28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 5:51 AM WIB

Patok Rapid Tes Rp 150 Ribu, Stok Menumpuk, Bali Minta Waktu Sesuaikan

DENPASAR – Harga rapid test yang tak ramah kantong membuat pemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengeluarkan surat edaran (SE) yang mengatur harga tertinggi penarikan biaya tes cepat (rapid test) antibodi.

Dalam SE bernomor HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Rapid Test Antibodi itu, Kemenkes RI mematok tarif termahal sebesar Rp 150 ribu.

Kadis Kesehatan Provinsi Bali dr. Ketut Suarjaya mengatakan, terkait kebijakan baru dari Kemenkes RI, Pemprov Bali meminta waktu untuk melakukan penyesuaian.

“Saya sudah minta kepada pusat agar diberikan waktu untuk kita menyesuaikan, karena sekarang kan harga rapid test di atas itu (Rp 150 ribu) harganya,” kata dr. Suarjaya.

Dirinya menuturkan, harga rapid test saat ini di Bali rata-rata masih berada di harga Rp 220 ribu per satuannya. Bahkan, ada Rp 500 ribu.

Tapi, dr. Suarjaya mengklaim sekarang sudah terjadi penurunan. Jika misalnya fasilitas kesehatan membeli rapid test seharga Rp 220 ribu dan langsung mengikuti kebijakan Kemenkes, maka akan terjadi kerugian.

“Jadi saya minta ke pusat agar kita diberikan waktu semua. Kan seluruh Indonesia ini. Jadi mungkin diberikan waktu dua minggu gitu sehingga bisa menghabiskan stok yang ada,” jelasnya.

Bagi dr. Suarjaya, bagi fasilitas kesehatan pemerintah sendiri sebenarnya tidak bermasalah dengan adanya kebijakan harga rapid test maksimal Rp 150 ribu karena memang dibeli dari anggaran negara dan digunakan untuk screening.

Namun, bagi fasilitas kesehatan swasta yang menerapkan rapid test berbayar tentu bakal mengalami kerugian.

Apalagi mereka yang melakukan rapid test di fasilitas kesehatan swasta biasanya memang melakukan rapid test dengan permintaan sendiri.

“Kalau di pemerintah sih tidak ada masalah, tapi yang di swasta ini yang kadang-kadang kasihan juga,” jelas dr. Suarjaya.

Namun setelah adanya penyesuaian yang akan menyesuaikan dengan membutuhkan waktu satu sampai dua minggu.

Yang jelas, dr. Suarjaya memastikan bahwa pihaknya akan menjalankan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI.

Kadiskes dr. Suarjaya menjelaskan bahwa saat ini produk rapid test sudah tersedia cukup banyak dengan harga bervariasi, namun rata-rata memang berada di Rp 220 ribu.

Namun, ada informasi baru bahwa pemerintah akan membuat rapid test dalam jumlah banyak dengan harga Rp 75 ribu.

Apabila hal itu benar, dr. Suarjaya menilai masuk akal pengenaan biaya rapid test di fasilitas kesehatan maksimal sebesar Rp 150 ribu.

Tapi, saat ini dirinya menilai belum masuk akal, terlebih pemerintah telah mengeluarkan surat edaran namun belum menyiapkan sarana rapid test yang terjangkau.

“Rapid test masih mahal dibeli, sedangkan aturannya dipatok Rp 150 ribu maksimal. Saya tentu sangat setuju kalau harganya

lebih murah atau terjangkau. Tetapi, karena kondisinya seperti itu yang kita mungkin perlu waktu lah untuk penyesuaian,” kata dia.

Dirinya menjelaskan, Pemprov Bali dalam satu hari bisa menghabiskan rapid test antara 3 sampai 4 ribu per hari yang digunakan untuk tracing contact dan di fasilitas kesehatan, baik di puskesmas maupun rumah sakit.

Di sana pasien-pasien yang membutuhkan tindakan terlebih dahulu minimal harus dilakukan rapid test. Selain itu, jika terdapat suatu kasus yang meluas di daerah tertentu, pihaknya juga bakal melakukan rapid test massal.

“Jadi kira-kira antara 3 sampai 4 ribu lah dalam sehari (menghabiskan rapid test-nya),” tutur Suarjaya. 

DENPASAR – Harga rapid test yang tak ramah kantong membuat pemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengeluarkan surat edaran (SE) yang mengatur harga tertinggi penarikan biaya tes cepat (rapid test) antibodi.

Dalam SE bernomor HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Rapid Test Antibodi itu, Kemenkes RI mematok tarif termahal sebesar Rp 150 ribu.

Kadis Kesehatan Provinsi Bali dr. Ketut Suarjaya mengatakan, terkait kebijakan baru dari Kemenkes RI, Pemprov Bali meminta waktu untuk melakukan penyesuaian.

“Saya sudah minta kepada pusat agar diberikan waktu untuk kita menyesuaikan, karena sekarang kan harga rapid test di atas itu (Rp 150 ribu) harganya,” kata dr. Suarjaya.

Dirinya menuturkan, harga rapid test saat ini di Bali rata-rata masih berada di harga Rp 220 ribu per satuannya. Bahkan, ada Rp 500 ribu.

Tapi, dr. Suarjaya mengklaim sekarang sudah terjadi penurunan. Jika misalnya fasilitas kesehatan membeli rapid test seharga Rp 220 ribu dan langsung mengikuti kebijakan Kemenkes, maka akan terjadi kerugian.

“Jadi saya minta ke pusat agar kita diberikan waktu semua. Kan seluruh Indonesia ini. Jadi mungkin diberikan waktu dua minggu gitu sehingga bisa menghabiskan stok yang ada,” jelasnya.

Bagi dr. Suarjaya, bagi fasilitas kesehatan pemerintah sendiri sebenarnya tidak bermasalah dengan adanya kebijakan harga rapid test maksimal Rp 150 ribu karena memang dibeli dari anggaran negara dan digunakan untuk screening.

Namun, bagi fasilitas kesehatan swasta yang menerapkan rapid test berbayar tentu bakal mengalami kerugian.

Apalagi mereka yang melakukan rapid test di fasilitas kesehatan swasta biasanya memang melakukan rapid test dengan permintaan sendiri.

“Kalau di pemerintah sih tidak ada masalah, tapi yang di swasta ini yang kadang-kadang kasihan juga,” jelas dr. Suarjaya.

Namun setelah adanya penyesuaian yang akan menyesuaikan dengan membutuhkan waktu satu sampai dua minggu.

Yang jelas, dr. Suarjaya memastikan bahwa pihaknya akan menjalankan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI.

Kadiskes dr. Suarjaya menjelaskan bahwa saat ini produk rapid test sudah tersedia cukup banyak dengan harga bervariasi, namun rata-rata memang berada di Rp 220 ribu.

Namun, ada informasi baru bahwa pemerintah akan membuat rapid test dalam jumlah banyak dengan harga Rp 75 ribu.

Apabila hal itu benar, dr. Suarjaya menilai masuk akal pengenaan biaya rapid test di fasilitas kesehatan maksimal sebesar Rp 150 ribu.

Tapi, saat ini dirinya menilai belum masuk akal, terlebih pemerintah telah mengeluarkan surat edaran namun belum menyiapkan sarana rapid test yang terjangkau.

“Rapid test masih mahal dibeli, sedangkan aturannya dipatok Rp 150 ribu maksimal. Saya tentu sangat setuju kalau harganya

lebih murah atau terjangkau. Tetapi, karena kondisinya seperti itu yang kita mungkin perlu waktu lah untuk penyesuaian,” kata dia.

Dirinya menjelaskan, Pemprov Bali dalam satu hari bisa menghabiskan rapid test antara 3 sampai 4 ribu per hari yang digunakan untuk tracing contact dan di fasilitas kesehatan, baik di puskesmas maupun rumah sakit.

Di sana pasien-pasien yang membutuhkan tindakan terlebih dahulu minimal harus dilakukan rapid test. Selain itu, jika terdapat suatu kasus yang meluas di daerah tertentu, pihaknya juga bakal melakukan rapid test massal.

“Jadi kira-kira antara 3 sampai 4 ribu lah dalam sehari (menghabiskan rapid test-nya),” tutur Suarjaya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/