29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 2:56 AM WIB

Peluang Besar…Minim Perajin Tenun, Permintaan Pasar Melonjak Tinggi

RadarBali.com – Kain tenun hingga saat ini masih diminati dan memiliki penggemar fanatik. Hadirnya berbagai produk menarik berbahan kain tenun semakin membuat pamor kain tenun di Bali semakin terangkat.

Tidak heran jika para pembisnis melirik kain tenun sebagai peluang bisnis. Meski berpeluang ternyata hanya sedikit orang yang tertarik untuk menjadi perajin tenun.

Kondisi ini tentu menjadi kendala bagi para pembisnis kain tenun untuk memenuhi permintaan pasar yang cenderung meningkat.

Pemilik Rumah Songket dan Endek Dian’s, Putu Agus Aksara Diantika, saat ditemui di tempat produksi songket dan endeknya, Banjar Pegatepan, Gelgel, Klungkung, menuturkan, bisnis kain songket dan endek sudah mulai ditekuni keluarganya sejak tahun 1996.

Dan sejak saat itu, tidak hanya masyarakat umum, berbagai institusi pemerintahan dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun menjadi pelanggannya.

“Bisnis ini berawal saat melihat nenek saya yang seorang perajin kain tenun berkeliling menjajakan hasil karyanya. Daripada tidak jelas mau dijual kemana, akhirnya orang tua saya mulai memasarkan kain tenun dengan cara yang lebih profesional dan hingga bisa seperti ini,” terang pria berusia 25 tahun itu.

Sayangnya, peningkatan permintaan atas kain tenun songket dan endek tidak disertai dengan peningkatan produksi yang seimbang.

Hal ini karena warga Gelgel, terutamanya, hanya menjadikan menenun sebagai pekerjaan sampingan di saat luang.

“Pekerjaan utamanya mereka saat ini sebagai petani. Sedangkan generasi mudanya lebih memiliki bekerja di swalayan,” katanya.

Oleh karena itu hingga saat ini dia mengaku tidak memiliki pekerja tenun tetap, dan memberlakukan sistem borongan.

Upah yang diberikan berkisar Rp 1 juta – Rp 2 juta  per 175 centimeter kain songket sedangkan untuk kain endek dihargai Rp 50 ribu per 2,25 meternya.

“Saya hanya membayar jasanya karena bahan dan alat, saya yang sediakan. Untuk songket biasanya diselesaikan sekitar satu bulan untuk 175 sentimeternya sedangkan untuk endek ukuran 2,25 meter bisa diselesaikan satu hari saja,” bebernya.

Dengan kondisi seperti itu, dia mengaku tidak dapat memenuhi permintaan pasar. Bahkan untuk tahun ini, dia sudah tidak bisa lagi menerima permintaan kain songket hingga bulan Desember 2017 mendatang.

“Kalau pesanan kain endek sampai saat ini saya masih bisa melayaninya karena pekerjaannya yang jauh lebih cepat dibandingkan songket,” ujarnya.

Dia menambahkan, untuk songket dijual dengan harga Rp 1 juta – Rp 15 juta per lembar sedangkan kain endek dijualnya dengan harga berkisar Rp 150 ribu – Rp 2,5 juta per lembar.

Lebih lanjut dia berharap dengan permintaan kain tenun yang terus mengalami peningkatan, membuat warga semakin tertarik untuk menjadi perajin tenun.

Sebab hal ini tidak hanya berbicara tentang bisnis namun juga pelestarian budaya Bali.

RadarBali.com – Kain tenun hingga saat ini masih diminati dan memiliki penggemar fanatik. Hadirnya berbagai produk menarik berbahan kain tenun semakin membuat pamor kain tenun di Bali semakin terangkat.

Tidak heran jika para pembisnis melirik kain tenun sebagai peluang bisnis. Meski berpeluang ternyata hanya sedikit orang yang tertarik untuk menjadi perajin tenun.

Kondisi ini tentu menjadi kendala bagi para pembisnis kain tenun untuk memenuhi permintaan pasar yang cenderung meningkat.

Pemilik Rumah Songket dan Endek Dian’s, Putu Agus Aksara Diantika, saat ditemui di tempat produksi songket dan endeknya, Banjar Pegatepan, Gelgel, Klungkung, menuturkan, bisnis kain songket dan endek sudah mulai ditekuni keluarganya sejak tahun 1996.

Dan sejak saat itu, tidak hanya masyarakat umum, berbagai institusi pemerintahan dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun menjadi pelanggannya.

“Bisnis ini berawal saat melihat nenek saya yang seorang perajin kain tenun berkeliling menjajakan hasil karyanya. Daripada tidak jelas mau dijual kemana, akhirnya orang tua saya mulai memasarkan kain tenun dengan cara yang lebih profesional dan hingga bisa seperti ini,” terang pria berusia 25 tahun itu.

Sayangnya, peningkatan permintaan atas kain tenun songket dan endek tidak disertai dengan peningkatan produksi yang seimbang.

Hal ini karena warga Gelgel, terutamanya, hanya menjadikan menenun sebagai pekerjaan sampingan di saat luang.

“Pekerjaan utamanya mereka saat ini sebagai petani. Sedangkan generasi mudanya lebih memiliki bekerja di swalayan,” katanya.

Oleh karena itu hingga saat ini dia mengaku tidak memiliki pekerja tenun tetap, dan memberlakukan sistem borongan.

Upah yang diberikan berkisar Rp 1 juta – Rp 2 juta  per 175 centimeter kain songket sedangkan untuk kain endek dihargai Rp 50 ribu per 2,25 meternya.

“Saya hanya membayar jasanya karena bahan dan alat, saya yang sediakan. Untuk songket biasanya diselesaikan sekitar satu bulan untuk 175 sentimeternya sedangkan untuk endek ukuran 2,25 meter bisa diselesaikan satu hari saja,” bebernya.

Dengan kondisi seperti itu, dia mengaku tidak dapat memenuhi permintaan pasar. Bahkan untuk tahun ini, dia sudah tidak bisa lagi menerima permintaan kain songket hingga bulan Desember 2017 mendatang.

“Kalau pesanan kain endek sampai saat ini saya masih bisa melayaninya karena pekerjaannya yang jauh lebih cepat dibandingkan songket,” ujarnya.

Dia menambahkan, untuk songket dijual dengan harga Rp 1 juta – Rp 15 juta per lembar sedangkan kain endek dijualnya dengan harga berkisar Rp 150 ribu – Rp 2,5 juta per lembar.

Lebih lanjut dia berharap dengan permintaan kain tenun yang terus mengalami peningkatan, membuat warga semakin tertarik untuk menjadi perajin tenun.

Sebab hal ini tidak hanya berbicara tentang bisnis namun juga pelestarian budaya Bali.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/