25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 6:05 AM WIB

Ngejot: Wujud Toleransi Hindu dan Kristen di Piling Tabanan Bali

Di Banjar Piling Kanginan, umat Kristen dan Hindu hidup bersama. Ketika peringatan hari raya keagamaan masing-masing, mereka berbagi makanan. Istilahnya ngejot. Seperti saat menjelang Hari Raya Galungan, warga Hindu ngejot (berbagi) makanan kepada warga yang beragama Kristen.    

JULIADI, Tabanan 

 

WARGA Banjar Piling Kanginan, Desa Mengesta, Kecamatan Penebel, Tabanan, sudah sibuk berkegiatan sejak pagi, Selasa (13/4). Warga pria di desa tersebut tengah sibuk mempersiapkan ataupun mengolah bahan makanan terutama daging babi.

 

Sedangkan warga wanita tengah sibuk metanding (menyiapkan) banten dan mempersiapkan jajanan. Mereka menyiapkan penganan dan sarana upacara keagamaan untuk menyambut Hari Raya Galungan yang jatuh pada Rabu (14/4/2021) ini. 

 

Olahan daging dan jajanan tersebut kemudian disantap bersama keluarga. Tak lupa, mereka juga mengemas olahan daging serta jajanan Bali tersebut ke dalam sebuah bungkusan. Sebab, warga setempat masih melestarikan tradisi ngejot atau berbagi makanan ke tetangga hingga saat ini.

 

Yang berbeda di banjar ini adalah warga umat Hindu ngejot ke warga umat Kristiani saat Hari Penampahan Galungan.

 

Ngejot di banjar setempat merupakan tradisiri turun-temurun sebagai wujud toleransi beragama antara warga umat Hindu dengan warga umat Kristen yang ada. Dari tradisi tersebut, ternyata memiliki nilai historis yang sangat luar biasa.

 

Menurut Kelian Banjar Dinas Piling Kanginan, I Wayan Agus Setiawan, tradisi ngejot ini masih tetap dilestarikan sekalipun di tengah kondisi pandemi Covid19 yang tak kunjung diakhiri.

 

Sebelum ngejot, warga terlebih dahulu melakukan pengolahan daging terutama daging babi menjadi lawar, gorengan, sate dan sebagainnya. Selain olahan daging, juga membuat berbagai jajanan bali seperti jaje uli dan lainnya.

 

“Hingga saat ini kita masih tetap melestarikan tradisi yang ada di wilayah kami, yakni ngejot. Kegiatannya masih sama seperti sebelumnya, hanya saja yang berbeda sekarang yang ngejot menggunakan masker sebagai wujud penerapan protokol kesehatan,” kata Agus Setiawan saat dikonfirmasi, Selasa kemarin.

 

Ketika makanan sudah siap, seluruh krama banjar umat Hindu “ngejot” atau membagi makanan ke setiap rumah warga umat Kristen. Makanan yang kerap dibagi seperti lawar, tum, jajan (tape jaje uli, jajan bali) sate, nasi, be nyatnyat (be genyol), dan penyon (lawar nangka).

 

Tradisi ini memang selalu dilakukan setiap Hari Raya Galungan tepatnya pada Penampahan Galungan. Ini berlangsung dua arah. Tradisi ngejot juga akan dilakukan umat Kristiani saat perayaan Hari Natal untuk warga yang umat Hindu.

 

Dia menyatakan, meskipun berbeda keyakinan, antara warga umat Hindu dan Kristen juga memiliki keterikatan keluarga karena sebagian warga Hindu juga menikah dengan Warga Kristen, begitu juga sebaliknya.

 

“Setiap Galungan kami ngejot untuk nyama kristen disini. Begitu juga sebaliknya kami mendapat jotan ketika Hari Natal,” tuturnya.

 

Selain ngejot, kata dia, seluruh warga disini diperlakukan sama hanya berbeda pada cara sembahyangnya saja. Kegiatan seperti ngayah, ngopin, dan matulungan juga sama dilakukan oleh seluruh warga. Bahkan seluruh warga juga tergabung salam sebuah wadah yang bernama suka duka, sehingga keluarga suka duka ini juga sangat berperan penting untuk menjaga persatuan dan kesatuan.

 

“Kami juga sudah membentuk sebuah wadah bernama suka duka, jadi tidak ada yang membedakan semua warga juga ikut dalam berkegiatan baik itu sosial, budaya, dab lainnya juga,” katanya.

 

Setiawan menambahkan seluruh warga yang tinggal di banjar yang memiliki luas sekitar 100 hektare ini juga tetap menjaga persatuan dan sama sekali tidak pernah ada perpecahan. Hal itu dijaga dengan sistem gotong royong atau saling bantu-membantu dalam segala hal seperti, keagaman, sosial, budaya, dan lainnya. Dan untuk soal politik, di wilayah ini sudah disosialisasikan kepada pemuka agama, pemuda, agar tetap menjaga kerukunan.

 

“Meskipun berbeda pandangan, di dalam kegiatan suka duka tetap bersatu. Semua masih bersatu dibawah suka duka. Sehinnga sebuah wadah yang dinamakan suka duka ini merupakan pemersatu umat,” tandasnya.

Di Banjar Piling Kanginan, umat Kristen dan Hindu hidup bersama. Ketika peringatan hari raya keagamaan masing-masing, mereka berbagi makanan. Istilahnya ngejot. Seperti saat menjelang Hari Raya Galungan, warga Hindu ngejot (berbagi) makanan kepada warga yang beragama Kristen.    

JULIADI, Tabanan 

 

WARGA Banjar Piling Kanginan, Desa Mengesta, Kecamatan Penebel, Tabanan, sudah sibuk berkegiatan sejak pagi, Selasa (13/4). Warga pria di desa tersebut tengah sibuk mempersiapkan ataupun mengolah bahan makanan terutama daging babi.

 

Sedangkan warga wanita tengah sibuk metanding (menyiapkan) banten dan mempersiapkan jajanan. Mereka menyiapkan penganan dan sarana upacara keagamaan untuk menyambut Hari Raya Galungan yang jatuh pada Rabu (14/4/2021) ini. 

 

Olahan daging dan jajanan tersebut kemudian disantap bersama keluarga. Tak lupa, mereka juga mengemas olahan daging serta jajanan Bali tersebut ke dalam sebuah bungkusan. Sebab, warga setempat masih melestarikan tradisi ngejot atau berbagi makanan ke tetangga hingga saat ini.

 

Yang berbeda di banjar ini adalah warga umat Hindu ngejot ke warga umat Kristiani saat Hari Penampahan Galungan.

 

Ngejot di banjar setempat merupakan tradisiri turun-temurun sebagai wujud toleransi beragama antara warga umat Hindu dengan warga umat Kristen yang ada. Dari tradisi tersebut, ternyata memiliki nilai historis yang sangat luar biasa.

 

Menurut Kelian Banjar Dinas Piling Kanginan, I Wayan Agus Setiawan, tradisi ngejot ini masih tetap dilestarikan sekalipun di tengah kondisi pandemi Covid19 yang tak kunjung diakhiri.

 

Sebelum ngejot, warga terlebih dahulu melakukan pengolahan daging terutama daging babi menjadi lawar, gorengan, sate dan sebagainnya. Selain olahan daging, juga membuat berbagai jajanan bali seperti jaje uli dan lainnya.

 

“Hingga saat ini kita masih tetap melestarikan tradisi yang ada di wilayah kami, yakni ngejot. Kegiatannya masih sama seperti sebelumnya, hanya saja yang berbeda sekarang yang ngejot menggunakan masker sebagai wujud penerapan protokol kesehatan,” kata Agus Setiawan saat dikonfirmasi, Selasa kemarin.

 

Ketika makanan sudah siap, seluruh krama banjar umat Hindu “ngejot” atau membagi makanan ke setiap rumah warga umat Kristen. Makanan yang kerap dibagi seperti lawar, tum, jajan (tape jaje uli, jajan bali) sate, nasi, be nyatnyat (be genyol), dan penyon (lawar nangka).

 

Tradisi ini memang selalu dilakukan setiap Hari Raya Galungan tepatnya pada Penampahan Galungan. Ini berlangsung dua arah. Tradisi ngejot juga akan dilakukan umat Kristiani saat perayaan Hari Natal untuk warga yang umat Hindu.

 

Dia menyatakan, meskipun berbeda keyakinan, antara warga umat Hindu dan Kristen juga memiliki keterikatan keluarga karena sebagian warga Hindu juga menikah dengan Warga Kristen, begitu juga sebaliknya.

 

“Setiap Galungan kami ngejot untuk nyama kristen disini. Begitu juga sebaliknya kami mendapat jotan ketika Hari Natal,” tuturnya.

 

Selain ngejot, kata dia, seluruh warga disini diperlakukan sama hanya berbeda pada cara sembahyangnya saja. Kegiatan seperti ngayah, ngopin, dan matulungan juga sama dilakukan oleh seluruh warga. Bahkan seluruh warga juga tergabung salam sebuah wadah yang bernama suka duka, sehingga keluarga suka duka ini juga sangat berperan penting untuk menjaga persatuan dan kesatuan.

 

“Kami juga sudah membentuk sebuah wadah bernama suka duka, jadi tidak ada yang membedakan semua warga juga ikut dalam berkegiatan baik itu sosial, budaya, dab lainnya juga,” katanya.

 

Setiawan menambahkan seluruh warga yang tinggal di banjar yang memiliki luas sekitar 100 hektare ini juga tetap menjaga persatuan dan sama sekali tidak pernah ada perpecahan. Hal itu dijaga dengan sistem gotong royong atau saling bantu-membantu dalam segala hal seperti, keagaman, sosial, budaya, dan lainnya. Dan untuk soal politik, di wilayah ini sudah disosialisasikan kepada pemuka agama, pemuda, agar tetap menjaga kerukunan.

 

“Meskipun berbeda pandangan, di dalam kegiatan suka duka tetap bersatu. Semua masih bersatu dibawah suka duka. Sehinnga sebuah wadah yang dinamakan suka duka ini merupakan pemersatu umat,” tandasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/