26.4 C
Jakarta
25 April 2024, 8:15 AM WIB

Griya Kongco Dwipayana; Perkawinan Budaya Hindu, Budha, dan Tao

DENPASAR – Gong Xi Fa Chai. Malam pergantian tahun baru Imlek 2571 atau Tikus Logam 2020 berlangsung khusyuk Kamis (23/1) menuju Jumat (24/1).

Ratusan umat dari berbagai penjuru tanah air sembahyang bersama di Tempat Ibadat Tridharma Griya Kongco Dwipayana (Ling Sii Miao) Tanah Kilap, Denpasar.

300 lebih lampion menghiasi kongco yang menjadi tempat lahirnya Sanggar Mutiara Naga, kelompok barong sai tertua di Bali.

Hiasan lain seperti umbul-umbul warna-warni juga tak kalah memikat. Menariknya, banyak yang menghaturkan doa dengan sarana canang sari.

Pendiri Griya Kongco Dwipayana, Ida Bagus Adnyana mengatakan, persiapan menyambut Imlek 2571 diawali dengan pembersihan ratusan pratima (arca dewa), gedong, palinggih dan altar.

Jelasnya, pada gedong utama berstana Dewa Ong Tay Jin (Sinshe atau Dewa Kesehatan). Griya Kongco Dwipayana merupakan wujud “perkawaninan” Hindu, Budha dan Tao.

Di areal kongco terdapat beberapa pelinggih termasuk linggih Bhatara Lingsir dan Ratu Gede, Gedong Buda, dan Gedong Kanjeng Ratu Pantai Selatan.

Dewi Kwam Im Lengan Seribu dan Tujuh Dewi yang menurut Adnyana hanya ada dua di tanah air juga berstana di Griya Konco.

Kongco memiliki piodalan yang jatuh setiap bulan Oktober mengacu penanggalan China. Adnyana yang resmi didudukkan

sebagai penglingsir ini mengatakan akan banyak umat yang datang karena petunjuk dewa atau mendapatkan informasi dari umat lainnya.

Diprediksi umat akan membludak datang saat menyambut pergantian tahun baru China hingga Cap Go Meh Februari mendatang.

“Saat Imlek kita sembahyang menyampaikan rasa syukur. Tahun lalu (2019, red) sudah dilalui dengan baik dan harapan kita di tahun mendatang bisa lebih baik.

Di sini umat berdoa sesuai kepercayaan masing-masing. Di sini ada tiga keyakinan menjadi satu, yakni Buda, Hindu, dan Tao.

Selain umat memohon keselamatan juga ada permohonan lainnya seperti jodoh dan kesuksekan dalam bisnis. Di sini berstana tujuh dewi dan dewi tangan seribu” jelasnya.

Adnyana menyebut sembahyang di Griya Kingco Dwipayana termasuk yang termahal di Indonesia. Paling mahal karena banyak umat datang dari jauh karena mendapatkan petunjuk niskala.

Ida Bagus Adnyana yang akrap disapa Atu Mangku juga menuturkan hal unik di Griya Kongco Dwipayana. Antara lain Tirta Datu yang ada di bawah kaki Tujuh Dewi Datu.

Di mana banyak umat berdasarkan petunjuk memohon tirta (air suci, red). Ajaibnya, air ini memiliki berbagai rasa dan aroma atau bau.

“Air suci kolam ini tidak pernah surut dan airnya berubah-ubah rasa. Lagi harum, lagi asin, lagi tawar juga bisa bau. Sehingga orang sering

kaget karena saat tangkil merasakan tirta yang berbeda. Ini diyakini membawa banyak manfaat sesuai permohonan umat,” terangnya.

Sementara itu, Ketua Griya Kongco Dwipayana Alexius Lengkong didampingi Humas I Gusti Agung Ngurah Gede Agung Brahmantara mengatakan, antusias umat merayakan Imlek 2571 sungguh luar biasa.

Dijelaskan bahwa Griya Kongco Dwipayana dibangun berdasar petunjuk batu prasasti besar bertuliskan nama Dewa Ong Tay Jin dari Dinasti Ching.

Prasasti ditemukan oleh sang pendiri, Ida Bagus Adnyana. Pembangunan sendiri tuntas pada 1999. Alexius Lengkong mengaku pertama kali sembahyang di Kongco yang akrab disebut Kongco Tanah Kilap ini sejak akhir tahun 2004.

Dipercaya sebagai ketua pengurus kongco, dia bersama jajarannya berharap ke depan umat bisa terus hidup berdampingan

sekaligus memahami sejarah serta tradisi yang telah menyatu sebagai bagian dari kekayaan bangsa dan negara Indonesia.

“Mari kita kuatkan pondasi Nusantara kita, melalui perayaan Tahun Baru Imlek yang merupakan perayaan musim semi di China.

Ini bukan agama, tapi tradisi yang kita manfaatkan untuk menelusuri sejarah dan mengetahui leluhur di tengah kemajuan teknologi saat ini. Zaman sekarang kita harus bedakan antara tradisi dan agama.

Budha dan Hindu lebih pada ajaran agama, kalau Tao lebih dari jasa para dewa yang sebelumnya juga dari orang biasa yang didoakan karena jasa-jasa Beliau,” jelasnya.

Akulturasi budaya juga dikuatkan oleh Griya Kongco Dwipayana lewat pertunjukkan barongsai sejak tahun 1999.

“Sanggar Mutiara Naga menjadi cikal-bakal pementasan barongsai di Bali. Kini sudah memasuki generasi ketiga. Bahkan tak sedikit yang mengabdi di sanggar lebih dari 10 tahun,” ungkapnya. 

DENPASAR – Gong Xi Fa Chai. Malam pergantian tahun baru Imlek 2571 atau Tikus Logam 2020 berlangsung khusyuk Kamis (23/1) menuju Jumat (24/1).

Ratusan umat dari berbagai penjuru tanah air sembahyang bersama di Tempat Ibadat Tridharma Griya Kongco Dwipayana (Ling Sii Miao) Tanah Kilap, Denpasar.

300 lebih lampion menghiasi kongco yang menjadi tempat lahirnya Sanggar Mutiara Naga, kelompok barong sai tertua di Bali.

Hiasan lain seperti umbul-umbul warna-warni juga tak kalah memikat. Menariknya, banyak yang menghaturkan doa dengan sarana canang sari.

Pendiri Griya Kongco Dwipayana, Ida Bagus Adnyana mengatakan, persiapan menyambut Imlek 2571 diawali dengan pembersihan ratusan pratima (arca dewa), gedong, palinggih dan altar.

Jelasnya, pada gedong utama berstana Dewa Ong Tay Jin (Sinshe atau Dewa Kesehatan). Griya Kongco Dwipayana merupakan wujud “perkawaninan” Hindu, Budha dan Tao.

Di areal kongco terdapat beberapa pelinggih termasuk linggih Bhatara Lingsir dan Ratu Gede, Gedong Buda, dan Gedong Kanjeng Ratu Pantai Selatan.

Dewi Kwam Im Lengan Seribu dan Tujuh Dewi yang menurut Adnyana hanya ada dua di tanah air juga berstana di Griya Konco.

Kongco memiliki piodalan yang jatuh setiap bulan Oktober mengacu penanggalan China. Adnyana yang resmi didudukkan

sebagai penglingsir ini mengatakan akan banyak umat yang datang karena petunjuk dewa atau mendapatkan informasi dari umat lainnya.

Diprediksi umat akan membludak datang saat menyambut pergantian tahun baru China hingga Cap Go Meh Februari mendatang.

“Saat Imlek kita sembahyang menyampaikan rasa syukur. Tahun lalu (2019, red) sudah dilalui dengan baik dan harapan kita di tahun mendatang bisa lebih baik.

Di sini umat berdoa sesuai kepercayaan masing-masing. Di sini ada tiga keyakinan menjadi satu, yakni Buda, Hindu, dan Tao.

Selain umat memohon keselamatan juga ada permohonan lainnya seperti jodoh dan kesuksekan dalam bisnis. Di sini berstana tujuh dewi dan dewi tangan seribu” jelasnya.

Adnyana menyebut sembahyang di Griya Kingco Dwipayana termasuk yang termahal di Indonesia. Paling mahal karena banyak umat datang dari jauh karena mendapatkan petunjuk niskala.

Ida Bagus Adnyana yang akrap disapa Atu Mangku juga menuturkan hal unik di Griya Kongco Dwipayana. Antara lain Tirta Datu yang ada di bawah kaki Tujuh Dewi Datu.

Di mana banyak umat berdasarkan petunjuk memohon tirta (air suci, red). Ajaibnya, air ini memiliki berbagai rasa dan aroma atau bau.

“Air suci kolam ini tidak pernah surut dan airnya berubah-ubah rasa. Lagi harum, lagi asin, lagi tawar juga bisa bau. Sehingga orang sering

kaget karena saat tangkil merasakan tirta yang berbeda. Ini diyakini membawa banyak manfaat sesuai permohonan umat,” terangnya.

Sementara itu, Ketua Griya Kongco Dwipayana Alexius Lengkong didampingi Humas I Gusti Agung Ngurah Gede Agung Brahmantara mengatakan, antusias umat merayakan Imlek 2571 sungguh luar biasa.

Dijelaskan bahwa Griya Kongco Dwipayana dibangun berdasar petunjuk batu prasasti besar bertuliskan nama Dewa Ong Tay Jin dari Dinasti Ching.

Prasasti ditemukan oleh sang pendiri, Ida Bagus Adnyana. Pembangunan sendiri tuntas pada 1999. Alexius Lengkong mengaku pertama kali sembahyang di Kongco yang akrab disebut Kongco Tanah Kilap ini sejak akhir tahun 2004.

Dipercaya sebagai ketua pengurus kongco, dia bersama jajarannya berharap ke depan umat bisa terus hidup berdampingan

sekaligus memahami sejarah serta tradisi yang telah menyatu sebagai bagian dari kekayaan bangsa dan negara Indonesia.

“Mari kita kuatkan pondasi Nusantara kita, melalui perayaan Tahun Baru Imlek yang merupakan perayaan musim semi di China.

Ini bukan agama, tapi tradisi yang kita manfaatkan untuk menelusuri sejarah dan mengetahui leluhur di tengah kemajuan teknologi saat ini. Zaman sekarang kita harus bedakan antara tradisi dan agama.

Budha dan Hindu lebih pada ajaran agama, kalau Tao lebih dari jasa para dewa yang sebelumnya juga dari orang biasa yang didoakan karena jasa-jasa Beliau,” jelasnya.

Akulturasi budaya juga dikuatkan oleh Griya Kongco Dwipayana lewat pertunjukkan barongsai sejak tahun 1999.

“Sanggar Mutiara Naga menjadi cikal-bakal pementasan barongsai di Bali. Kini sudah memasuki generasi ketiga. Bahkan tak sedikit yang mengabdi di sanggar lebih dari 10 tahun,” ungkapnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/