31.4 C
Jakarta
26 April 2024, 13:04 PM WIB

Petani di Buleleng Jadi Korban Tengkulak, Harga Naik tapi Gagal Dapat Cuan

SINGARAJA– Para petani tampaknya masih jadi korban tengkulak. Kendati harga komoditas pangan di pasar tradisional kini terus merangkak naik, petani rupanya belum mendapatkan margin keuntungan seperti yang diharapkan. Alih-alih untung, mereka justru buntung. Karena harga justru dipermainkan tengkulak.

Hal itu terungkap dalam diskusi bertajuk Membedah Pertanian Bali Utara, di Rumah Belaja Komunitas Mahima, Sabtu (2/7). Diskusi itu menghadirkan para praktisi di bidang pertanian.

Ketua Majelis Subak dan Subak Abian Buleleng, Ketut Astawa mengatakan, para petani hingga kini masih berkutat pada masalah pemasaran. Mata rantai pemasaran dianggap terlalu panjang. Sehingga rentan dipermainkan para tengkulak. Dampaknya petani sebagai produsen dan masyarakat sebagai konsumen, jadi pihak yang paling dirugikan.

Dalam hal komoditas bawang misalnya. Kini harga bawang merah telah menyentuh angka Rp 55 ribu per kilogram. Faktanya harga di tingkat petani hanya Rp 25 ribu hingga Rp 30 ribu per kilogram. Dengan harga tersebut, petani sebenarnya masih merugi. Karena beban operasional mencapai jutaan rupiah per musim tanam.

“Sekarang di pasar harganya boleh mahal. Tapi di petani, harganya tetap murah. Karena harga dipermainkan. Kenaikan harga belum dirasakan petani. Petani masih rugi,” kata Astawa.

Sementara itu, praktisi pertanian, I Dewa Nyoman Budiasa mengungkapkan, saat ini dibutuhkan reformasi kebijakan di bidang pertanian. Menurutnya kebijakan pangan secara makro, belum berpihak pada kaum tani.

Menurutnya pemerintah juga perlu menganggarkan dana lebih besar pada sektor pertanian. Baik dalam hal pemberdayaan lahan maupun peningkatan SDM tani. Sementara di sektor hilir, perlu kerjasama antara petani, pengusaha, dan pemerintah. Sehingga rantai pasar semakin pendek dan memangkas spekulan serta tengkulak.

“Stabilitas negara ditentukan oleh ketahanan pangan. Sehingga saat menghadapi situasi apapun negara tetap stabil. Harus ada kebijakan pemerintah tentang pertanian yang memihak, melindungi petani dan juga pengusaha pertanian. Landasan hukumnya diperkuat bila perlu ada pola reward and punishment di dalamnya,” kata Budiasa.

Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng I Made Sumiarta, sejumlah kendala yang dihadapi petani di Buleleng sedang dicarikan solusi. Pemerintah saat ini sedang menyusun program hilirisasi produk pertanian. Lembaga ini dipolakan dapat menyerap seluruh hasil panen petani dan menjadi distributor langsung.

“Saat ini kami sudah menyusun pola untuk memangkas rantai distribusi pada komoditas buah. Nanti kami akan gandeng lagi lembaga ekonomi di desa. Seperti Lumbung Pangan Masyarakat, Koperasi Tani, maupun BUMDes, untuk menyerap produk-produk pertanian. Sehingga potensi permainan harga yang dilakukan spekulan, dapat dicegah,” demikian Sumiarta. (eps)

SINGARAJA– Para petani tampaknya masih jadi korban tengkulak. Kendati harga komoditas pangan di pasar tradisional kini terus merangkak naik, petani rupanya belum mendapatkan margin keuntungan seperti yang diharapkan. Alih-alih untung, mereka justru buntung. Karena harga justru dipermainkan tengkulak.

Hal itu terungkap dalam diskusi bertajuk Membedah Pertanian Bali Utara, di Rumah Belaja Komunitas Mahima, Sabtu (2/7). Diskusi itu menghadirkan para praktisi di bidang pertanian.

Ketua Majelis Subak dan Subak Abian Buleleng, Ketut Astawa mengatakan, para petani hingga kini masih berkutat pada masalah pemasaran. Mata rantai pemasaran dianggap terlalu panjang. Sehingga rentan dipermainkan para tengkulak. Dampaknya petani sebagai produsen dan masyarakat sebagai konsumen, jadi pihak yang paling dirugikan.

Dalam hal komoditas bawang misalnya. Kini harga bawang merah telah menyentuh angka Rp 55 ribu per kilogram. Faktanya harga di tingkat petani hanya Rp 25 ribu hingga Rp 30 ribu per kilogram. Dengan harga tersebut, petani sebenarnya masih merugi. Karena beban operasional mencapai jutaan rupiah per musim tanam.

“Sekarang di pasar harganya boleh mahal. Tapi di petani, harganya tetap murah. Karena harga dipermainkan. Kenaikan harga belum dirasakan petani. Petani masih rugi,” kata Astawa.

Sementara itu, praktisi pertanian, I Dewa Nyoman Budiasa mengungkapkan, saat ini dibutuhkan reformasi kebijakan di bidang pertanian. Menurutnya kebijakan pangan secara makro, belum berpihak pada kaum tani.

Menurutnya pemerintah juga perlu menganggarkan dana lebih besar pada sektor pertanian. Baik dalam hal pemberdayaan lahan maupun peningkatan SDM tani. Sementara di sektor hilir, perlu kerjasama antara petani, pengusaha, dan pemerintah. Sehingga rantai pasar semakin pendek dan memangkas spekulan serta tengkulak.

“Stabilitas negara ditentukan oleh ketahanan pangan. Sehingga saat menghadapi situasi apapun negara tetap stabil. Harus ada kebijakan pemerintah tentang pertanian yang memihak, melindungi petani dan juga pengusaha pertanian. Landasan hukumnya diperkuat bila perlu ada pola reward and punishment di dalamnya,” kata Budiasa.

Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng I Made Sumiarta, sejumlah kendala yang dihadapi petani di Buleleng sedang dicarikan solusi. Pemerintah saat ini sedang menyusun program hilirisasi produk pertanian. Lembaga ini dipolakan dapat menyerap seluruh hasil panen petani dan menjadi distributor langsung.

“Saat ini kami sudah menyusun pola untuk memangkas rantai distribusi pada komoditas buah. Nanti kami akan gandeng lagi lembaga ekonomi di desa. Seperti Lumbung Pangan Masyarakat, Koperasi Tani, maupun BUMDes, untuk menyerap produk-produk pertanian. Sehingga potensi permainan harga yang dilakukan spekulan, dapat dicegah,” demikian Sumiarta. (eps)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/