GIANYAR – Pada era 1990-an, di rumah penduduk masyarakat Bali banyak ditemukan furniture berbahan bambu.
Mulai dari tempat duduk bambu, dipan, hingga lemari dari bambu dulu kerap ditemui. Zaman berganti, model furniture pun ikut berubah.
Kini muncul produk dengan bahan yang lebih murah meriah. Akibatnya, furniture bambu pun mulai ditinggalkan.
Salah satu perajin bambu I Made Sujana Yasa, yang tinggal dan membuka gerai di Desa Belega, Kecamatan Blahbatuh mengakui hal itu.
“Sekarang sudah jarang. Karena furniture dari bambu sudah kurang diminati,” ujar Sujana kemarin.
Dengan merosotnya minat terhadap furniture bambu, maka gerai bambu yang ada di desa Belega kini tinggal 30-an saja.
Jumlah itu tentu merosot saat masa jaya dulu. “Sejak merosotnya peminat kerajinan bambu, pekerja sudah lari jauh-jauh mereka,” ujarnya.
Kata dia, ada pekerja yang beralih ke perusahaan property di Denpasar, ada juga yang mengadu nasib ke luar Bali.
“Makanya sekarang kami kendala pada pekerja yang memang memahami betul dengan bambu,” jelasnya.
Meski permintaan tidak seperti dulu, namun perajin yang bertahan masih bisa tersenyum lebar. Itu karena mulai muncul permintaan pembuatan gazebo dari bambu.
“Yang banyak dipesan sekarang gazebo dari bambu. Ini saya sedang membuat untuk pesanan ke luar negeri,” jelasnya.
Ada beberapa negara yang memesan gazebo bikinannya. Yakni Prancis, Jerman dan Australia. Pesanan itu juga beragam. Mulai dari bangunan gazebo kecil sampai bangunan sebesar rumah.
Diakui, pasokan bambu di Bali masih mencukupi untuk membuat pesanan gazebo. Bambu didatangkan dari Tabanan dan Bangli dengan harga Rp 80 ribu sepanjang 5-6 meter.
“Kalau yang bambu petung Rp 25 ribu per meternya karena memang kualitasnya beda,” imbuh Sujana.
Lantaran banyak warga dan tukang yang pindah kerja, maka kini dia sendiri kesulitan pekerja. “Yang sulit sekarang tukangnya.
Karena dulu banyak pekerja yang sudah ahli itu pindah kerja. Ya, karena dulu kan sepi, makanya tukang banyak yang cari kerjaan lain,” tukasnya.