33.9 C
Jakarta
24 November 2024, 18:03 PM WIB

Sopir Buldog Minta UU LLAJ Ditinjau Kembali

SINGARAJA– Sopir angkutan barang yang tergabung dalam Buleleng Driver Organization (Buldog) kembali mendatangi DPRD Buleleng, Rabu kemarin (16/3). Mereka akhirnya bisa menyampaikan aspirasi langsung di hadapan Ketua DPRD Buleleng Gede Supriatna.

 

Ada 10 orang pengemudi yang mendatangi DPRD Buleleng. Mereka berasal dari berbagai komunitas. Di antaranya Pasemetonan Sopir Truk Buleleng (PSTB) Bali, Ake Buleleng, Persatuan Pengemudi Truk Indonesia (PPTI) Bali, Persatuan Sopir Truk Indonesia (PSTI) Bali, dan Korwil Singa Sakti. Kedatangan mereka dikawal Dinas Perhubungan Buleleng.

 

Koordinator Aksi, Gede Sudarsana Udayana meminta agar pemerintah meninjau kembali Undang-Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ).

 

Menurutnya Undang-Undang itu sangat berpihak kepada para sopir. Karena menjamin keamanan saat berkendara, usia jalan, serta kondisi berkendaraan. Hanya saja penerapan aturan secara kaku, akan memberikan dampak sistemik. Terutama yang terkait dengan harga barang.

 

“Jujur saya mendukung aturan ini. Karena saya lebih aman dan nyaman saat bawa barang,” katanya.

 

Sudarsana menuturkan, selama ini sopir angkutan yang melayani jurusan Surabaya-Bali, hanya menerima ongkos angkut sebanyak Rp 200 ribu per ton. Biasanya Sudarsana mengangkut beban hingga 10 ton. Padahal kendaraan milik Sudarsana, idealnya hanya mengangkut 5 ton saja.

 

Menurutnya bila mengangkut sesuai tonase, ongkos yang diterima tidak mampu menutupi beban operasional. “Kalau hanya angkut 5 ton, saya hanya dapat Rp 1 juta. Sedangkan ongkos bensin, saya habis Rp 900 ribu, ongkos penyeberangan Rp 550 ribu. Belum lagi untuk makan di jalan. Itu sudah nyata tidak menutup operasional,” ujar Sudarsana.

 

Idealnya para sopir menerima ongkos Rp 2 juta sekali jalan. Itu berarti biaya angkut harus dinaikkan dari Rp 200 ribu per ton, menjadi Rp 400 ribu per ton. Sementara bila biaya angkut dinaikkan, otomatis kenaikan itu akan dibebankan pada pembeli. Praktis harga barang akan melonjak.

 

“Ini yang tidak dipikirkan bapak-bapak pemerintah. Kami sepakat sama aturan itu. Cuma tolong dipikirkan dampaknya. Kami harap pemerintah bisa bijak dan lebih adil terkait aturan ini,” katanya.

 

Mendengar penjelasan para sopir, Ketua DPRD Buleleng Gede Supriatna mengaku dapat memahami para sopir. Supriatna mengatakan kebijakan over dimension dan over load (ODOL) akan berdampak sistemik. Terutama dari sisi ekonomi.

 

“Kalau UU diterapkan tegas dan kaku, akan berdampak secara ekonomi. Yang nyata harga barang akan lebih tinggi. Kami akan tindaklanjuti aspirasi para sopir ini pada pemerintah pusat. Supaya dapat dipertimbangkan dari berbagai aspek,” demikian Supriatna.

 

 

 

SINGARAJA– Sopir angkutan barang yang tergabung dalam Buleleng Driver Organization (Buldog) kembali mendatangi DPRD Buleleng, Rabu kemarin (16/3). Mereka akhirnya bisa menyampaikan aspirasi langsung di hadapan Ketua DPRD Buleleng Gede Supriatna.

 

Ada 10 orang pengemudi yang mendatangi DPRD Buleleng. Mereka berasal dari berbagai komunitas. Di antaranya Pasemetonan Sopir Truk Buleleng (PSTB) Bali, Ake Buleleng, Persatuan Pengemudi Truk Indonesia (PPTI) Bali, Persatuan Sopir Truk Indonesia (PSTI) Bali, dan Korwil Singa Sakti. Kedatangan mereka dikawal Dinas Perhubungan Buleleng.

 

Koordinator Aksi, Gede Sudarsana Udayana meminta agar pemerintah meninjau kembali Undang-Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ).

 

Menurutnya Undang-Undang itu sangat berpihak kepada para sopir. Karena menjamin keamanan saat berkendara, usia jalan, serta kondisi berkendaraan. Hanya saja penerapan aturan secara kaku, akan memberikan dampak sistemik. Terutama yang terkait dengan harga barang.

 

“Jujur saya mendukung aturan ini. Karena saya lebih aman dan nyaman saat bawa barang,” katanya.

 

Sudarsana menuturkan, selama ini sopir angkutan yang melayani jurusan Surabaya-Bali, hanya menerima ongkos angkut sebanyak Rp 200 ribu per ton. Biasanya Sudarsana mengangkut beban hingga 10 ton. Padahal kendaraan milik Sudarsana, idealnya hanya mengangkut 5 ton saja.

 

Menurutnya bila mengangkut sesuai tonase, ongkos yang diterima tidak mampu menutupi beban operasional. “Kalau hanya angkut 5 ton, saya hanya dapat Rp 1 juta. Sedangkan ongkos bensin, saya habis Rp 900 ribu, ongkos penyeberangan Rp 550 ribu. Belum lagi untuk makan di jalan. Itu sudah nyata tidak menutup operasional,” ujar Sudarsana.

 

Idealnya para sopir menerima ongkos Rp 2 juta sekali jalan. Itu berarti biaya angkut harus dinaikkan dari Rp 200 ribu per ton, menjadi Rp 400 ribu per ton. Sementara bila biaya angkut dinaikkan, otomatis kenaikan itu akan dibebankan pada pembeli. Praktis harga barang akan melonjak.

 

“Ini yang tidak dipikirkan bapak-bapak pemerintah. Kami sepakat sama aturan itu. Cuma tolong dipikirkan dampaknya. Kami harap pemerintah bisa bijak dan lebih adil terkait aturan ini,” katanya.

 

Mendengar penjelasan para sopir, Ketua DPRD Buleleng Gede Supriatna mengaku dapat memahami para sopir. Supriatna mengatakan kebijakan over dimension dan over load (ODOL) akan berdampak sistemik. Terutama dari sisi ekonomi.

 

“Kalau UU diterapkan tegas dan kaku, akan berdampak secara ekonomi. Yang nyata harga barang akan lebih tinggi. Kami akan tindaklanjuti aspirasi para sopir ini pada pemerintah pusat. Supaya dapat dipertimbangkan dari berbagai aspek,” demikian Supriatna.

 

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/