28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 6:04 AM WIB

Dicap Separatis, AMP: Tidak Seberapa dengan Apa yang Kami Perjuangkan

DENPASAR – Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Bali, mendatangi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Denpasar, Selasa (7/7) siang.

Mereka melakukan audiensi sekaligus menggelar konferensi pers meluruskan kronologi pembubaran aksi damai yang mereka gelar di Renon, Denpasar, Senin (6/7) kemarin.

Dimana di dalam aksi damai itu, sebanyak sekitar 25 peserta aksi disemprot menggunakan water Canon oleh polisi agar mereka membubarkan aksi damai tersebut. 

Tindakan polisi ini dianggap berlebihan oleh pihak AMP. Anggota AMP Sanchez menjelaskan, bahwa aksi yang dilakukannya bersama kawannya yang lain saat itu sudah memenuhi aturan.

Mereka sudah mengirimkan surat pemberitahuan baik ke Polsek Denpasar Timur maupun ke Polresta Denpasar.

Bahkan dalam melakukan aksi di lapangan, dia dan kawan-kawan ya menjaga jarak mengikuti protokol Covid-19. 

Namun sejak awal aksi dimulai, pihak kepolisian dianggap mulai melakukan tindakan represif secara berlebihan. Ada beberapa anggota polisi yang merampas paksa poster dan selebaran yang dibawa oleh massa.

Untuk diketahui, saat itu anak-anak AMP menggelar aksi damai dalam rangka memperingati Tragedi Biak Berdarah yang kini memasuki tahun ke 22.

Hingga kini kasusnya dianggap belum terselesaikan oleh Indonesia. Padahal, kejadian itu menelan ratusan korban jiwa dari masyarkat Papua. 

“Kami sudah memberikan surat pemberitahuan. Tetapi sekitar satu jam aksi berlangsung, spanduk yang kami bawa dirampas. Dan tiba-tiba kami dan kawan-kawan yang lain disemprot

menggunakan water Canon. Banyak kawan-kawan kami yang terlempar karena curahan airnya sangat deras,” katanya dalam konferensi pers tersebut. 

Sementara itu, Jeeno selaku Ketua AMP Komite Kota Bali, menerangkan bahwa dari awal rencana aksi, dia dan kawan-kawannya sudah dipersulit.

Dia juga mengkritisi sikap banyak pihak yang selalu memberi cap bahwa dia dan teman-temannya adalah kaum separatis. 

“Kami dari awal dibatasi. Mulai dari saat kami menyerahkan surat, kami dicap separatis. Kalau nggak dibenturkan dengan polisi,

berarti kami dibenturkan  dengan ormas kalau aksi (demo). Seperti beberapa waktu lalu. Kami selalu dicap separatis,” tutur Jeeno. 

Menurut dia bahwa tindakan berlebihan yang dilakukan oleh aparat saat membubarkan aksi tersebut bukanlah apa-apa.

Penyemprotan water Canon dan aksi keras yang dilakukan oleh polisi saat membubarkan aksi itu tidak sepadan dengan apa yang diperjuangkannya AMP.

“Kami disiram pakai water Canon itu tidak seberapa dengan apa yang kami perjuangkan. Kasus pelanggaran HAM seperti peristiwa Biak Berdarah ini

merupakan kejahatan kemanusiaan yang serius. Ratusan masyarakat Papua mati. Bahkan mayatnya bergelimpangan dimana-mana,” tandasnya. 

DENPASAR – Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Bali, mendatangi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Denpasar, Selasa (7/7) siang.

Mereka melakukan audiensi sekaligus menggelar konferensi pers meluruskan kronologi pembubaran aksi damai yang mereka gelar di Renon, Denpasar, Senin (6/7) kemarin.

Dimana di dalam aksi damai itu, sebanyak sekitar 25 peserta aksi disemprot menggunakan water Canon oleh polisi agar mereka membubarkan aksi damai tersebut. 

Tindakan polisi ini dianggap berlebihan oleh pihak AMP. Anggota AMP Sanchez menjelaskan, bahwa aksi yang dilakukannya bersama kawannya yang lain saat itu sudah memenuhi aturan.

Mereka sudah mengirimkan surat pemberitahuan baik ke Polsek Denpasar Timur maupun ke Polresta Denpasar.

Bahkan dalam melakukan aksi di lapangan, dia dan kawan-kawan ya menjaga jarak mengikuti protokol Covid-19. 

Namun sejak awal aksi dimulai, pihak kepolisian dianggap mulai melakukan tindakan represif secara berlebihan. Ada beberapa anggota polisi yang merampas paksa poster dan selebaran yang dibawa oleh massa.

Untuk diketahui, saat itu anak-anak AMP menggelar aksi damai dalam rangka memperingati Tragedi Biak Berdarah yang kini memasuki tahun ke 22.

Hingga kini kasusnya dianggap belum terselesaikan oleh Indonesia. Padahal, kejadian itu menelan ratusan korban jiwa dari masyarkat Papua. 

“Kami sudah memberikan surat pemberitahuan. Tetapi sekitar satu jam aksi berlangsung, spanduk yang kami bawa dirampas. Dan tiba-tiba kami dan kawan-kawan yang lain disemprot

menggunakan water Canon. Banyak kawan-kawan kami yang terlempar karena curahan airnya sangat deras,” katanya dalam konferensi pers tersebut. 

Sementara itu, Jeeno selaku Ketua AMP Komite Kota Bali, menerangkan bahwa dari awal rencana aksi, dia dan kawan-kawannya sudah dipersulit.

Dia juga mengkritisi sikap banyak pihak yang selalu memberi cap bahwa dia dan teman-temannya adalah kaum separatis. 

“Kami dari awal dibatasi. Mulai dari saat kami menyerahkan surat, kami dicap separatis. Kalau nggak dibenturkan dengan polisi,

berarti kami dibenturkan  dengan ormas kalau aksi (demo). Seperti beberapa waktu lalu. Kami selalu dicap separatis,” tutur Jeeno. 

Menurut dia bahwa tindakan berlebihan yang dilakukan oleh aparat saat membubarkan aksi tersebut bukanlah apa-apa.

Penyemprotan water Canon dan aksi keras yang dilakukan oleh polisi saat membubarkan aksi itu tidak sepadan dengan apa yang diperjuangkannya AMP.

“Kami disiram pakai water Canon itu tidak seberapa dengan apa yang kami perjuangkan. Kasus pelanggaran HAM seperti peristiwa Biak Berdarah ini

merupakan kejahatan kemanusiaan yang serius. Ratusan masyarakat Papua mati. Bahkan mayatnya bergelimpangan dimana-mana,” tandasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/