NEGARA – Banjir bandang yang terjadi di sungai Biluk Poh, Mendoyo membuat banyak warga setempat harus mengungsi karena rumahnya rusak, bahkan ada yang hilang disapu air bah.
Mereka yang secara ekonomi cukup mampu mungkin bisa kembali membangun rumahnya. Namun, bagi yang tidak mampu, bahkan didera sakit, dipastikan tidak bisa berbuat banyak.
Seperti yang dialami dua lansia miskin di Desa Penyaringan Mendoyo, yakni Nyoman Neri, 75, dan Nyoman MInta, 68.
Rumah Nyoman Neri yang berada di pinggir pantai Banjar Anyar Kelod, Penyaringan, saat banjir bandang yang terjadi pada Sabtu (22/13) malam lalu, hanyut digerus air bah.
Rumah bantuan CSR dari salah satu bank itu lenyap tidak berbekas. “Saya tidak bisa apa-apa lagi. Rumah saya hilang terbawa banjir,” ujar Neri menahan sedih kemarin (28/12).
Nyoman Neri yang badannya kurus dan menderita lumpuh usai tertimpa pohon pisang beberapa tahun lalu menuturkan, saat banjir bandang terjadi, dirinya sedang tidak ada dirumah.
Dia menumpang di rumah keluarganya pasca menjalani rawat inap karena tidak bisa berjalan. ”Syukur saat kejadian saya tidak ada di rumah itu sehingga saya selamat.
Kalau saya dirumah itu mungkin saya ikut hanyut,” ungkapnya. Selain Neri, saat banjir bandang terjadi anaknya yang mengalami gangguan jiwa juga mengungsi ke rumah kerabatnya sehingga keluarga miskin itu tidak ada yang menjadi korban.
Selain rumah Neri, rumah anakn tirinya yang berada di sebelah barat rumahnya juga hanyut tergerus banjir bandang.
Karena rumahnya hanyut kelaut anak tiri Neri dan keluarganya saat ini terpaksa ngungsi ke keluarganya Banjar Munduk.
“Saya lumpuh dan sudah tidak bisa bangun lagi. Untuk memegang gelas saja tidak bisa. Bersyukur ada kerabat yang baik mau menampung dan merawat saya. Saya berharap ada bantuan,” ungkapnya.
Sementara Nyoman Minta yang rumahnya di pinggir sungai Biluk Poh yang diterjang banjir bandang hanyur lalu tenggelam.
Untuk saat ini Minta terpaksa tinggal di posko pengungsian. “Saya bingung sekarang karena rumah saya hilang. Saya tidak punya apa-apa lagi,” ujarnya.
Minta yang sehari-hari bekerja sebagai pengupas kelapa dengan penghasilan tidak menentu ini mengatakan saat musibah terjadi dirinya bersama keluarganya pergi sembahyang ke Karangasem.
Sementara Suarni, istrinya yang sudah lama mengalami gangguan jiwa dititp dirumah mertuanya. “Saya tahu rumah saya hanyut setelah anak saya ditelpon tetangga kalau ada banjir bandang.
Saat itu rumah kosong dan istri saya dititip di rumah mertua. Saya tidak ikut tinggal di sana karena tidak enak. Tetapi saya terus menengoknya.,” terangnya.