SINGARAJA – Sebanyak 225 orang siswa lulusan sekolah dasar di Kabupaten Buleleng, diduga tak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Alias mengalami drop out.
Kini Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Buleleng masih melakukan penelusuran, untuk memastikan apakah siswa tersebut memang benar DO atau menempuh pendidikan di lembaga lain.
Data yang dihimpun Jawa Pos Radar Bali, tercatat ada 11.911 orang siswa SD yang lulus pada tahun ajaran 2019-2020.
Namun, dalam data penerimaan siswa baru, hanya ada 11.766 orang siswa. Sehingga ada selisih sebanyak 225 orang siswa.
Data itu pun sudah hasil penyisiran. Disdikpora Buleleng melakukan penyisiran Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) dalam Data Pokok Pendidkan (Dapodik).
“Hasilnya ada 225 orang siswa ini yang tidak kami temukan datanya dalam Dapodik. Sehingga ada indikasi bahwa siswa ini tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Disdikpora Buleleng Made Astika.
Lebih lanjut Astika mengatakan, pihaknya masih melakukan penyisiran lebih lanjut terhadap data tersebut. Sebab bisa saja ada siswa yang melanjutkan pendidikan ke lembaga pendidikan agama.
“Siswa kita kan tiap tahun ada yang memilih melanjutkan ke pondok pesantren. Kalau masuk pondok pesantren, memang tidak kelihatan di Dapodik. Ini yang sedang kami lakukan penyisiran,” jelas Astika.
Bila melihat data tersebut, Astika menyebut hanya ada 1,8 persen siswa yang terindikasi DO. Pihaknya juga sudah sempat melakukan penelusuran secara acak di Kecamatan Gerokgak.
Hasilnya ditemukan 6 orang siswa di Desa Tinga-Tinga yang tak melanjutkan pendidikan. Dari 6 orang siswa itu, sebanyak 2 orang siswa memutuskan tidak melanjutkan karena masalah ekonomi.
erhadap siswa-siswa itu, Disdikpora berjanji akan memberikan bantuan pakaian dan sepatu. Termasuk bantuan transportasi ke SMP terdekat. Selain itu desa juga mengupayakan bantuan beasiswa kepada siswa tersebut.
Sementara 4 orang lainnya, memilih tak bersekolah karena enggan melanjutkan pendidikan. “Untuk siswa yang tidak mau melanjutkan ini, kami lakukan pendekatan dengan pola pendidikan keluarga.
Kami terus edukasi, kami juga minta bantuan dengan tokoh setempat, dengan keluarganya juga, mendorong biar anak ini mau sekolah.
Kalau memang tidak mau di pendidikan formal, kami bisa fasilitasi ke program kejar paket B. Tapi tetap kami upayakan mereka bisa masuk sekolah formal dulu, karena masih cukup umur,” tukas Astika.