DENPASAR – Hati-hati kejadian kasus henti jantung mendadak (silent cardiac arrest). Pasalnya, kasus ini dapat dialami oleh siapapun dan kapanpun.
Bahkan, bisa terkena orang yang masih muda karena pola hidup yang tidak sehat. “Korban henti jantung mendadak dapat diselamatkan dengan pengetahuan dasar dan pelatihan
bantuan hidup dasar atau Resusitasi Jantung Paru (RJP),” ujar Ketua Himpunan Perawat Gawatdarurat dan Bencana Indonesia (HIPGABI) Bali I Putu Budiarsana.
Menurutnya, kematian akibat henti jantung mendadak paling sering terjadi di luar rumah sakit. Korban henti jantung sering ditemukan oleh masyarakat umum.
Mereka yang menemukan dan paling menentukan keberhasilan survival korban henti jantung di luar rumah sakit.
Kegiatan yang dilaksanakan kali ini sebagai langkah pengabdian masyarakat dengan memberikan pelatihan bantuan hidup Dasar/RJP
(Resusitasi Jantung Paru-paru dini dengan fokus kepada kompresi dada, pemberian kejut jantung dini dengan menggunakan AED).
Kepala Dinas Kesehatan Kota Denpasar dr. Luh Putu Sri Armini mengatakan, kasus henti jantung ini bisa terjadi kepada siapa saja. Terlebih lagi, sudah banyak menyerang anak muda.
Diakuinya hal itu terjadi karena beban kerja yang tinggi, kurang waktu olahraga dan makanan yang kurang sehat.
“Biasanya sih usia dewasa. Tapi sekarang usia muda juga bisa kena, karena gaya hidup zaman sekarang,” ucapnya.
Selain itu, dalam kasus henti jantung ini bisa terjadi, tanpa menunjukkan riwayat sakit sebelumnya.
Tapi, untuk gejalanya bisa diketahui dari sekarang seperti sakit kepala dan kesemutan, serta Diabetes Mellitus (DM) yang tidak terkontrol, kolesterolnya tinggi dan tensi tinggi.
“Masyarakat menjadi barisan terdepan dalam pertolongan henti jantung mendadak di luar rumah sakit,” ujarnya.
Diharapkan dapat melakukan pertolongan yang tepat dan cepat untuk korban henti jantung mendadak, mereka memerlukan keahlian khusus yang diperoleh melalui pelatihan yang sesuai.
Bentuk pelatihan untuk masyarakat awam adalah Bantuan Hidup Dasar (BHD) yang terdiri dari deteksi dini dan aktivasi bantuan pelayanan kegawatan medis (emergency medical service).
Namun sayangnya, saat ditanya jumlah angka kasus henti jantung mendadak yang tergolong sebagai ‘silent killer’ ini di Bali, pihaknya tidak bisa memastikan datanya secara pasti.
Pihak Dinas Kesehatan tidak memiliki rekap data terkait itu. “Seharusnya data lengkapnya ada di rumah sakit,” imbuhnnya
Jika melihat pada faktor pemicu seperti penyakit jantung koroner, diabetes mellitus dan hipertensi, ketiganya termasuk tiga besar penyebab kematian di Bali.
Merunut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, penyakit jantung koroner menempati urutan kedua setelah penyakit stroke di urutan pertama. Sementara, diabetes menjadi penyebab kematian nomor tiga.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dr. Ketut Suarjaya mengakui bahwa perubahan gaya hidup yang cenderung kurang aktivitas gerak menjadi faktor penyebab tingginya angka penyakit tidak menular tersebut.
“Gaya hidup, pola makan dan stres menjadi pemicu tingginya angka kasus kematian tersebut. Mayoritas memang terjadi di kota-kota besar,” terangnya.