SINGARAJA – Inspeksi mendadak (sidak) tim Pembinaan dan Pengawasan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) di PLTU Celukan Bawang, Rabu (31/100 bocor.
Dugaan bocornya sidang yang dilakukan Kemenakretrans dan Disnaker Buleleng terkait keberadaan tenaga asing di PLTU celukan bawang, karena pihak PLTU seperti sudah siap-siap. Selain tak menemukan kekeliruan, tim juga langsung disodorkan sejumlah dokumen.
Tim Pengawas dari Kemenakertrans yang hadir pada sidak terdiri dari M. Riski Nasution dan Afriyulidianto. Mereka didampingi Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Buleleng Ni Made Dwi Priyanti.
Saat itu tim mendatangi sejumlah perusahaan yang beroperasi di dalam PLTU Celukan Bawang.
Diantaranya China Huadian Operating Cooperation (CHDOC), PT. General Energy Bali (GEB), PT. Cipta Pesona, dan PT. Victroy Hutama Karya.
Dari empat perusahaan itu, hanya dua perusahaan yang mempekerjakan naker asing.
Masing-masing PT. GEB sebanyak sepuluh orang yang bekerja pada posisi manajemen, serta CHDOC yang mempekerjakan 142 orang naker dengan posisi teknisi hingga manajemen.
Tak yakin dengan kondisi itu, tim mengecek langsung ke sejumlah lokasi.
Baik itu perkantoran, gedung operasional, hingga ke mess pegawai serta kantin.
“Jumlah naker asingnya sama dengan yang dilaporkan. Saat kami datang, sudah disiapkan semua dokumennya,” kata Kadisnaker Dwi Priyanti, didampingi Sekretaris Disnaker Dewa Putu Susrama, Rabu (31/10).
Menurut Dwi tidak ada permasalahan yang muncul.
Pihak perusahaan hanya mengeluhkan mekanisme wajib lapor perusahaan, yang dianggap tersumbat.
Kini perusahaan harus melapor ke Disnaker Provinsi.
Pelaporan itu memakan waktu dan biaya yang tak sedikit. Sementara pelaporan sistem online tidak optimal, sehingga perusahaan memilih melapor secara manual.
Pihak Disnaker hanya menyoroti masalah keamanan, kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di lingkungan perusahaan.
Pihak PLTU dianggap belum memiliki komitmen yang cukup dalam mencegah terjadinya kecelakaan kerja.
Meski telah memasang rambu-rambu peringatan, namun rambu itu tertulis dalam bahasa mandarin. Sehingga sulit dipahami tenaga kerja yang berasal dari Indonesia.
“Itu kan daerah yang berbahaya. Kalau ada rambu-rambu, tolong jangan hanya Bahasa Mandarin. Harus diisi Bahasa Indonesia juga.
Karena pekerja yang banyak di sana kan bukan orang Tiongkok saja, tapi juga orang-orang kita,” kata Dwi.