27.3 C
Jakarta
21 November 2024, 21:18 PM WIB

Budidaya Lebah Trigona secara Otodidak, Awalnya Tak Tahu Nama Latin

Gede Redi Putrayasa, 17, sejatinya tidak tahu soal nama latin madu trigona. Dia hanya tahu madu kele. Bahkan saat dia mencari internet tak ketemu. Baru ada yang bilang kalau nama latin-nya itu trigona.

 

Eka Prasetya, Buleleng

 

REDI Putrayasa mengaku, budidaya lebah trigona dipelajari secara otodidak. Mulai dari membuat kandang, memindahkan ratu lebah, menyiapkan pakan bipolen, serta propolis. Hanya berbekal tutorial yang ditemukan di internet. Setelah sebulan, ia akhirnya berhasil melakukan budidaya lebah trigona.

 

Hingga kini tercatat ada 255 kandang lebah yang ia miliki. Sebagian besar adalah hasil budidaya. Sisanya ia ambil dari sarang-sarang di hutan. Dari ratusan kandang itu, sebanyak 50 kandang dia sebar di sekitar rumah. Sisanya dititipkan di ladang milik keluarga besar orang tuanya.

 

Kini ia hanya tinggal menunggu waktu panen saja. Redi memperkirakan sarang-sarang lebah miliknya akan siap panen pada bulan Mei mendatang. “Sudah tidak perlu kerja apa-apa lagi. Karena mereka (lebah trigona, Red) cari makan sendiri. Yang penting ada bunga dan tanaman buah di sekitar sarangnya, pasti bagus hasilnya,” jelas Redi.

 

Sembari menanti hasil panen, pelajar yang duduk di kelas XI SMAN 1 Tejakula itu, berusaha bercocok tanam bunga. Halaman rumahnya kini dipenuhi dengan tanaman bunga pacar air, serta bunga air mata pengantin.

 

Di desanya, bunga air mata pengantin tak dipedulikan. Bahkan dibuang begitu saja. Masyarakat enggan menanam bunga itu, karena identik dengan tanaman yang tumbuh di pekuburan. Tapi di mata Gede Redi, bunga itu adalah sumber uang.

 

“Satu tanaman bunga itu bisa untuk memenuhi pakan 20 koloni lebah. Makanya kalau saya lihat orang buang bunga air mata pengantin, saya pungut. Saya tanam di rumah,” kata remaja yang sejak 2017 menjadi nasabah simpanan di Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Tejakula itu.

 

Tatkala panen raya nanti, Redi tinggal meraup untung. Tiap koloni lebah bisa menghasilkan madu sebanyak 250 mililiter. Biasanya sebotol madu dengan ukuran 320 mililiter ia jual seharga Rp 300 ribu. Terkadang ia juga jual secara eceran seharga Rp 1.000 per milliliter. Tergantung permintaan konsumen.

 

Pesanan pun sudah antre dari seantero Indonesia. Tapi tak bisa dipenuhi, karena madu belum bisa dipanen. Lantaran sudah memiliki banyak pelanggan, Gede Redi berusaha menjaga kualitas. Salah satunya dari sisi kemasan. Ia enggan mengemas madu dalam botol plastik. Karena dia yakin kemasan plastik akan mengurangi khasiat madu.

 

“Manfaat madu trigona ini banyak. Untuk asam lambung, melancarkan peredaran darah, dan meningkatkan imun. Beberapa tetangga yang pernah kena covid juga sudah pernah coba. Saya nggak mau gara-gara kemasan, kualitas jadi turun,” ungkap sulung dari tiga bersaudara itu. (Bersambung)

 

Gede Redi Putrayasa, 17, sejatinya tidak tahu soal nama latin madu trigona. Dia hanya tahu madu kele. Bahkan saat dia mencari internet tak ketemu. Baru ada yang bilang kalau nama latin-nya itu trigona.

 

Eka Prasetya, Buleleng

 

REDI Putrayasa mengaku, budidaya lebah trigona dipelajari secara otodidak. Mulai dari membuat kandang, memindahkan ratu lebah, menyiapkan pakan bipolen, serta propolis. Hanya berbekal tutorial yang ditemukan di internet. Setelah sebulan, ia akhirnya berhasil melakukan budidaya lebah trigona.

 

Hingga kini tercatat ada 255 kandang lebah yang ia miliki. Sebagian besar adalah hasil budidaya. Sisanya ia ambil dari sarang-sarang di hutan. Dari ratusan kandang itu, sebanyak 50 kandang dia sebar di sekitar rumah. Sisanya dititipkan di ladang milik keluarga besar orang tuanya.

 

Kini ia hanya tinggal menunggu waktu panen saja. Redi memperkirakan sarang-sarang lebah miliknya akan siap panen pada bulan Mei mendatang. “Sudah tidak perlu kerja apa-apa lagi. Karena mereka (lebah trigona, Red) cari makan sendiri. Yang penting ada bunga dan tanaman buah di sekitar sarangnya, pasti bagus hasilnya,” jelas Redi.

 

Sembari menanti hasil panen, pelajar yang duduk di kelas XI SMAN 1 Tejakula itu, berusaha bercocok tanam bunga. Halaman rumahnya kini dipenuhi dengan tanaman bunga pacar air, serta bunga air mata pengantin.

 

Di desanya, bunga air mata pengantin tak dipedulikan. Bahkan dibuang begitu saja. Masyarakat enggan menanam bunga itu, karena identik dengan tanaman yang tumbuh di pekuburan. Tapi di mata Gede Redi, bunga itu adalah sumber uang.

 

“Satu tanaman bunga itu bisa untuk memenuhi pakan 20 koloni lebah. Makanya kalau saya lihat orang buang bunga air mata pengantin, saya pungut. Saya tanam di rumah,” kata remaja yang sejak 2017 menjadi nasabah simpanan di Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Tejakula itu.

 

Tatkala panen raya nanti, Redi tinggal meraup untung. Tiap koloni lebah bisa menghasilkan madu sebanyak 250 mililiter. Biasanya sebotol madu dengan ukuran 320 mililiter ia jual seharga Rp 300 ribu. Terkadang ia juga jual secara eceran seharga Rp 1.000 per milliliter. Tergantung permintaan konsumen.

 

Pesanan pun sudah antre dari seantero Indonesia. Tapi tak bisa dipenuhi, karena madu belum bisa dipanen. Lantaran sudah memiliki banyak pelanggan, Gede Redi berusaha menjaga kualitas. Salah satunya dari sisi kemasan. Ia enggan mengemas madu dalam botol plastik. Karena dia yakin kemasan plastik akan mengurangi khasiat madu.

 

“Manfaat madu trigona ini banyak. Untuk asam lambung, melancarkan peredaran darah, dan meningkatkan imun. Beberapa tetangga yang pernah kena covid juga sudah pernah coba. Saya nggak mau gara-gara kemasan, kualitas jadi turun,” ungkap sulung dari tiga bersaudara itu. (Bersambung)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/