31.1 C
Jakarta
30 April 2024, 9:44 AM WIB

Alamak, Rabies di Bali Merajalela, Dinkes Salahkan Masyarakat

DENPASAR – Rabies kembali makan korban. Seorang warga Desa Panji, Buleleng, meninggal karena rabies.

Menanggapi persoalan rabies yang kejadiannya kian menyebar di Bali, Kadis Kesehatan Provinsi Bali, dr. Ketut Suarjaya mengaku perlu kerjasama antara pihak, termasuk masyarakat.

Menurut dr Suarjaya, kasus rabies pada manusia akan sangat sulit dihilangkan bila kasus rabies pada anjing atau hewan penular rabies yang lain tidak bisa dikendalikan.

“Jadi harus bisa dikendalikan di hulunya dulu. Kalau masih ada HPR  (Hewan Penular Rabies) yang positif rabies maka akan sangat sulit menghilangkan rabies pada manusianya,” ujar dr. Suarjaya kepada Jawa Pos Radar Bali.

Kemudian penyebab yang lain adalah ada masyarakat yang cenderung meremehkan kasus GHPR (Gigitan Hewan Penular Rabies) dan disisi lain ada masyarakat yang cenderung panik berlebihan.

“Sebenarnya setiap kasus gigitan kalau mendapatkan tatalaksana sesuai protap kasus kematian akan dapat dikendalikan,” tuturnya.

Lanjutnya, tidak setiap kasus GHPR harus mendapat suntikan VAR. Penggunaan VAR harus sesuai protap, serahkan kepada petugas di rabies center apakah harus di VAR atau tidak.

Yang paling penting yang harus diketahui dan dilakukan oleh masyarakat adalah setiap kasus GHPR harus sampai di rabies center untuk mendapatkan tatalaksana kasus. “Percayakan kepada petugas di rabies center,” harapnya.

Kasus yang terjadi di Buleleng, menurut dokter Suarjaya, karena korban cenderung meremehkan luka gigitan oleh anjingnya sendiri.

“Padahal semua keluarga dan tetanggnya sudah menyarankan korban datang ke puskesmas, tetapi korban menolak dengan alasan lukanya tidak parah,” sebutnya.

Lanjutnya, sebenarnya anjing yang menggigit korban ini juga menggigit 4 orang yang lain. Dan hanya korban yg tidak mau datang ke rabies center sehingga tidak mendapatkan tatalaksana kasus.

Sedangkan 4 korban gigitan yang lain semuanya datang ke rabies center dan oleh petugas di rabies center ke 4 nya mendapatkan VAR secara lengkap.

Kemudian masyarakat juga cenderung tidak mau menginformasikan kasus GHPR ke petugas kesehatan atau petugas peternakan.

“Sehingga kalau petugas tahu kasus ini pasti akan segera ditindaklanjuti dengan mendatangi korban karena disetiap kecamatan sudah ada

tim Takgit (tatalaksana kasus gigitan terpadu) yang terdiri dari petugas puskesmas dan petugas peternakan,” terangnya.

Untuk itu, Dokter Suarjaya menegaskan setiap kasus GHPR harus diperiksakan ke rabies center (RSUD dan puskesmas).

“Kalau semua masyarakat mengetahui dan mau mengikuti anjuran pemerintah ini niscaya kasus kematian krn rabies tidak akan terjadi,” tutupnya. 

DENPASAR – Rabies kembali makan korban. Seorang warga Desa Panji, Buleleng, meninggal karena rabies.

Menanggapi persoalan rabies yang kejadiannya kian menyebar di Bali, Kadis Kesehatan Provinsi Bali, dr. Ketut Suarjaya mengaku perlu kerjasama antara pihak, termasuk masyarakat.

Menurut dr Suarjaya, kasus rabies pada manusia akan sangat sulit dihilangkan bila kasus rabies pada anjing atau hewan penular rabies yang lain tidak bisa dikendalikan.

“Jadi harus bisa dikendalikan di hulunya dulu. Kalau masih ada HPR  (Hewan Penular Rabies) yang positif rabies maka akan sangat sulit menghilangkan rabies pada manusianya,” ujar dr. Suarjaya kepada Jawa Pos Radar Bali.

Kemudian penyebab yang lain adalah ada masyarakat yang cenderung meremehkan kasus GHPR (Gigitan Hewan Penular Rabies) dan disisi lain ada masyarakat yang cenderung panik berlebihan.

“Sebenarnya setiap kasus gigitan kalau mendapatkan tatalaksana sesuai protap kasus kematian akan dapat dikendalikan,” tuturnya.

Lanjutnya, tidak setiap kasus GHPR harus mendapat suntikan VAR. Penggunaan VAR harus sesuai protap, serahkan kepada petugas di rabies center apakah harus di VAR atau tidak.

Yang paling penting yang harus diketahui dan dilakukan oleh masyarakat adalah setiap kasus GHPR harus sampai di rabies center untuk mendapatkan tatalaksana kasus. “Percayakan kepada petugas di rabies center,” harapnya.

Kasus yang terjadi di Buleleng, menurut dokter Suarjaya, karena korban cenderung meremehkan luka gigitan oleh anjingnya sendiri.

“Padahal semua keluarga dan tetanggnya sudah menyarankan korban datang ke puskesmas, tetapi korban menolak dengan alasan lukanya tidak parah,” sebutnya.

Lanjutnya, sebenarnya anjing yang menggigit korban ini juga menggigit 4 orang yang lain. Dan hanya korban yg tidak mau datang ke rabies center sehingga tidak mendapatkan tatalaksana kasus.

Sedangkan 4 korban gigitan yang lain semuanya datang ke rabies center dan oleh petugas di rabies center ke 4 nya mendapatkan VAR secara lengkap.

Kemudian masyarakat juga cenderung tidak mau menginformasikan kasus GHPR ke petugas kesehatan atau petugas peternakan.

“Sehingga kalau petugas tahu kasus ini pasti akan segera ditindaklanjuti dengan mendatangi korban karena disetiap kecamatan sudah ada

tim Takgit (tatalaksana kasus gigitan terpadu) yang terdiri dari petugas puskesmas dan petugas peternakan,” terangnya.

Untuk itu, Dokter Suarjaya menegaskan setiap kasus GHPR harus diperiksakan ke rabies center (RSUD dan puskesmas).

“Kalau semua masyarakat mengetahui dan mau mengikuti anjuran pemerintah ini niscaya kasus kematian krn rabies tidak akan terjadi,” tutupnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/