DENPASAR – Sejumlah pihak mulai menguliti isi dari pertemuan G20. Salah satunya adalah terkait pembahasan mengenai transisi energi yang dipastikan gagal. Hal ini pun membuat aktivitis lingkungan geleng-geleng kepala. “Pembahasan transisi energi di G20, dipastikan gagal,” ujar Suriadi Darmoko, Finance Campaigner 350 Indonesia saat diskusi publik yang dibuat 350 Indonesia dan AEER pada pembukaan Festival Demokrasi Energi pada Sabtu (24/9/2022).
Pasalnya, Pertemuan tingkat menteri negara-negara G20 untuk isu transisi energi tidak mencapai Komunike alias gagal. Rangkaian panjang pertemuan yang hanya menghasilkan chair’s summary dan kesepakatan Bali COMPACT yang pelaksanaan bersifat sukarela.
“Atas hal tersebut, menurut saya upaya untuk melakukan transisi energi sebagai upaya untuk memenuhi kesepakatan paris, itu gagal. Transisi Energi di G20, Gagal,” tegas Moko, berkali-kali.
Diketahui, salah satu isu prioritas pada G20 adalah transisi energi berkelanjutan dengan kelompok kerja dibawahnya energy transition, environment and climate sustainability. Isu tersebut mengarah kepada tujuan bersama, yakni untuk mencapai Kesepakatan Paris, membatasi kenaikan suhu global sampai di angka 1,5º Celsius tingkat pra industri.
Pada isu tersebut telah dilaksanakan sidang Energy Transitions Ministerial Meeting (ETMM) yang puncaknya gagal mencapai komunike atau pernyataan komitmen bersama. Proses panjang dalam kelompok kerja energy transition, environment and climate sustainability hanya melahirkan chair’s summary dan Bali COMPACT yang pelaksanaannya bersifat sukarela.
Jika hal tersebut disepakati pada KTT G20, tidak ada tanggung jawab apapun dari negara-negara G20 menjalankan kesepakatan tersebut. Padahal, lanjut Suriadi Darmoko, 75 persen permintaan energi dunia berasal dari negara G20. “Artinya krisis iklim yang terjadi saat ini terjadi karena ulah negara-negara G20. Meski sebagai sumber dari krisis iklim,” ujarnya.
Urgensi menangani krisis iklim seperti tidak menjadi prioritas dalam G20. Kesukarelaan negara-negara G20 ini, lanjutnya, hanya menjauhkan kita untuk mencapai tujuan bersama yang tertuang dalam Kesepakatan Paris. “Negara G7 dan juga G20 tidak ada kemauan politik untuk transisi ke 100 persen energi terbarukan, Justru yang menguat adalah narasi energi bersih yang telah ditunggangi oleh solusi-solusi palsu dari energi fosil” ujarnya.
Kritik terhadap pengadaan energi yang sentralistik mendapatkan kritik dari Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER). menurutnya , kebijakan energi saat ini sangat top down. “Kebijakan energi kita tidak melibatkan partisipasi masyarakat sipil,” kata Pius Ginting.
Dunia saat ini tengah berupaya untuk mengatasi persoalan perubahan iklim dengan melakukan transisi energi fosil ke energi terbarukan. “Pemahaman, perencanaan dan penggunaan energi sangat penting untuk setiap upaya mengatasi perubahan iklim dan menciptakan masa depan yang berkelanjutan, adil, dan tangguh. Diperlukan perluasan penyebaran sumber-sumber terbarukan dan terdistribusi. Sehingga, muncul konsep demokrasi energi yang juga mencerminkan tumbuhnya kesadaran politik akan tata kelola energi dan kebijakan iklim,” sebutnya.
Saat ini, kebijakan listrik contohnya, rencana umum pengadaan tenaga listrik (RUPTL) yang masih mengakomodir pendirian PLTU baru saat Indonesia hanya 8 tahun menuju puncak emisi tahun 2030. Pembangunan pembangkit energi berbasis fosil ini sangat sentralistik. “Akibat kebijakan energi yang tidak demokratis ini, persiapan transisi berkeadilan tidak terwujud, seperti persiapan alih lapangan kerja dari energi fosil, percepatan penyediaan energi terbarukan dalam cukup besar,” ungkapnya. (i wayan widyantara/rid)