tidak tersurat dalam lontar.

Namun, sudah dilaksanakan secara turun temurun utamanya di Desa adat Gelgel dan sekitarnya yang juga sebagai salah satu desa tua di Bali.

Sejak kapan ritual ini dikenal juga tidak diketahui pasti. Namun demikian diyakini kalau ritual tersebut sudah ada sejak ratusan tahun lalu.

Dengan kembalinya sang Roh  ke alam Nirwana juga kembali merasakan kedamaian disana begitu juga dengan kerabatnya yang masih hidup.

Keluarga yang masih hidup juga bisa hidup rukun dan damai serta bahagia dengan dianugrahkan kesehatan dan kebahagian.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/