28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 5:54 AM WIB

Disinyalir Ada Kerja Sama Bisnis di Wilayah Pantai Utara

Sebagai sebuah kadipaten di bawah kekuasaan Kesultanan Demak, Jepara pada masa lampau dikenal dengan armada angkatan lautnya.

Juga perdagangan jalur Laut Jawa. Wilayah Buleleng yang berada di wilayah utara Bali ditengarai punya hubungan aktivitas kelautan itu.

 

HARI PUSPITA, Jepara 

MENURUT catatan sejarah disebutkan bahwa Kerajaan Buleleng yang berada di wilayah Pantai Utara Bali mulai muncul tahun 1660-an, dengan pemimpin kharismatisnya Ki Barak Panji Sakti, yang berdarah Majapahit.

Aktivitas perdagangan lewat laut pun ditengarai berlangsung di wilayah yang sebelumnya dikenal sebagai Den Bukit itu.

Jepara sebagai kadipaten yang bervisi maritim di Pantai Utara Pulau Jawa pada masanya juga mengandalkan perdagangan lewat pelabuhannya. 

Hingga memasuki era pemerintahan Belanda, aktivitas pelabuhan itu berangsur meredup. Berdasar keterangan sejumlah sumber yang didapat

Jawa Pos Radar Bali ini menyebutkan bahwa Habib Abdullah, yang sebelumnya mendapat penuturan dari sang mertua, Habib Ali,

yang sekarang sudah almarhum dan dikenal sebagai orang yang tahu banyak tentang riwayat Mbah Datuk Singorojo di Mayong, menengarai.

Karena sebelumnya ada catatan manakib (pengajian yang juga meriwayatkan kisah hidup atau biografi) almarhum Mbah Datuk.

Meski begitu, pembuktiannya memang tidak mudah. Karena lemahnya pengarsipan. Juga kejadiannya sudah berlangsung ratusan tahun lewat. 

“Hubungan antara Jepara dengan Buleleng sangat mungkin, karena sama-sama wilayah pantai utara,” ujarnya. “Sayangnya, catatan manakib dalam tulisan huruf  Jawa itu juga entah di mana, sekarang,” imbuhnya.

Dari keterangan pengurus Masjid Ampel, Troso, Pecangaan, juga disebutkan ada interaksi Jepara dengan Bali , sebelum kedatangan Ida Gurnadi atau Mbah Datuk Singorojo.

Yakni kedatangan Angke Wisnu atau mungkin bernama Raka Wisnu yang juga ada makamnya. Warga setempat di Troso menyebut Kyai Senu dan Nyai Senu.

“Mereka juga datang dari Bali. Cuma belum jelas, dari Buleleng atau wilayah lain di Bali,” ujar Sunarto, pengurus masjid Mbah Datuk Singorojo.

Kadipaten Jepara sendiri yang merupakan wilayah di bawah kekuasaan Kesultanan Demak, setelah era kerajaan Majapahit, punya pelabuhan laut yang besar.

Penguasa Demak, juga adipati Jepara saat itu, Ratu Kalinyamat pun keturunan Majapahit. Pelabuhan Jepara ini pada saat itu adalah salah satu pelabuhan terbesar di Nusantara.

Ini karena posisi Kesultanan Demak yang tidak di pinggir laut, maka kekuatan armada lautnya di Jepara, pemimpinnya Ratu Kalinyamat.

Jadi, hubungan perdagangan dengan wilayah lain di Nusantara, termasuk dengan Buleleng pun diperkirakan sudah terjalin saat itu.

Masa lalu Jepara bisa dijumpai dalam catatan sejarah asing. Seperti  riwayat  era Ratu Kalinyamat, yang disebut dalam sejarah yang ditulis De Coutu, di dalam bukunya Da Asia.

Dia menguraikan sebuah pembahasan, berjudul Rainha de Jepara, Senhora Poderosa e Rica, yang mengisahkan ratu atau adipati Jepara seorang perempuan yang punya kekuasaan besar.

Bukti kebesaran Kadipaten Jepara di bawah Kesultanan Demak antara  lain terlihat  tahun  1550 dan 1574.

Yakni, membantu perjuangan Kesultanan Malaka, Malaysia. Jepara membantu menyerang Portugis di Malaka. Atau, bagian wilayah Malaysia sekarang.

Portugis sendiri mulai datang di Malaka tahun 1511 lampau. Disebutkan juga bahwa pada tahun 1550 Ratu Kalinyamat mengirimkan armada tempur angkatan lautnya.

Tak kurang 40 kapal perang dikirim. Juga semacam prajurit berkemampuan khusus  sebanyak 200-an orang.

Sedangkan tahun 1574 membantu menyerang Portugis  di Malaka  dengan 15.000 personel pasukan,  300 kapal perang dan 80 buah jung besar (kapal perang raksasa).

Tapi, akhirnya kalah karena pasukan Portugis lebih besar personelnya. Juga strategi yang tidak efektif. Dengan segala  kemampuan pemerintahnya di bidang kelautan, Ratu Kalinyamat berpulang.

Dari sejumlah sumber menyebutkan bahwa penguasa Jepara ini meninggal tahun 1579 Masehi. Setelah kemangkatan

Ratu Kalinyamat maka kekuasaan pemerintahan diserahkan kepada putra angkatnya Pangeran Jepara, yaitu putra Raja Hasanuddin dari Banten. Tapi,  banyak terjadi pemberontakan di Pajang.

Pasang surut kekuasaan pun terjadi. Patron Kadipaten Jepara, Kerajaan Pajang, akhirnya juga runtuh pada tahun 1578.

Hal ini berpengaruh kepada Jepara, yang pada tahun 1600-an tidak lagi sehebat tahun 1500-an. Paling tidak, era ini catatan armada lautnya yang melakukan penyerangan seperti era 1500-an sudah tidak ada lagi.

Kedatangan Datuk Singorojo  sendiri diperkirakan di era kerajaan Mataram yang berdiri tahun 1586. Mataram lebih muda dari era Kesultanan Demak, yang berdiri sekitar tahun 1478 hingga tahun 1568.  

Ini antara lain adanya cerita bahwa era Ida Gurnadi ini adalah bersamaan dengan era Raden Ayu Roro Semangkin, yang merupakan anak asuh Ratu Kalinyamat. Jadi, sekitar akhir periode 1500-an hingga tahun 1600-an.

Ki Datuk Singorojo sendiri dikenal sempat berperang bahu membahu dengan Raden Ayu Mas Semangkin, yang kemudian

lebih dikenal Ibu Mas, di Mayong Lor, Jepara. Raden Ayu Mas adalah puteri kedua dari Pangeran Haryo Bagus Mukmin atau Sunan Prawoto.

Dia adalah cucu Sunan Trenggono, yang merupakan cicit Raden Patah, Sultan Demak, keturunan Brawijaya, Raja Majapahit.

Kedua puteri ini jadi anak asuh Ratu Kalinyamat dan diajari ilmu keprajuritan oleh Ratu Kalinyamat.

Sunan Prawoto adalah cucu Raden Patah putra Sultan Trenggono (sultan ketiga Demak Bintoro) dengan Raden Roro (Rr). Ayu Pembayun, putri Sunan Kalijaga.

Dari pernikahan ini, dari sejumlah sumber dikatakan  mereka dikaruniai sepuluh anak. Sayangnya tidak ada catatan yang jelas nama-namanya.

Sedangkan Pangeran Haryo Bagus Mukmin memiliki keturunan tiga orang anak. Yakni Pangeran Arya Pangiri (Pangeran Madepandan) yang bergelar Sultan Ngawantipura, Raden Roro Ayu Mas Semangkin, dan Raden Roro Ayu Mas Prihatin.

Pada saat kelahiran Rr. Ayu Mas Semangkin di Kerajaan Demak Bintoro sedang huru-hara politik  akibat  wafatnya Sultan Trenggono (1546 Masehi).

Keributan kalangan keluarga istana Kerajaan Demak terjadi karena adanya rasa dendam berebut kekuasaan dari keturunan Pangeran Sedo Lepen, yang dibunuh Pangeran Prawoto (putra sulung Sultan Trenggono).

Kematian Pangeran Sedo Lepen ini membuat dendam puteranya Arya Penangsang, yang dikenal temperamental merasa lebih berhak menduduki tahta kerajaan.

Dalam pandangannya yang pantas jadi sultan Demak adalah almarhum ayahnya, bukan Sultan Trenggono.

Karena Pangeran Sekar adalah kakak Sultan Trenggono dan adik dari Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor (Sultan Syah Alam Akbar II), yang memerintah kerajaan Demak, tahun 1518 – 1521 Masehi silam tersebut.

Konflik itu berkelanjutan, hingga Arya Penangsang meninggal dibunuh oleh Danang Suto Wijoyo, dan Ratu Kalinyamat juga meninggal 1579 Masehi.

Dan, baru berakhir setelah pemerintahan Jawa bergeser ke Mentaok (ke Kota Gede, Jogjakarta , sekarang) yang dikenal dengan Kesultanan Mataram.

Jadi, Ida Gurnadi atau Mbah Datuk Singorojo itu diperkirakan hidup saat era Mataram. Era Raden Roro Ayu Mas Semangkin.

“Beliau sezaman dengan Ibu Mas Semangkin,” papar Habib Dullah.  Meski demikian, angka pasti tahunnya dalam tahun Masehi memang belum ada.

Yang jelas, jelas prajurit perempuan anak asuh Ratu Kalinyamat,  Raden Roro Ayu Mas Semangkin dan Raden Roro Ayu Mas Prihatin ini akhirnya jadi istri selir Suto Wijoyo yang jadi sultan di Mataram.

Ini sesuai janji Ratu Kalinyamat kepada Suto Wijoyo apabila berhasil membunuh Arya Penangsang, Adipati Jipang,

karena Arya Penangsang telah membunuh suaminya, Pangeran Hadiri, yang dibunuh secara kejam dan membuat Ratu Kalinyamat shock, dendam, sakit hati.

Saat Raden Roro Ayu Mas Semangkin dan Raden Roro Ayu Mas Prihatin diberi tugas Suto Wijoyo yang setelah jadi sultan bergelar Panembahan Senopati,

untuk menumpas kerusuhan bekas pendukung Arya Penangsang di Mayong, Ida Gurnadi ternyata sudah membereskannya.

Dan, dituntaskan oleh utusan Mataram itu. “Sejak itu mereka sama-sama membangun Mayong dan sekitarnya,” jelasnya. [*]

 

Sebagai sebuah kadipaten di bawah kekuasaan Kesultanan Demak, Jepara pada masa lampau dikenal dengan armada angkatan lautnya.

Juga perdagangan jalur Laut Jawa. Wilayah Buleleng yang berada di wilayah utara Bali ditengarai punya hubungan aktivitas kelautan itu.

 

HARI PUSPITA, Jepara 

MENURUT catatan sejarah disebutkan bahwa Kerajaan Buleleng yang berada di wilayah Pantai Utara Bali mulai muncul tahun 1660-an, dengan pemimpin kharismatisnya Ki Barak Panji Sakti, yang berdarah Majapahit.

Aktivitas perdagangan lewat laut pun ditengarai berlangsung di wilayah yang sebelumnya dikenal sebagai Den Bukit itu.

Jepara sebagai kadipaten yang bervisi maritim di Pantai Utara Pulau Jawa pada masanya juga mengandalkan perdagangan lewat pelabuhannya. 

Hingga memasuki era pemerintahan Belanda, aktivitas pelabuhan itu berangsur meredup. Berdasar keterangan sejumlah sumber yang didapat

Jawa Pos Radar Bali ini menyebutkan bahwa Habib Abdullah, yang sebelumnya mendapat penuturan dari sang mertua, Habib Ali,

yang sekarang sudah almarhum dan dikenal sebagai orang yang tahu banyak tentang riwayat Mbah Datuk Singorojo di Mayong, menengarai.

Karena sebelumnya ada catatan manakib (pengajian yang juga meriwayatkan kisah hidup atau biografi) almarhum Mbah Datuk.

Meski begitu, pembuktiannya memang tidak mudah. Karena lemahnya pengarsipan. Juga kejadiannya sudah berlangsung ratusan tahun lewat. 

“Hubungan antara Jepara dengan Buleleng sangat mungkin, karena sama-sama wilayah pantai utara,” ujarnya. “Sayangnya, catatan manakib dalam tulisan huruf  Jawa itu juga entah di mana, sekarang,” imbuhnya.

Dari keterangan pengurus Masjid Ampel, Troso, Pecangaan, juga disebutkan ada interaksi Jepara dengan Bali , sebelum kedatangan Ida Gurnadi atau Mbah Datuk Singorojo.

Yakni kedatangan Angke Wisnu atau mungkin bernama Raka Wisnu yang juga ada makamnya. Warga setempat di Troso menyebut Kyai Senu dan Nyai Senu.

“Mereka juga datang dari Bali. Cuma belum jelas, dari Buleleng atau wilayah lain di Bali,” ujar Sunarto, pengurus masjid Mbah Datuk Singorojo.

Kadipaten Jepara sendiri yang merupakan wilayah di bawah kekuasaan Kesultanan Demak, setelah era kerajaan Majapahit, punya pelabuhan laut yang besar.

Penguasa Demak, juga adipati Jepara saat itu, Ratu Kalinyamat pun keturunan Majapahit. Pelabuhan Jepara ini pada saat itu adalah salah satu pelabuhan terbesar di Nusantara.

Ini karena posisi Kesultanan Demak yang tidak di pinggir laut, maka kekuatan armada lautnya di Jepara, pemimpinnya Ratu Kalinyamat.

Jadi, hubungan perdagangan dengan wilayah lain di Nusantara, termasuk dengan Buleleng pun diperkirakan sudah terjalin saat itu.

Masa lalu Jepara bisa dijumpai dalam catatan sejarah asing. Seperti  riwayat  era Ratu Kalinyamat, yang disebut dalam sejarah yang ditulis De Coutu, di dalam bukunya Da Asia.

Dia menguraikan sebuah pembahasan, berjudul Rainha de Jepara, Senhora Poderosa e Rica, yang mengisahkan ratu atau adipati Jepara seorang perempuan yang punya kekuasaan besar.

Bukti kebesaran Kadipaten Jepara di bawah Kesultanan Demak antara  lain terlihat  tahun  1550 dan 1574.

Yakni, membantu perjuangan Kesultanan Malaka, Malaysia. Jepara membantu menyerang Portugis di Malaka. Atau, bagian wilayah Malaysia sekarang.

Portugis sendiri mulai datang di Malaka tahun 1511 lampau. Disebutkan juga bahwa pada tahun 1550 Ratu Kalinyamat mengirimkan armada tempur angkatan lautnya.

Tak kurang 40 kapal perang dikirim. Juga semacam prajurit berkemampuan khusus  sebanyak 200-an orang.

Sedangkan tahun 1574 membantu menyerang Portugis  di Malaka  dengan 15.000 personel pasukan,  300 kapal perang dan 80 buah jung besar (kapal perang raksasa).

Tapi, akhirnya kalah karena pasukan Portugis lebih besar personelnya. Juga strategi yang tidak efektif. Dengan segala  kemampuan pemerintahnya di bidang kelautan, Ratu Kalinyamat berpulang.

Dari sejumlah sumber menyebutkan bahwa penguasa Jepara ini meninggal tahun 1579 Masehi. Setelah kemangkatan

Ratu Kalinyamat maka kekuasaan pemerintahan diserahkan kepada putra angkatnya Pangeran Jepara, yaitu putra Raja Hasanuddin dari Banten. Tapi,  banyak terjadi pemberontakan di Pajang.

Pasang surut kekuasaan pun terjadi. Patron Kadipaten Jepara, Kerajaan Pajang, akhirnya juga runtuh pada tahun 1578.

Hal ini berpengaruh kepada Jepara, yang pada tahun 1600-an tidak lagi sehebat tahun 1500-an. Paling tidak, era ini catatan armada lautnya yang melakukan penyerangan seperti era 1500-an sudah tidak ada lagi.

Kedatangan Datuk Singorojo  sendiri diperkirakan di era kerajaan Mataram yang berdiri tahun 1586. Mataram lebih muda dari era Kesultanan Demak, yang berdiri sekitar tahun 1478 hingga tahun 1568.  

Ini antara lain adanya cerita bahwa era Ida Gurnadi ini adalah bersamaan dengan era Raden Ayu Roro Semangkin, yang merupakan anak asuh Ratu Kalinyamat. Jadi, sekitar akhir periode 1500-an hingga tahun 1600-an.

Ki Datuk Singorojo sendiri dikenal sempat berperang bahu membahu dengan Raden Ayu Mas Semangkin, yang kemudian

lebih dikenal Ibu Mas, di Mayong Lor, Jepara. Raden Ayu Mas adalah puteri kedua dari Pangeran Haryo Bagus Mukmin atau Sunan Prawoto.

Dia adalah cucu Sunan Trenggono, yang merupakan cicit Raden Patah, Sultan Demak, keturunan Brawijaya, Raja Majapahit.

Kedua puteri ini jadi anak asuh Ratu Kalinyamat dan diajari ilmu keprajuritan oleh Ratu Kalinyamat.

Sunan Prawoto adalah cucu Raden Patah putra Sultan Trenggono (sultan ketiga Demak Bintoro) dengan Raden Roro (Rr). Ayu Pembayun, putri Sunan Kalijaga.

Dari pernikahan ini, dari sejumlah sumber dikatakan  mereka dikaruniai sepuluh anak. Sayangnya tidak ada catatan yang jelas nama-namanya.

Sedangkan Pangeran Haryo Bagus Mukmin memiliki keturunan tiga orang anak. Yakni Pangeran Arya Pangiri (Pangeran Madepandan) yang bergelar Sultan Ngawantipura, Raden Roro Ayu Mas Semangkin, dan Raden Roro Ayu Mas Prihatin.

Pada saat kelahiran Rr. Ayu Mas Semangkin di Kerajaan Demak Bintoro sedang huru-hara politik  akibat  wafatnya Sultan Trenggono (1546 Masehi).

Keributan kalangan keluarga istana Kerajaan Demak terjadi karena adanya rasa dendam berebut kekuasaan dari keturunan Pangeran Sedo Lepen, yang dibunuh Pangeran Prawoto (putra sulung Sultan Trenggono).

Kematian Pangeran Sedo Lepen ini membuat dendam puteranya Arya Penangsang, yang dikenal temperamental merasa lebih berhak menduduki tahta kerajaan.

Dalam pandangannya yang pantas jadi sultan Demak adalah almarhum ayahnya, bukan Sultan Trenggono.

Karena Pangeran Sekar adalah kakak Sultan Trenggono dan adik dari Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor (Sultan Syah Alam Akbar II), yang memerintah kerajaan Demak, tahun 1518 – 1521 Masehi silam tersebut.

Konflik itu berkelanjutan, hingga Arya Penangsang meninggal dibunuh oleh Danang Suto Wijoyo, dan Ratu Kalinyamat juga meninggal 1579 Masehi.

Dan, baru berakhir setelah pemerintahan Jawa bergeser ke Mentaok (ke Kota Gede, Jogjakarta , sekarang) yang dikenal dengan Kesultanan Mataram.

Jadi, Ida Gurnadi atau Mbah Datuk Singorojo itu diperkirakan hidup saat era Mataram. Era Raden Roro Ayu Mas Semangkin.

“Beliau sezaman dengan Ibu Mas Semangkin,” papar Habib Dullah.  Meski demikian, angka pasti tahunnya dalam tahun Masehi memang belum ada.

Yang jelas, jelas prajurit perempuan anak asuh Ratu Kalinyamat,  Raden Roro Ayu Mas Semangkin dan Raden Roro Ayu Mas Prihatin ini akhirnya jadi istri selir Suto Wijoyo yang jadi sultan di Mataram.

Ini sesuai janji Ratu Kalinyamat kepada Suto Wijoyo apabila berhasil membunuh Arya Penangsang, Adipati Jipang,

karena Arya Penangsang telah membunuh suaminya, Pangeran Hadiri, yang dibunuh secara kejam dan membuat Ratu Kalinyamat shock, dendam, sakit hati.

Saat Raden Roro Ayu Mas Semangkin dan Raden Roro Ayu Mas Prihatin diberi tugas Suto Wijoyo yang setelah jadi sultan bergelar Panembahan Senopati,

untuk menumpas kerusuhan bekas pendukung Arya Penangsang di Mayong, Ida Gurnadi ternyata sudah membereskannya.

Dan, dituntaskan oleh utusan Mataram itu. “Sejak itu mereka sama-sama membangun Mayong dan sekitarnya,” jelasnya. [*]

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/