MANGUPURA – Perang dagang antara AS denga Tiongkok masih menjadi faktor signifikan terhadap kondisi perekonomian dunia.
Hal in tercermin dalam pemaparan yang disampaikan oleh Maurice Obstfeld, Kepala Ekonom IMF, ketika menyampaikan World Economic Outlook dalam press briefing yang dilangsungkan di Bali International Convention Center, Selasa, (09/10).
Press briefing ini mengawali rangkaian kegiatan IMF di ajang Annual Meetings IMF-World Bank Group 2018.
Saat Maurice bicara tentang kondisi ekonomi global, pertumbuhan AS yang terus melaju disertai dengan perang tarif dengan Tiongkok telah mempengaruhi lanskap ekonomi dunia.
Pertumbuhan ekonomi dunia memang akan cukup stabil di angka 3,7 persen. Namun angka ini tidak mencerminkan prediksi sebelumnya yang berada di angka 3,9 persen.
Inflasi yang relatif tidak bergerak membuat ekonomi negara maju terus menikmati kondisi yang ada, meski tidak semua.
Sementara negara-negara berkembang masih akan melakukan pengetatan. Satu hal yang menjadi hal penting adalah bagaimana mempertahankan investor untuk tidak keluar dari negara-negara berkembang.
Namun tetap saja, Maurice menyatakan, situasi ekonomi dunia saat ini tetap rentan. Tarif AS dapat mengganggu rantai pasokan barang yang sudah ada.
Apalagi jika Tiongkok melakukan aksi balasan. “Kebijakan perdagangan merupakan cerminan kebijakan politik. Perdagangan global secara umum dalam tekanan.
Namun tidak ada waktu yang lebih baik dari saat ini untuk mengambil keputusan. Saat ini memang jadi persimpangan bagi ekonomi dunia,” tuturnya.
Faktor perang tarif antara kedua negara tersebut juga telah membuat situasi ekonomi dan perdagangan di belahan dunia lainnya ikut terpengaruh.
Brasil, misalnya. Negara ini melakukan sejumlah kebijakan menyikapi situasi ekonomi dunia yang terus berkembang.
“Kebijakan utama di Brasil adalah reformasi sosial dan ini harus jadi prioritas kebijakan. Kebijakan moneter Brasil sebenarnya kuat. Ke depan kebijakan fiskal harus difokuskan,” kata Maurice.
Bagaimana dengan Indonesia? Di tengah gambaran yang lesu semacam itu, kondisi ekonomi Indonesia dinilai tetap cukup baik.
Indonesia bahkan menjadi contoh dari ekonomi yang sukses menghadapi situasi ekonomi global yang tengah terjadi.
Maurice mengatakan, meski rupiah mengalamai depresiasi kurang lebih 10 persen terhadap dolar, namun penurunannya terhadap mitra ekonomi hanya berkisar 4 persen saja.
“Ini penting untuk disadari bahwa pengetatan moneter di AS dan Indonesia dan Asia Pasifik dan negara emerging lainnya perlu dipahami.
Untuk Indonesia adalah soal rupiah yang melemah, namun dunia melihatnya sebagai dolar yang menguat.
Meski rupiah menurun 10 persen namun penurunannya terhadap mitra ekonomi indonesia hanya 4 persen,” tutur Maurice.
Dia juga tetap melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tetap kuat. Pemerintahan Jokowi dipandang tepat
dengan kebijakan reformasi perpajakan dan diharapakan ini bisa memberikan kontribusi yang positif terhadap dunia pendidikan.
Perbaikan sektor pendidikan ditujukan bagi tumbuhnya angka tenaga kerja yang semakin tangguh dan berkualitas.
“Peningkatan ketangguhan tenaga kerja dan menurunkan terus angka ketimpangan, ini penting,” imbuhnya.
Profesor Ekonomi asal University of California ini juga merespon positif berbagai proyek pembangunan infrastruktur yang tengah dilakukan di Indonesia.
Menurutnya, Indonesia jelas butuh banyak infrastruktur yang lebih baik. “Kondisi yang ada tentu sangat baik. Kami berpikir Indonesia bisa mengambil lebih banyak
manfaat dari investasi demi kebutuhan infrastruktur. Dengan begitu banyak investor akan melihat Indonesia lebih menarik,” kata Maurice.