26.6 C
Jakarta
23 September 2024, 8:00 AM WIB

Pasemetonan Puri Silaturahmi ke Masjid Jami’, Ikut Buka Puasa Bersama

Toleransi antar umat beragama terjalin dengan sangat erat di Bali Utara. Jalinan hubungan kekerabatan dengan umat Hindu dan Muslim terjalin sejak ratusan tahun lalu.

Hal itu dibuktikan dengan keberadaan Masjid Agung Jami’ Singaraja. Kemarin, toleransi itu kembali terwujud dengan kehadiran keluarga besar Puri Buleleng ke Masjid Jami’.

 

EKA PRASETYA, Singaraja 

LANTUNAN salawat tarhim terdengar nyaring lewat pengeras suara. Jarum jam saat itu menunjukkan pukul 17.30 sore.

Pengurus masjid mulai bersiap menyiapkan hidangan untuk berbuka puasa bersama. Ada pula yang sibuk membersihkan masjid, jelang ibadah salat maghrib.

Tak lama kemudian, sejumlah pria dengan mengenakan pakaian adat Bali, datang masuk ke masjid. Sejumlah pengurus masjid pun langsung datang menyambut.

Pria-pria yang mengenakan pakaian adat itu merupakan keluarga besar Puri Buleleng yang tergabung dalam wadah Trah Tunggal Anglurah Panji Sakti.

Secara silsilah, pendahulu mereka yang dulunya menyumbangkan lahan yang akhirnya dijadikan lokasi pembangunan Masjid Agung Jami’ Singaraja.

Kedatangan keluarga besar puri itu dipimpin Manggala Utama Trah Tunggal Anglurah Panji Sakti, Anak Agung Wiranata Kusuma.

Mereka diterima Sekretaris Badan Kemakmuran Masjid (BKM) Agung Jami’ Singaraja Muhammad Reza Yunus, serta tokoh di Masjid Agung Jami’, Panji Rasyid.

Wiranata Kusuma mengatakan, kedatangannya ke Masjid Agung Jami’ untuk menyambung kembali silaturahmi yang sempat tersendat selama beberapa tahun terakhir.

Ia mengakui beberapa tahun terakhir hubungan komunikasi antara puri dengan masjid sempat terputus. Sehingga ia memutuskan membangun kembali komunikasi tersebut.

Ia menyebut kemunculan video viral yang menghina umat Hindu dan umat muslim, harus segera ditindaklanjuti dengan komunikasi.

“Saya meyakini video yang viral itu dirancang untuk adu domba. Karena momennya berdekatan sekali. Satu video melecehkan Hindu, satu lagi melecehkan muslim.

Saya yakin di balik hal ini ada agenda besar untuk memecah belah persaudaraan kita. Makanya kami sepakat menjaga toleransi, dimulai dari lokasi ini,” kata Wiranata.

Menurutnya, Masjid Agung Jami’ sudah menjadi simbol toleransi di Bali Utara. Buktinya adalah pintu gerbang yang dihiasi ukiran Bali, wabil khusus ukiran khas Buleleng.

Pintu itu berasal dari Puri Gede Buleleng. Ia menyatakan, sejak jaman kerajaan, komunikasi antara umat hindu dan muslim berjalan sangat baik.

Apalagi pada masa itu umat muslim di Kampung Bugis dan Kampung Kajanan – dua wilayah yang dekat dengan kawasan pesisir – berperan aktif menghalau Belanda dari Bali Utara.

Sehingga pihak kerajaan saat itu memberikan hibah sebidang tanah yang kini dimanfaatkan untuk lokasi ibadah umat muslim.

“Dulu itu muslim dan hindu sama-sama bekerjasama menjaga masyarakat dari Belanda. Makanya kami tekankan, bahwa kami ini bersaudara.

Jadi, jangan ada yang mencoba mengganggu hubungan silaturahmi yang sudah dibangun selama ratusan tahun terakhir,” tegas Wiranata yang juga Kabag Ops Polres Buleleng itu.

Sementara itu, Sekretaris Badan Kemakmuran Masjid Agung Jami’ Singaraja Muhammad Reza Yunus mengatakan,

kedatangan keluarga puri menunjukkan bahwa hubungan perjuangan hingga hubungan kekerabatan yang dijaga sejak ratusan tahun lalu, masih terjaga hingga kini.

“Kedatangan beliau itu merupakan simbol kedekatan bersama,” kata Reza. Menurutnya, sejak dulu umat muslim di Buleleng punya kedekatan dengan keluarga kerajaan.

Terbukti dengan adanya salah seorang keluarga kerajaan yang memilih menjadi mualaf pada tahun 1800-an silam. Ia adalah I Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi.

Jelantik Celagi dikenal sebagai orang pertama yang mengurus Masjid Agung Jami’ Singaraja. Ia diberikan mandat oleh Raja Buleleng

yang saat itu dijabat oleh I Gusti Ngurah Ketut Jlantik – atau yang dikenal juga dengan sebutan Anak Agung Padang – untuk memakmurkan masjid.

Jelantik Celagi juga menulis salinan Al Quran dengan menggunakan tangannya sendiri. Bahkan keturunan Jelantik Celagi hingga kini masih bermukim di sekitar Masjid Agung Jami’, dan Masjid Keramat Kuna.

“Kami harap lewat momen ini, tidak ada lagi istilah dauh tukad. Karena selama ini jalinan kekerabatan sudah berlangsung selama ratusan tahun,” ujar Reza. (*)

 

Toleransi antar umat beragama terjalin dengan sangat erat di Bali Utara. Jalinan hubungan kekerabatan dengan umat Hindu dan Muslim terjalin sejak ratusan tahun lalu.

Hal itu dibuktikan dengan keberadaan Masjid Agung Jami’ Singaraja. Kemarin, toleransi itu kembali terwujud dengan kehadiran keluarga besar Puri Buleleng ke Masjid Jami’.

 

EKA PRASETYA, Singaraja 

LANTUNAN salawat tarhim terdengar nyaring lewat pengeras suara. Jarum jam saat itu menunjukkan pukul 17.30 sore.

Pengurus masjid mulai bersiap menyiapkan hidangan untuk berbuka puasa bersama. Ada pula yang sibuk membersihkan masjid, jelang ibadah salat maghrib.

Tak lama kemudian, sejumlah pria dengan mengenakan pakaian adat Bali, datang masuk ke masjid. Sejumlah pengurus masjid pun langsung datang menyambut.

Pria-pria yang mengenakan pakaian adat itu merupakan keluarga besar Puri Buleleng yang tergabung dalam wadah Trah Tunggal Anglurah Panji Sakti.

Secara silsilah, pendahulu mereka yang dulunya menyumbangkan lahan yang akhirnya dijadikan lokasi pembangunan Masjid Agung Jami’ Singaraja.

Kedatangan keluarga besar puri itu dipimpin Manggala Utama Trah Tunggal Anglurah Panji Sakti, Anak Agung Wiranata Kusuma.

Mereka diterima Sekretaris Badan Kemakmuran Masjid (BKM) Agung Jami’ Singaraja Muhammad Reza Yunus, serta tokoh di Masjid Agung Jami’, Panji Rasyid.

Wiranata Kusuma mengatakan, kedatangannya ke Masjid Agung Jami’ untuk menyambung kembali silaturahmi yang sempat tersendat selama beberapa tahun terakhir.

Ia mengakui beberapa tahun terakhir hubungan komunikasi antara puri dengan masjid sempat terputus. Sehingga ia memutuskan membangun kembali komunikasi tersebut.

Ia menyebut kemunculan video viral yang menghina umat Hindu dan umat muslim, harus segera ditindaklanjuti dengan komunikasi.

“Saya meyakini video yang viral itu dirancang untuk adu domba. Karena momennya berdekatan sekali. Satu video melecehkan Hindu, satu lagi melecehkan muslim.

Saya yakin di balik hal ini ada agenda besar untuk memecah belah persaudaraan kita. Makanya kami sepakat menjaga toleransi, dimulai dari lokasi ini,” kata Wiranata.

Menurutnya, Masjid Agung Jami’ sudah menjadi simbol toleransi di Bali Utara. Buktinya adalah pintu gerbang yang dihiasi ukiran Bali, wabil khusus ukiran khas Buleleng.

Pintu itu berasal dari Puri Gede Buleleng. Ia menyatakan, sejak jaman kerajaan, komunikasi antara umat hindu dan muslim berjalan sangat baik.

Apalagi pada masa itu umat muslim di Kampung Bugis dan Kampung Kajanan – dua wilayah yang dekat dengan kawasan pesisir – berperan aktif menghalau Belanda dari Bali Utara.

Sehingga pihak kerajaan saat itu memberikan hibah sebidang tanah yang kini dimanfaatkan untuk lokasi ibadah umat muslim.

“Dulu itu muslim dan hindu sama-sama bekerjasama menjaga masyarakat dari Belanda. Makanya kami tekankan, bahwa kami ini bersaudara.

Jadi, jangan ada yang mencoba mengganggu hubungan silaturahmi yang sudah dibangun selama ratusan tahun terakhir,” tegas Wiranata yang juga Kabag Ops Polres Buleleng itu.

Sementara itu, Sekretaris Badan Kemakmuran Masjid Agung Jami’ Singaraja Muhammad Reza Yunus mengatakan,

kedatangan keluarga puri menunjukkan bahwa hubungan perjuangan hingga hubungan kekerabatan yang dijaga sejak ratusan tahun lalu, masih terjaga hingga kini.

“Kedatangan beliau itu merupakan simbol kedekatan bersama,” kata Reza. Menurutnya, sejak dulu umat muslim di Buleleng punya kedekatan dengan keluarga kerajaan.

Terbukti dengan adanya salah seorang keluarga kerajaan yang memilih menjadi mualaf pada tahun 1800-an silam. Ia adalah I Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi.

Jelantik Celagi dikenal sebagai orang pertama yang mengurus Masjid Agung Jami’ Singaraja. Ia diberikan mandat oleh Raja Buleleng

yang saat itu dijabat oleh I Gusti Ngurah Ketut Jlantik – atau yang dikenal juga dengan sebutan Anak Agung Padang – untuk memakmurkan masjid.

Jelantik Celagi juga menulis salinan Al Quran dengan menggunakan tangannya sendiri. Bahkan keturunan Jelantik Celagi hingga kini masih bermukim di sekitar Masjid Agung Jami’, dan Masjid Keramat Kuna.

“Kami harap lewat momen ini, tidak ada lagi istilah dauh tukad. Karena selama ini jalinan kekerabatan sudah berlangsung selama ratusan tahun,” ujar Reza. (*)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/