29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 1:54 AM WIB

Dibully Netizen Bali Si Beduda Tai Urek, Ngurah Harta Memilih Sabar

DENPASAR – Akun facebook Ketut Riyawan mencuri perhatian seiring pro kontra pelaporan anggota DPD RI Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa atau AWK, Selasa (21/1) ke Polda Bali.

Pasalnya simpatisan Arya Wedakarna alias AWK asal Saba, Blahbatuh, Gianyar itu memberikan ejekan khas kepada

Pinisepuh Perguruan Sandhi Murti Indonesia, I Gusti Agung Ngurah Harta, yakni Si Beduda Tai Urek (kumbang pemakan kotoran).

Pantauan Radarbali.id dalam rentang waktu, Selasa (21/1) kemarin hingga Rabu (22/1) siang, akun Facebook Ketut Riyawan

sebanyak tiga kali membagikan postingan yang menghina aktor utama penentang Rancangan Undang-undang Anti Pornografi Pornoaksi 2008 silam.

Postingan dimaksud antara lain dibagikan di grup medsos Metro Bali. Ditulis dalam Bahasa Bali bercampur Bahasa Indonesia.

Postingan pertama berbunyi. Ne si beduda ajak I pesek ade masalah kekene nyame bali transmigran terus dibunuh. Kel bani ngudiang jani nindihin nyame bali di luar pang sing bani di bali gen!!!.

Pada postingan berikutnya akun facebook Ketut Riyawan membagikan video roadshow AWK di SMA 2 Tabanan yang diposting di Global Bali Dewata dan menulis ejekan serupa. Mau tahu tanggapan si beduda tai urek dan pengikutnya dengan video AWK ini.

Pada Rabu (22/1) akun FB Ketut Riyawan kembali menyebut kelompok yang kontra AWK dengan istilah kaum beduda tai urek.

Tak hanya menghina sosok yang membawa ilmu olah batin dan pernapasan khas Bali ke sejumlah negara Eropa seperti Bulgaria, Belanda,

Rumania, dan Amerika Serikat itu, akun Facebook Ketut Riyawan juga menantang dan mengancam pengguna media sosial lain yang memberikan komentar berseberangan.

Tak main-main, akun Facebook Ketut Riyawan menulis kalimat, “Saya tantang lu mati hidup!! Saya sumpah mati akan hadapi lu!!

Pengguna FB lain yang berpendapat radikalisme di luar (Jawa, red) berbentuk kopar-kapir, dan radikalisme di Bali berbentuk cacian seperti Nak Dauh Tukad,

Nak Dauh Jurang, dan sejenisnya juga diserang akun facebook Ketut Riyawan. “Bedag poleng sing tawang ci!!! Provokator amatiran cai!!” tulisnya.

Menerima cacian sebagai beduda tai urek alias kumbang pemakan kotoran, Ngurah Harta hanya tersenyum.

“Mungkin itu risiko yang harus saya tanggung. Saya ikhlas. Yang pasti sesuai adat istiadat Bali, saya harus menjaga kehormatan pendeta atau sulinggih yang telah didiksa melalui upacara Rsi Yadnya,” ucap Ngurah Harta, Rabu (22/1) siang.

Bila sulinggih (orang suci, red) yang merupakan simbol umat Hindu dihina dan tidak ada perlawanan alias pasif maka hal tersebut akan berdampak buruk bagi tatanan dan tradisi luhur Hindu Bali.

“Penipuan, pemalsuan, penghinaan terhadap tradisi Hindu Bali tidak bisa dibiarkan dan saya siap menanggung risiko atas pilihan ini,” ungkapnya sembari membantah ada motif politik di balik pelaporan AWK.

“Apa untungnya buat saya? Memangnya kalau AWK divonis bersalah oleh pihak berwajib lalu dipenjara saya yang menggantikan?

Tidak sama sekali. Ini demi tradisi luhur Bali dan penghormatan terhadap orang yang kita sucikan,” tegas Ngurah Harta.

Ngurah Harta mengajak masyarakat untuk lebih arif dan bijak bermedia sosial. “Sesuai tradisi luhur pendahulu kita, seseorang tidak boleh memanggil sembarangan dengan panggilan.

Ada sor singgih basa-nya. Bila kami tidak bergerak lalu siapa lagi? Seharusnya saya bisa hidup tenang bersama istri dan anak. Tidak di-bully sebagai kumbang pemakan kotoran.

Tapi, ya, risiko itu saya terima. Tidak masalah saya dibenci atau dicaci oleh 742.781 masyarakat Bali pendukung AWK. Yang penting hal itu demi sebuah kebenaran,” tegasnya.

Menariknya, kepada Radarbali.id, Ngurah Harta menegaskan Raja Majapahit Bali tak hanya AWK. Tiga tahun lalu,

terangnya seorang pedagang keris keturunan Cina mengangkat Raja Majapahit baru yang letaknya di Kecamatan Petang, Badung Utara.

“Saya harap polisi dan lembaga umat bisa bergerak cepat dan sungguh-sungguh agar generasi kita tidak berkhayal muluk-muluk.

Gerakan ini mengacaukan sejarah. Bisa jadi 20 tahun ke depan, anak cucu kita percaya bahwa di Bali ada Raja Majapahit 1, 2, 3, dan seterusnya,” tuturnya.

DENPASAR – Akun facebook Ketut Riyawan mencuri perhatian seiring pro kontra pelaporan anggota DPD RI Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa atau AWK, Selasa (21/1) ke Polda Bali.

Pasalnya simpatisan Arya Wedakarna alias AWK asal Saba, Blahbatuh, Gianyar itu memberikan ejekan khas kepada

Pinisepuh Perguruan Sandhi Murti Indonesia, I Gusti Agung Ngurah Harta, yakni Si Beduda Tai Urek (kumbang pemakan kotoran).

Pantauan Radarbali.id dalam rentang waktu, Selasa (21/1) kemarin hingga Rabu (22/1) siang, akun Facebook Ketut Riyawan

sebanyak tiga kali membagikan postingan yang menghina aktor utama penentang Rancangan Undang-undang Anti Pornografi Pornoaksi 2008 silam.

Postingan dimaksud antara lain dibagikan di grup medsos Metro Bali. Ditulis dalam Bahasa Bali bercampur Bahasa Indonesia.

Postingan pertama berbunyi. Ne si beduda ajak I pesek ade masalah kekene nyame bali transmigran terus dibunuh. Kel bani ngudiang jani nindihin nyame bali di luar pang sing bani di bali gen!!!.

Pada postingan berikutnya akun facebook Ketut Riyawan membagikan video roadshow AWK di SMA 2 Tabanan yang diposting di Global Bali Dewata dan menulis ejekan serupa. Mau tahu tanggapan si beduda tai urek dan pengikutnya dengan video AWK ini.

Pada Rabu (22/1) akun FB Ketut Riyawan kembali menyebut kelompok yang kontra AWK dengan istilah kaum beduda tai urek.

Tak hanya menghina sosok yang membawa ilmu olah batin dan pernapasan khas Bali ke sejumlah negara Eropa seperti Bulgaria, Belanda,

Rumania, dan Amerika Serikat itu, akun Facebook Ketut Riyawan juga menantang dan mengancam pengguna media sosial lain yang memberikan komentar berseberangan.

Tak main-main, akun Facebook Ketut Riyawan menulis kalimat, “Saya tantang lu mati hidup!! Saya sumpah mati akan hadapi lu!!

Pengguna FB lain yang berpendapat radikalisme di luar (Jawa, red) berbentuk kopar-kapir, dan radikalisme di Bali berbentuk cacian seperti Nak Dauh Tukad,

Nak Dauh Jurang, dan sejenisnya juga diserang akun facebook Ketut Riyawan. “Bedag poleng sing tawang ci!!! Provokator amatiran cai!!” tulisnya.

Menerima cacian sebagai beduda tai urek alias kumbang pemakan kotoran, Ngurah Harta hanya tersenyum.

“Mungkin itu risiko yang harus saya tanggung. Saya ikhlas. Yang pasti sesuai adat istiadat Bali, saya harus menjaga kehormatan pendeta atau sulinggih yang telah didiksa melalui upacara Rsi Yadnya,” ucap Ngurah Harta, Rabu (22/1) siang.

Bila sulinggih (orang suci, red) yang merupakan simbol umat Hindu dihina dan tidak ada perlawanan alias pasif maka hal tersebut akan berdampak buruk bagi tatanan dan tradisi luhur Hindu Bali.

“Penipuan, pemalsuan, penghinaan terhadap tradisi Hindu Bali tidak bisa dibiarkan dan saya siap menanggung risiko atas pilihan ini,” ungkapnya sembari membantah ada motif politik di balik pelaporan AWK.

“Apa untungnya buat saya? Memangnya kalau AWK divonis bersalah oleh pihak berwajib lalu dipenjara saya yang menggantikan?

Tidak sama sekali. Ini demi tradisi luhur Bali dan penghormatan terhadap orang yang kita sucikan,” tegas Ngurah Harta.

Ngurah Harta mengajak masyarakat untuk lebih arif dan bijak bermedia sosial. “Sesuai tradisi luhur pendahulu kita, seseorang tidak boleh memanggil sembarangan dengan panggilan.

Ada sor singgih basa-nya. Bila kami tidak bergerak lalu siapa lagi? Seharusnya saya bisa hidup tenang bersama istri dan anak. Tidak di-bully sebagai kumbang pemakan kotoran.

Tapi, ya, risiko itu saya terima. Tidak masalah saya dibenci atau dicaci oleh 742.781 masyarakat Bali pendukung AWK. Yang penting hal itu demi sebuah kebenaran,” tegasnya.

Menariknya, kepada Radarbali.id, Ngurah Harta menegaskan Raja Majapahit Bali tak hanya AWK. Tiga tahun lalu,

terangnya seorang pedagang keris keturunan Cina mengangkat Raja Majapahit baru yang letaknya di Kecamatan Petang, Badung Utara.

“Saya harap polisi dan lembaga umat bisa bergerak cepat dan sungguh-sungguh agar generasi kita tidak berkhayal muluk-muluk.

Gerakan ini mengacaukan sejarah. Bisa jadi 20 tahun ke depan, anak cucu kita percaya bahwa di Bali ada Raja Majapahit 1, 2, 3, dan seterusnya,” tuturnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/