SINGARAJA– Salah seorang pengusaha di Buleleng, Gede Suardana, mengadukan Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) ke DPRD Buleleng. Pengusaha itu tak terima karena dianggap melaporkan kondisi usaha yang tidak faktual alias mengemplang pajak, khususnya pajak restoran. Padahal dia merasa tidak pernah menarik pajak restoran pada konsumen.
Gede Suardana menyampaikan pengaduan itu ke DPRD Buleleng pada Senin (23/5) siang. Pengaduan tertulis itu diterima Ketua DPRD Buleleng Gede Supriatna.
Dalam pengaduannya, ia mengaku telah ditetapkan sebagai wajib pajak daerah sektor pajak restoran pada Mei 2021 lalu. Saat itu ia merasa ganjil. Sebab izin usahanya adalah toko eceran, namun dijadikan wajib pajak restoran. Meski demikian ia tetap menerima penetapan wajib pajak itu.
Lantaran masih dalam masa pandemi, dia memilih tidak menarik pajak restoran dari konsumen. Lazimnya, pajak restoran dan tarif layanan, memang dibayarkan oleh konsumen. “Omzet sudah jatuh 50-60 persen. Kalau dikenakan pajak lagi, kami khawatirnya konsumen hilang. Makanya tidak kami kenakan,” kata Gede saat ditemui di DPRD Buleleng kemarin.
Pada bulan Maret 2022, BPKPD Buleleng sempat melakukan audit di usaha tersebut. Dari hasil audit, ia tetap diminta membayar pajak restoran. Meski tidak pernah menarik pajak itu pada konsumen. Gede pun merasa keberatan dengan hal itu.
“Dari mana datangnya pajak terutang itu? Sedangkan kami tidak pernah menarik pajak ke konsumen. Itu sudah kami jelaskan ke BPKPD. Tapi tetap kami dianggap memiliki pajak terutang. Kami harap DPRD bisa menindaklanjuti hal ini, karena kami merasa ada asas penyelenggaraan pemerintahan yang tidak profesional dan proporsional,” ujarnya.
Sementara itu Kepala BPKPD Buleleng Gede Sugiartha Widiada mengungkapkan, pengusaha itu sempat menyetorkan pajak ke pemerintah daerah. Nominalnya berkisar antara Rp 55 ribu hingga Rp 100 ribu. Dari hasil analisa risiko yang dilakukan auditor pajak, hal itu dirasa tidak wajar. Karena pengamatan BPKPD, potensi transaksi yang terjadi lebih besar.
Alhasil pada Maret 2022, pihaknya melakukan audit pajak. Dari sana ditemukan bahwa laporan self assessment yang disampaikan, dinilai tidak sesuai. Sehingga BPKPD menghitung kembali nominal pajak yang dianggap layak, berdasarkan transaksi yang tercatat. Sayangnya BPKPD menolak menyampaikan nominal pajak tersebut.
“Kami memungut pajak kan dasarnya Perda Nomor 9 Tahun 2011. Jadi dasar pemungutannya adalah pembayaran yang diterima pengusaha. Dalam proses transaksi dengan konsumen, silahkan nanti pengusaha. Apakah mau pasanga harga include pajak atau exclude pajak,” tegasnya.
Ia mengaku proses audit itu telah disaksikan berbagai pihak. Hal itu juga dicantumkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh pengusaha.
“Ada bukti transaksi yang kami jadikan acuan. Kalau memang nanti DPRD akan melakukan rapat dengar pendapat terkait hal ini, kami siap hadir,” kata Sugiartha. (eps)