29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 2:15 AM WIB

Dari Era Piringan Hitam, Dengan Teknologi Nge-DJ makin Enjoy

ADA ratusan Disk Jokey (DJ) di Bali. DJ Widhi Aditya salah satunya. Dia merupakan salah satu DJ senior yang sudah malang melintang dalam dunia ajeb-ajeb.

Sudah 22 tahun Widhi Aditya menekuni dunia DJ. Persisnya sejak akhir 1996, dia terjun menjadi DJ profesional.

 Pada awalnya, itu tidak mudah. Dalam masa training, dia harus lebih dulu mengasah skill secara ­otodidak di kafe-kafe sekitar Seririt, Buleleng.

“Pertama saya mulai main di Denpasar di Akasaka tahun 1998, mainkan musik funkot. Berikutnya saya mulai belajar main musik progressive sekitar 2016 di kelab-kelab yang spesialis progressive seperti Optimus, The Stones, Pyramid Kuta, A-Club, dan lain-lain,” papar pria asal Singaraja, Buleleng ini.

Sebagai DJ kawakan berusia 47 tahun, DJ Widhi mengaku sudah merasakan sulitnya menjadi DJ di awal-awal sebelum teknologi flashdisk menjamur.

“Awal terjun ke DJ dulu pakai turntable, piringan hitam. Rumit. Karena satu piringan hitam hanya muat satu lagu,” kenangnya.

Perkembangan teknologi, dengan peralihan dari piringan hitam ke compact disc (CD) kemudian hanya dengan mencolokkan flashdisk, bermain DJ menurutnya menjadi  lebih mudah, dan enjoy.

“Sekarang simpel. Pakai flashdisk sudah bisa muat ratusan lagu, tinggal putar,” tandas DJ namanya terus melambung hingga langganan jadi Guest DJ di sejumlah kelab ternama di Denpasar dan beberapa kota lain di luar Bali.

DJ yang pernah menjadi Guest DJ di kelab papan atas Surabaya, Kantor Club ini mengatakan, menjadi DJ sebetulnya bukan sekadar profesi. Juga, katanya,  sebagai wadah untuk menyalurkan hobi.

“Jadi untuk menjadi DJ itu tidak cukup hanya karena mengikuti tren, tapi juga harus benar-benar menyukai dunia ini,” imbuhnya.

ADA ratusan Disk Jokey (DJ) di Bali. DJ Widhi Aditya salah satunya. Dia merupakan salah satu DJ senior yang sudah malang melintang dalam dunia ajeb-ajeb.

Sudah 22 tahun Widhi Aditya menekuni dunia DJ. Persisnya sejak akhir 1996, dia terjun menjadi DJ profesional.

 Pada awalnya, itu tidak mudah. Dalam masa training, dia harus lebih dulu mengasah skill secara ­otodidak di kafe-kafe sekitar Seririt, Buleleng.

“Pertama saya mulai main di Denpasar di Akasaka tahun 1998, mainkan musik funkot. Berikutnya saya mulai belajar main musik progressive sekitar 2016 di kelab-kelab yang spesialis progressive seperti Optimus, The Stones, Pyramid Kuta, A-Club, dan lain-lain,” papar pria asal Singaraja, Buleleng ini.

Sebagai DJ kawakan berusia 47 tahun, DJ Widhi mengaku sudah merasakan sulitnya menjadi DJ di awal-awal sebelum teknologi flashdisk menjamur.

“Awal terjun ke DJ dulu pakai turntable, piringan hitam. Rumit. Karena satu piringan hitam hanya muat satu lagu,” kenangnya.

Perkembangan teknologi, dengan peralihan dari piringan hitam ke compact disc (CD) kemudian hanya dengan mencolokkan flashdisk, bermain DJ menurutnya menjadi  lebih mudah, dan enjoy.

“Sekarang simpel. Pakai flashdisk sudah bisa muat ratusan lagu, tinggal putar,” tandas DJ namanya terus melambung hingga langganan jadi Guest DJ di sejumlah kelab ternama di Denpasar dan beberapa kota lain di luar Bali.

DJ yang pernah menjadi Guest DJ di kelab papan atas Surabaya, Kantor Club ini mengatakan, menjadi DJ sebetulnya bukan sekadar profesi. Juga, katanya,  sebagai wadah untuk menyalurkan hobi.

“Jadi untuk menjadi DJ itu tidak cukup hanya karena mengikuti tren, tapi juga harus benar-benar menyukai dunia ini,” imbuhnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/